Profil Halim Kalla, Adik JK yang Jadi Tersangka Kasus Korupsi PLTU Kalbar, Ini Rekam Jejaknya

Halim Kalla selama ini dikenal sebagai sosok pengusaha yang ulet dan berani berinovasi di berbagai sektor.

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Nur Nihayati
INSTAGRAM/@keind_indonesia
HALIM KALLA - Profil Halim Kalla, Adik JK yang Jadi Tersangka Kasus Korupsi PLTU Kalbar, Ini Rekam Jejaknya 

SERAMBINEWS.COM - Nama Halim Kalla, pengusaha dan adik kandung dari Jusuf Kalla (JK), kembali menjadi sorotan tajam publik.

Kali ini, bukan karena inovasi bisnisnya, melainkan karena terseret badai hukum terkait proyek mangkrak yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Ia telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kalbar-1.

Penetapan status hukum ini cukup mengejutkan publik, mengingat Halim Kalla selama ini dikenal sebagai sosok pengusaha yang ulet dan berani berinovasi di berbagai sektor.

Lantas siapa sebenarnya sosok Halim Kalla?

Baca juga: Revisi UU Pemerintah Aceh, Jusuf Kalla Ingatkan Agar Sesuai Perjanjian Helsinki

Profil Halim Kalla

Dilansir dari Kompas.com, Selasa (7/10/2025), Halim Kalla lahir di Ujung Pandang (kini Makassar), 1 Oktober 1957. 

Ia adalah adik kandung dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla.

Sebelum terseret kasus korupsi ini, Halim Kalla dikenal sebagai seorang pebisnis tangguh dan inovator yang telah malang melintang di dunia usaha nasional.

Halim Kalla sejak muda dikenal memiliki visi dan keuletan dalam berwirausaha.

Ia bahkan mampu mempertahankan bisnisnya di tengah guncangan hebat krisis moneter 1998 yang melumpuhkan banyak pengusaha lain.

Halim Kalla menempuh pendidikan di luar negeri, tepatnya di State University of New York at Buffalo, AS.

Dalam karier bisnisnya, ia tercatat pernah menjabat sebagai Direktur Utama Intim Wira Energi dan Direktur PT BRN.

Baca juga: Cerita Jusuf Kalla saat Rumuskan Aceh Bisa Punya Partai Lokal hingga DPRA, Akui Tak Pernah Tidur

Pelopor digital cinema dan inovasi kendaraan listrik

Salah satu terobosan Halim Kalla yang paling signifikan terjadi pada 2006.

Saat itu, ia menjadi pengusaha pertama di Indonesia yang berani memperkenalkan Digital Cinema System (DCS).

Teknologi ini menjadi revolusi bagi industri perfilman nasional, mengubah total sistem produksi, distribusi, hingga pemutaran film di bioskop.

Tak berhenti di situ, Halim juga menjajaki inovasi di sektor energi ramah lingkungan dengan mengembangkan proyek kendaraan listrik di bawah bendera Haka Auto.

Ia memperkenalkan tiga prototipe kendaraan listrik karya anak bangsa, yaitu Smuth EV, Erolis, dan Trolis.

Smuth EV mengusung model pikap dengan motor listrik berdaya 7,5 kW dan baterai lithium-ion berkapasitas 15,4 kWh.

Erolis merupakan mobil penumpang mini seperti Wuling Air EV, dengan motor listrik 4 kW dan baterai 7,6 kWh.

Sementara Trolis berbentuk sepeda motor tiga roda yang memakai motor listrik 5 kW dengan baterai lithium-ion 7,6 kWh.

Upaya tersebut sempat disebut sebagai salah satu langkah nyata untuk mengangkat citra Indonesia di sektor kendaraan ramah lingkungan.

Baca juga: RDPU Revisi UUPA, Jusuf Kalla Minta Dana Otsus Aceh Diperpanjang: Untuk Menjamin Kehidupan Rakyat

Karier politik

Selain dunia usaha, Halim Kalla juga pernah mencicipi ranah politik. 

Berdasarkan data KPU RI, ia tercatat sebagai Anggota DPR RI periode 2009–2014 dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II, setelah berhasil meraup 34.755 suara.

Berikut profil singkatnya sesuai data KPU:

  • Tempat/Tanggal Lahir: Ujung Pandang, 1 Oktober 1957
  • Alamat: Jl. Lembang No. 9, Menteng, Jakarta Pusat
  • Agama: Islam
  • Pendidikan: State University of New York at Buffalo, AS
  • Pekerjaan: Direktur Utama Intim Wira Energi, Direktur PT BRN
  • Jumlah Anak: Dua orang
  • Perolehan Suara: 34.755 suara

Awal mula terseret kasus PLTU Kalbar-1

Halim Kalla mulai terseret dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan PLTU Kalbar-1 berkapasitas 2x50 megawatt yang dilelang pada 2008 dan dinilai bermasalah.

Proyek senilai total sekitar USD 80 juta dan Rp 507 miliar ini didanai oleh PT PLN (Persero) melalui kredit Bank BRI dan BCA dengan skema Export Credit Agency (ECA).

Penyidik Kortas Tipidkor Polri menduga telah terjadi permufakatan jahat sejak tahap perencanaan dan lelang.

Konsorsium pemenang lelang, Kerja Sama Operasi (KSO) BRN yang dipimpin oleh Halim Kalla, diduga ditetapkan meski tidak memenuhi syarat prakualifikasi dan teknis yang ditetapkan.

"Penetapan pemenang lelang dilakukan meski konsorsium tidak memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi titik awal rangkaian pelanggaran yang berujung pada kerugian negara," jelas Kakortas Tipidkor Polri, Irjen Cahyono Wibowo dalam konferensi pers, Senin (6/10/2025) dikutip dari Kompas.com.

Setelah kontrak ditandatangani pada Juni 2009, seluruh pekerjaan pembangunan dialihkan kepada dua perusahaan asal Tiongkok tanpa dasar hukum yang jelas. 

Akibatnya, proyek mangkrak total dari 2008 hingga 2018 dan telah dinyatakan total loss oleh BPK RI.

"Modus operandi terjadinya tindak pidana korupsi di mana dalam prosesnya itu dari awal perencanaan, ini sudah terjadi korespondensi, artinya ada pemufakatan dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan," jelas Cahyono.

Baca juga: Terima Peace Award UIN Ar-Raniry, Ini Makna Dua Dekade Damai Aceh Menurut Jusuf Kalla

"Setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan, sehingga ini terjadi keterlambatan yang mengakibatkan sampai dengan 2018, itu sejak tahun 2008-2018 dianggurin terus. Akibat dari pekerjaan itu, ini pembangunannya mangkrak sampai dengan saat ini, dan sudah dinyatakan total loss oleh BPK," sambungnya.

Berdasarkan temuan BPK dan hasil penyidikan, kerugian negara ditaksir mencapai USD 64,41 juta dan Rp 323,2 miliar, dengan total konversi mencapai sekitar Rp 1,3 triliun lebih.

Terkait kasus ini, Polri telah menetapkan empat tersangka, yaitu Halim Kalla (Presiden Direktur PT BRN), mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Fahmi Mochtar, serta dua pihak swasta berinisial RR dan HYL.

Para tersangka disangkakan melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka pada 3 Oktober 2025, kepolisian menyatakan belum melakukan penahanan, namun telah melakukan pencegahan agar mereka tidak melarikan diri.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved