Pojok Humam Hamid
Netanyahu dan Gaza City: Ketika Jalan Pulang dan Jalan Keluar Terkunci
Ini akan menjadi perang yang lama, melelahkan, penuh jebakan, dan pada akhirnya bisa membuat Israel terperangkap dalam “labirin” yang dbangun sendiri.
Terlalu membosankan.
Terlalu penuh kompromi.
Terlalu berisiko menggerus basis politiknya di kanan.
Sejarah Israel sendiri menawarkan pelajaran yang kontras.
Ehud Barak, mantan perdana menteri sekaligus panglima perang yang pernah memimpin operasi spektakuler, justru memilih jalan keluar dari Lebanon Selatan pada tahun 2000.
Banyak yang mengecamnya sebagai “penyerahan,” tetapi Barak tahu bahwa pendudukan yang panjang adalah perang yang kalah secara diam-diam.
Keputusan itu tidak membuat Israel bebas dari serangan, tapi memutus rantai pengeluaran militer tanpa ujung dan beban diplomatik yang terus membengkak.
Ariel Sharon, sosok buas yang pernah jadi arsitek permukiman di Tepi Barat, membuat kejutan lebih besar pada 2005 dengan menarik seluruh pasukan dan pemukim dari Gaza.
Sharon bukanlah merpati perdamaian--ia tetap keras dalam isu keamanan--tetapi ia mampu melihat bahwa mengendalikan Gaza secara langsung adalah jebakan strategis.
Baginya, terkadang mundur adalah cara untuk mempertahankan kekuatan jangka panjang.
Netanyahu tidak mengikuti pelajaran ini.
Ia memilih arah berlawanan.
Israel masuk, menancapkan bendera, dan menetap.
Bedanya, kali ini dunia lebih terhubung, opini publik lebih cepat terbentuk, dan gambarnya--bangunan runtuh, anak-anak kelaparan, pengungsi berdesakan--berputar tanpa henti di ponsel miliaran manusia di seantero bumi.
Dan inilah bahaya yang tak kasat mata.
Ketika perang menjadi pilihan, bukan karena semua pilihan lain gagal, tetapi karena perang itu sendiri memberi keuntungan politik.
Ketika kata “keamanan” menjadi selimut untuk menutupi strategi memperpanjang kekuasaan.
Dan inilah strategi Netanyahu menghindari hukuman penjara yang telah menantinya cukup lama karena kasus korupsi.
Untuk itu ia mampu membuat penderitaan manusia direduksi menjadi angka dalam laporan intelijen.
Sejarah memberi banyak contoh bagaimana pendudukan melahirkan perlawanan yang lebih keras.
Dari Aljazair, Vietnam hingga Irak, dari Lebanon hingga Afghanistan, kekuatan militer bisa merebut tanah tetapi jarang bisa menguasai hati.
Jalan tiada ujung
Gaza bukan pengecualian.
Justru, dengan setiap rumah yang runtuh dan setiap keluarga yang tercerai-berai, Israel menanam bibit kemarahan yang akan tumbuh selama generasi.
Netanyahu mungkin percaya bahwa dengan mengendalikan Gaza, ia mengendalikan ancaman.
Tapi sejarah punya ironi.
Kekuatan yang terlalu sering digunakan akan melahirkan lawan yang lebih gigih.
Gaza bukan papan catur, dan rakyatnya bukan bidak.
Mereka adalah sejarah yang hidup--dan sejarah punya cara sendiri untuk membalas.
Di mata dunia, mungkin Israel akan tercatat sebagai negara yang berhasil menaklukkan Gaza.
Tapi di buku sejarah yang lebih jujur, ini akan dikenang sebagai momen ketika Israel menang di medan perang namun kalah di medan moral.
Di bawah setiap puing, di balik setiap antrean bantuan, ada cerita bahwa tanah bisa direbut, tapi kemarahan yang lahir darinya tak bisa dibungkam.
Jika Netanyahu berpikir jalan ini bisa mengamankan masa depan Israel, ia salah membaca bab berikutnya dari sejarah.
Pendudukan jarang berakhir dengan stabilitas.
Lebih sering, pendudukan berakhir dengan biaya yang membengkak, reputasi yang hancur, dan musuh yang lebih banyak daripada saat memulai.
Hari ini, Netanyahu mungkin merasa sedang menulis bab kemenangan.
Ia tak sadar, atau memang bengal, generasi berikutnya mungkin akan membacanya sebagai bab awal dari kekalahan yang lebih besar.
Kekalahan yang dimulai bukan di medan perang, tetapi di meja keputusan, ketika seorang pemimpin memilih jalan tanpa pulang, atau bahkan jalan tiada ujung.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
MSAKA21: Jejak Panjang yang Sunyi, Aceh Sebelum Hindu–Buddha- Bagian VI |
![]() |
---|
Kasus Pati, Sri Mulyani, dan “Kabeh Ka Pike”? |
![]() |
---|
Indonesia 80 Tahun: Di Ambang Kejayaan atau Terperosok ke Stagnasi? |
![]() |
---|
MSAKA21: Aceh, Gayo, Alas - Akar Bahasa dan “Kain Palekat Satu Kodi” |
![]() |
---|
Dua “Lelah”, Satu Bencana: MoU Helsinki dan Damai, Menang? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.