Kupi Beungoh
Aktif Menulis Sejak Mahasiswa, Zainal Arifin M Nur Kini Pimpin Serambi Indonesia
Berbeda kakak-kakak dan adiknya yang berjalan mulus arah pendidikan, perjalanan pendidikan Zainal malah berjalan zig-zag dan penuh warna.
Oleh: Nadinda Syahira dan Cilfi Balqiatuz Zuhra
SERAMBINEWS.COM - Walaupun sempat menjalani latar belakang pendidikan yang zig zig alias pindah-pindah dari sekolah/prodi satu ke yang lain, Zainal Arifin M Nur akhirnya merampungkan pendidikan S1 dengan mulus dan tak sempat menganggur.
Aktif di media kampus menjadi bekal paling berharga dalam perjalanan hidupnya. Aktivitas menulis yang bermula di bangku kuliah di UIN Ar-Raniry, kini mengantarnya menjadi pemimpin media terbesar di Aceh: Serambi Indonesia Group di bawah naungan PT Aceh Media Grafika.
Kepercayaan diri adalah modal paling berharga yang dimiliki Zainal Arifin M. Nur. Dulu, ia tak pernah membayangkan akan memimpin ruang redaksi sebesar Serambi Indonesia. Ia hanya ingin menulis, meliput, dan belajar dari lapangan.
Namun keyakinan pada kemampuan sendiri perlahan mengubah arah hidupnya dari wartawan muda yang idealis menjadi sosok pemimpin yang kini menentukan arah pemberitaan di Aceh.
Lahir di Meunasah Masjid Aree, Kecamatan Delima, Pidie, pada akhir 1977, Zainal tumbuh dalam keluarga religius yang ketat pendidikan dan lekat dengan dunia tulis-menulis.
Ayahnya, Almarhum Teungku Muhammad Nur Usman, adalah mantan pejuang kemerdekaan RI dan lanjut DI/TII yang kemudian menjadi Imum Chiek di masjid kemukiman di kampungnya, dikenal gemar menulis doa-doa dan isi kitab kuning untuk kemudian dibagikan kepada jamaah saat mengajar.
“Basic menulis kami semua berasal dari ayah yang hobbi menulis kandungan kitab kuning dan dibagi kepada jamaah,” kenang Zainal dengan mata berbinar.
Adapun ibunya, Hajjah Nurasyiah Kasem, adalah seorang perempuan desa yang gemar membaca hingga usia lanjut saat ini.
“Walau berasal dari desa, ibu kami sempat sekolah sampai ke Kota Banda Aceh pada awal kemerdekaan RI,” kenang dia.
Baca juga: Ramai Kabar Gaji PNS, TNI-Polri Naik 12 Persen, Begini Tanggapan Resmi Menkeu Purbaya
Selain menjadi guru ngaji anak-anak di kampung melalui Balai Pengajian UMMI, ibunya dikenal memiliki semangat Entrepreneurship yang tinggi. Ibunya memiliki usaha kustum (menjahit) dan rental pakaian pengantin, yang digerakkan di rumah.
“Anak-anak gadis dari desa-desa tetangga belajar menjahit di rumah kami. Di rumah kami berjejer puluhan mensin jahit,” kenang Zainal.
“Saat saya remaja, saya saksikan ibu saya juga memproduksi pakaian perempuan dan alas kasur untuk dipasarkan ke Banda Aceh hingga Sabang. Para pengecer menyetor hasil dagangan setiap dua minggu sekali,” papar dia.
Zainal menambahkan, “tidak hanya itu, ibu kami juga memiliki usaha sewa pakaian pengantin,” kata dia seraya menambahkan bahwa jiwa wira usaha pada ibunya turun dari kakeknya yang memiliki badan usaha “Firma Jacob Kasem” dan berniaga hingga ke Pulau Pinang pada era Belanda.
