Pojok Humam Hamid
Kasus Pati, Sri Mulyani, dan “Kabeh Ka Pike”?
Di Aceh, ada sebuah ungkapan sederhana, “kabeh ka pike”?. Artinya, pikirkanlah baik-baik sebelum melangkah.
Digitalisasi pajak tanpa trust-kepercayaan, hanyalah modernisasi dari pemerasan. Mesin lebih canggih, prosedur lebih cepat, tetapi rasa adil tidak pernah hadir.
Rakyat tetap merasa “diembat” oleh sebuah sistem yang memberi minim balasan.
Ketiga, krisis legitimasi fiskal akan terus membayangi republik ini.
Belajar dari Sejarah
Keberhasilan Inggris membangun imperium karena sejak abad ke-17 mereka merumuskan sistem pajak yang relatif transparan dan akuntabel, memberi rakyat kesan dan rasa, bahwa uang mereka kembali dalam bentuk perlindungan dan infrastruktur.
Sebaliknya, rezim-rezim absolut di Eropa runtuh karena gagal menjaga amanah fiskal.
Indonesia kini berada di persimpangan itu.
Ketika pajak dipersamakan dengan zakat, masyarakat tentu bertanya. Zakat disalurkan dengan transparansi, dengan distribusi yang adil, dengan pengawasan publik yang ketat.
Lalu, di mana posisi pajak?
Apakah ia akan berakhir hanya sebagai sumber dana proyek mercusuar atau subsidi bagi korporasi besar?
Kasus Pati sebetulnya bukan polemik lokal, melainkan peringatan keras untuk republik. Pati memperlihatkan kontrak sosial fiskal yang sangat rapuh.
Pusat menuntut loyalitas pajak, daerah menuntut otonomi, rakyat menuntut keadilan.
Anehnya, ketiganya berjalan di atas rel yang tidak pernah bertemu.
Di tengah suasana ekonomi yang yang tak menentu, rakyat kecil, yang tanahnya mendadak dinaikkan pajaknya, melihat negara bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai beban bahkan penyakit yang mengancam.
Inilah titik rawan yang dalam sejarah selalu berakhir dengan gejolak sosial.
Dari petani Perancis abad ke-18 yang akhirnya menggulingkan monarki, hingga rakyat Mesir yang marah kepada Presiden Husni Mubarak karena harga roti naik akibat kebijakan fiskal pada tahun 1977 dan 2021.
Kejadian itu dan semua kejadian lain memberikan satu pelajaran penting, jangan pernah bermain-main dengan legitimasi pajak.
Kabeh Ka Pike?
Di Aceh, ada sebuah ungkapan sederhana, “kabeh ka pike”?.
Artinya, pikirkanlah baik-baik sebelum melangkah. Ini adalah ajakan untuk berhenti sejenak, merenung, dan menimbang ulang arah perjalanan.
Seperti “think about it” dalam wacana global, ungkapan ini lahir dari kearifan lokal untuk mengingatkan agar jangan terburu-buru mengambil keputusan tanpa melihat dampak yang lebih luas.
Maka sebelum semuanya terlambat, mari berhenti sejenak, “kabeh ka pike” pikirkan dengan jernih, mau dibawa ke mana republik ini jika keadilan fiskal terus menjadi ilusi.
Ketika negara kehilangan legitimasi fiskalnya, ia tak lagi berdiri di atas pijakan kokoh, melainkan di atas pasir yang siap amblas kapan saja.
Indonesia boleh membangun jalan tol, bandara, atau ibu kota baru, tetapi tanpa kontrak sosial fiskal yang adil, semua itu hanyalah monumen sementara.
Bapak pendiri ilmu ekonomi modern, Adam Smith sudah mengingatkan lebih dari dua abad lalu, “Setiap warga negara seharusnya berkontribusi mendukung pemerintah sesuai kemampuan mereka.”
Tetapi di republik ini, ketika sawah petani dinaikkan pajaknya sementara konglomerat kerap lolos dari jerat fiskal, bukankah itu tanda kontrak sosial yang retak?
Dan bila kontrak itu terus dibiarkan pecah, maka seperti imperium-imperium yang runtuh dalam sejarah, Indonesia pun akan goyah bukan karena perang, melainkan karena rakyatnya tak lagi percaya untuk membayar pajak.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
20 Tahun Aceh Damai: Gen Z, Egepe, Pesimisme Konstruktif, dan Imajinasi Tragis |
![]() |
---|
Netanyahu dan Gaza City: Ketika Jalan Pulang dan Jalan Keluar Terkunci |
![]() |
---|
MSAKA21: Jejak Panjang yang Sunyi, Aceh Sebelum Hindu–Buddha- Bagian VI |
![]() |
---|
Indonesia 80 Tahun: Di Ambang Kejayaan atau Terperosok ke Stagnasi? |
![]() |
---|
MSAKA21: Aceh, Gayo, Alas - Akar Bahasa dan “Kain Palekat Satu Kodi” |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.