Lahir di Kampung Pedagang & Perantau
Zainal Arifin lahir dari Kecamatan Delima, kawasan yang dihuni oleh warga yang memiliki semangat dagang dan merantau yang tinggi. Orang-orang di kampung ini mayoritas adalah pedagang.
Hampir dapat dipastikan seluruh kota di Aceh terdapat perantau asal Delima dan sekitarnya. Bahkan, terdapat di seluruh Indonesia, Malaysia, Saudi Arabia, Australia, Selandia Baru, Eropa hingga Amerika.
Meski terlahir dari perkampungan yang gemar dagang dan merantau, Zainal memilih jalur yang berbeda dengan mereka.
Zainal memilih jalur pendidikan sebagai bekal dalam menata masa depan, sebagaimana arahan dari ayah dan ibunya.
“Ayah dan ibu kami menyekolahkan delapan anaknya dari sekolah menengah di pesantren hingga Perguruan Tinggi,” katanya.
Baca juga: Kakek Tarman Dipolisikan Soal Mahar Cek Rp3 Miliar, Bank Singgung Nomor Seri Diduga Palsu
Suka Pindah Sekolah
Berbeda kakak-kakak dan adiknya yang berjalan mulus arah pendidikan, perjalanan pendidikan Zainal malah berjalan zig-zag dan penuh warna.
Setelah tamat MIN di kampung, Zainal pernah mondok di Pesantren Modern Terpadu Al-Furqan Bambi, Pidie.
Tak sampai dua minggu di Al-Furqan Bambi, ia lalu pindah ke Madrasah Ulumul Quran (MUQ) Jeumala Amal Lueng Putu, Pidie Jaya. Di tempat baru ini, dia hanya mondok selama 15 hari.
Selanjutnya ia mendafar sekolah ke MTsN Kampung Aree. Di sini dia bertahan lama, hingga tamat dan mendapatkan ijazah, dan lanjut ke MAN 1 Tijue, Sigli.
Pada 1995, Zainal diterima di IAIN Ar-Raniry (kini UIN Ar-Raniry) lewat jalur undangan di Prodi Tarbiyah Bahasa Arab (TBA). Namun ia tak betah pada prodi ini.
Ia pun memutuskan pindah ke Prodi Tarbiyah Pendidikan Agama (TPA) hingga mendapatkan ijazah asli.
Saat ini ia sedang melanjutkan pendidikan magister bidang komunikasi di salah satu kampus di Aceh.
Zainal kecil suka pindah-pindah sekolah. Ia pun dianggap sebagai alumni di banyak perkumpulan alumni sekolah.
Dari Aktivis Kampus ke Jurnalis Profesional
Zainal Arifin adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara yang hampir semuanya berkiprah di dunia pendidikan dan dakwah. Kakaknya, almarhum Drs Muharram M. Nur, adalah pendiri sekaligus mantan Ketua AJI Banda Aceh (2002–2005) yang namanya kini diabadikan menjadi nama lembaga pendidikan jurnalistik di Aceh: Muharram Journalism College (MJC).
Dari Muharramlah Zainal mengenal dunia jurnalistik secara lebih dekat. “Mungkin darah menulis itu memang sudah mengalir dari keluarga kami,” ujarnya lembut.
Di sinilah benih kecintaannya pada jurnalistik tumbuh. Ia aktif menulis di buletin jurusan, menjadi ketua bidang publikasi BEM, hingga dipercaya sebagai Pemimpin Umum Ar-Raniry Post (media mahasiswa sebelum Sumberpost).
Dari organisasi kampus itulah Zainal belajar meliput, menulis, mengedit, dan mengelola penerbitan bekal yang kelak membawanya ke dunia media profesional.
Saat masih sebagai mahasiswa S1 di TBA, Zainal sudah mulai menulis artikel opini, dikirim ke Harian Serambi Indonesia dan diterbitkan. Kala itu, belum lahir media berbasis digital atau online dan persaingan untuk dimuat di media cetak sangatlah ketat.
Baca juga: Beredar Kabar Gaji Pensiunan PNS di Tahun 2025 Akan Kembali Naik, Benarkah? Berikut Infonya
Meliput di “Era Perang”
Tahun 2001, setelah menyelesaikan kuliah, ia sempat bekerja sebagai pegawai honorer di Badan Pertanahan Nasional. Tapi hatinya tetap terpaut pada dunia tulis-menulis.
Ketika melihat adanya lowongan kerja di Serambi Indonesia, ia melamar tanpa sepengetahuan kakaknya, Muharram, yang sudah lebih dulu bekerja di sana.
Dari enam peserta magang, hanya tiga yang tetap bertahan, termasuk Zainal. Setahun kemudian, ia resmi menjadi karyawan tetap dan memulai karier yang akan membawanya bertahan lebih dari dua dekade di Serambi Indonesia.
Zainal menjalani masa-masa penuh risiko. Pada 2003, saat Aceh berada dalam status darurat militer (DM), ia adalah wartawan pertama yang meliput pengumuman resmi darurat militer di Kodam Iskandar Muda tengah malam.
Wartawan Serambi Indonesia kala itu tidak diizinkan pulang malam. Mereka tidur di kantor dengan kasur lipat, tetap menulis berita di bawah tekanan dan ancaman.
“Itu masa paling menegangkan, tapi juga paling banyak pelajaran,” katanya.
Tahun berikutnya, sebuah kecelakaan motor membuat lengannya cedera. Ketika ia masih dalam masa pemulihan, bencana tsunami Desember 2004 datang meluluhlantakkan Aceh.
Kantor Serambi Indonesia di Baet, Kecamatan Baitussalam, hancur total. Zainal selamat dari terjangan tsunami karena saat itu dia kos di Simpang Jambo Tape dan pagi itu dia belum ke kantor.
Saat Serambi mulai bangkit, ia kembali bekerja yang awalnya bertugas sebagai wartawan kota atau reporter untuk Rubrik Kutajara. Tak lama kemudia, Zainal menjadi wartawan di bidang politik, karena banyak rekan wartawan yang menjadi korban tsunami.
Pemimpin Redaksi di Era Perubahan
Pada Maret 2005, di tengah suasana duka pascatsunami, Zainal menikahi perempuan yang telah lama ia kenal sejak masa kuliah dan juga korban tsunami.
“Yang paling berkesan adalah yang mengiringi saya selaku linto (pengantin pria, red) waktu itu adalah Dandim Aceh Besar dan Kapolres Banda Aceh,” katanya sambil tersenyum mengenang.
Waktu berlalu, Serambi Indonesia pun tumbuh. Kantor Serambi Indonesia pindah sementara di Beurawe, lalu pindah ke Pagar Air, hingga mulai beradaptasi dengan era digital.
Zainal termasuk orang pertama yang ikut mendirikan Serambinews.net bersama tim IT. Ia juga terlibat dalam peluncuran Serambi FM pada 2012.
“Kami menulis berita di malam hari agar bisa disiarkan di radio keesokan paginya,” ujarnya mengenang masa-masa itu.
Pada 2019, setelah melewati berbagai posisi dari wartawan, redaktur, hingga manager multimedia, ia akhirnya diminta menjadi Pimpinan Redaksi Serambi Indonesia.
Awalnya ia menolak karena merasa belum cukup pengalaman, namun dukungan dari Tribun Network membuatnya yakin.
“Mereka bilang, saya lebih memahami transformasi digital. Akhirnya saya terima,” ucapnya. ( https://aceh.tribunnews.com/2019/07/24/zainal-arifin-pemred-serambi-indonesia ).
Menjadi pemimpin redaksi tidaklah mudah. Seminggu setelah dilantik, salah satu rumah wartawan di Aceh Tenggara dibakar karena konflik pemberitaan. (https://aceh.tribunnews.com/2021/01/01/rumah-wartawan-yang-dibakar-di-aceh-tenggara-mangkrak-15-tahun-polisi-didesak-menuntaskannya?page=all)
Setahun kemudian, pandemi Covid-19 melanda dan mengguncang industri media. Koran sempat dianggap sebagai sumber penularan virus, oplah menurun drastis, tapi Serambi Indonesia bertahan karena sudah siap secara digital.
“Itu masa paling berat, tapi kami berhasil melewatinya,” kenangnya penuh syukur.
Pesan: Menulis adalah Ibadah yang Abadi
Kini, setelah lebih dari dua puluh tahun berkarier, Zainal dikenal bukan hanya sebagai jurnalis berpengalaman, tapi juga pemimpin yang rendah hati.
Ia percaya, menulis adalah cara terbaik untuk meninggalkan jejak kebaikan yang abadi, dan ia menyarankan agar generasi muda untuk terus menulis dan menyiarkannya melalui berbagai media.
“Kalau penceramah bisa hilang ditelan masa, penulis akan dikenang sepanjang masa,” katanya tegas.
Kepada generasi muda Aceh, ia berpesan agar berani mencoba, bergabung dengan organisasi, dan menulis sebanyak mungkin.
“Jangan takut pada teknologi, termasuk AI. Gunakan secukupnya, tapi jangan bergantung sepenuhnya. Yang utama itu akhlak, bukan hanya pintar,” ujarnya.
Dalam proses rekrutmen di Serambi Indonesia, katanya, 30 persen penilaian berasal dari sikap, sisanya kemampuan.
“Namanya manusia pasti bodoh di awal, tapi kalau mau belajar, pasti akan jadi pintar,” katanya.
Bagi Zainal Arifin, hidup adalah tentang keseimbangan antara dunia dan akhirat, teknologi dan nilai, antara kerja keras dan doa.
Di balik sosok pemimpin redaksi yang tegas, tersimpan seorang anak kampung yang percaya pada satu hal sederhana: keyakinan pada diri sendiri mampu mengubah takdir seseorang.
Tidak hanya menulis artikel di media, Zainal Arifin juga menulis buku. Di antaranya adalah buku berjudul “Perjuangan Janda Mantan PM Aceh Merdeka” yang diterbitkan oleh Bandar Publishing.
Buku ini berkisah tentang true story perjungan dokter Muchtar Hasbi, Perdana Menteri Aceh Merdeka, berdasar catatan dari Azimar (istri almarhum Muchtar Hasbi). Buku ini tersedia di Toko Buku Zikra Banda Aceh.
Dari kisah perjalanan hidup Zainal Arifin M Nur kita dapat memahami bahwa kesuksesan seseorang tidak murni ditentukan oleh latar pendidikan semata, melainkan perlu adanya tambahan keterampilan (skill).
Zainal yang sarjana pendidikan agama dari UIN Ar-Raniry tapi memiliki keterampilan menulis melebihi mahasiswa prodi komunikasi, akhirnya terpilih sebagai pemimpin redaksi media terbesar di Aceh: Serambi Indonesia.
Bersua dan berbicang sejenak dengan Zainal Arifin pada pertengahan Oktober 2025, sebelum ia bertolak ke Hongkong, tentunya menjadi inspirasi sangat berharga bagi kami dari kalangan mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Ar-Raniry. Semoga!
Banda Aceh, 13 Oktober 2025
Penulis, Nadinda Syahira dan Cilfi Balqiatuz Zuhra
(Keduanya adalah mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
| Ketika Perpustakaan Kehilangan Suaranya di Tengah Bisingnya Dunia Digital |
|
|---|
| Dibalik Kerudung Hijaunya Hutan Aceh: Krisis Deforestasi Dan Seruan Aksi Bersama |
|
|---|
| MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara |
|
|---|
| Beasiswa dan Perusak Generasi Aceh |
|
|---|
| Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.