KUPI BEUNGOH
Gedung DPR Didemo, Dalang Tetap Duduk Manis
Jika masyarakat ingin menuntut perubahan, seharusnya yang didemo adalah kantor partai, bukan panggung formal yang hanya menjadi etalase.
Oleh: Mansur Syakban, S.H., M.Ipol *)
AKSI demonstrasi mahasiswa dan masyarakat telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan bangsa.
Puncaknya terjadi pada tahun 1998, ketika gelombang protes berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama puluhan tahun.
Gedung DPR/MPR saat itu menjadi simbol perlawanan, diduduki ribuan mahasiswa yang menuntut reformasi.
Reformasi pun terwujud. Namun kini, gedung DPR/MPR—baik di pusat maupun daerah—seolah menjadi sasaran rutin setiap kali masyarakat merasa kecewa terhadap kebijakan pemerintah.
Pertanyaannya, apakah aksi semacam itu masih relevan dan efektif?
Jika kita jujur menilai, aksi-aksi tersebut sering kali terasa salah alamat.
Meski berhasil menduduki gedung parlemen pada 1998, hasil reformasi yang kita nikmati hari ini jauh dari harapan.
Korupsi tetap merajalela, kekuasaan politik tersentralisasi di tangan segelintir elite, rangkap jabatan menjadi norma, dan kerusakan lingkungan terus berlangsung akibat kongkalikong antara pejabat dan korporasi. Reformasi yang dijanjikan tak sepenuhnya berjalan.
Ketika Politik Menghalalkan Segala Cara
Gedung DPR hanyalah panggung konstitusional tempat para politisi tampil. Namun keputusan besar dan arah kebijakan negara lahir bukan di ruang sidang, melainkan di balik layar, di kantor-kantor partai politik.
Hal ini ditegaskan oleh Bambang Wuryanto (Bambang Pacul) dalam rapat dengar pendapat bersama Menko Polhukam Prof. Mahfud MD.
Baca juga: Aceh di Persimpangan Dua Narasi: Antara Moderasi Mualem dan Retorika Sarat Provokatif Ketua DPRA
Baca juga: Sembilan Sekolah Dasar di Aceh Utara Jadi Sekolah Adiwiyata
Ketika Mahfud meminta agar RUU Perampasan Aset segera disahkan, Bambang menjawab, “Kita ini Korea-Korea, tunduk apa kata ketum partai. Kalau mau cepat, silakan lobi ketum-ketum partai kami.” (Sumber: YouTube)
Pernyataan itu mengungkap kenyataan pahit bahwa pusat kekuasaan sesungguhnya berada di partai politik, bukan di gedung DPR.
Maka jika masyarakat ingin menuntut perubahan, seharusnya yang didemo adalah kantor partai, bukan panggung formal yang hanya menjadi etalase.
Dalam teori politik, para politisi cenderung menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan. Pemikiran Niccolò Machiavelli dalam The Prince menyebut, “The end justifies the means.”
Dalam konteks ini, aksi destruktif seperti pembakaran gedung DPR atau fasilitas publik bisa saja menjadi bagian dari skenario politik. Sebagai alat pengalihan isu, justifikasi tindakan represif, atau bahkan eksploitasi amarah rakyat untuk kepentingan elite.
Menghadapi Kebenaran yang Pahit
Masyarakat yang seharusnya bersatu melawan sistem justru terpecah dalam jebakan emosional yang tidak produktif.
Ironisnya, ini bisa jadi bagian dari strategi para politisi, dengan memanfaatkan kemarahan rakyat untuk menciptakan kekacauan yang justru menguntungkan mereka.
Kita harus berani jujur, banyak pejabat hari ini adalah produk reformasi 1998. Namun saat mereka berkuasa, mereka gagal memenuhi janji dan amanah yang dulu disuarakan.
Kegagalan ini bukan semata kesalahan individu, melainkan kegagalan sistemik yang berakar dari dominasi partai politik.
Baca juga: Gunung Burni Telong Bener Meriah Alami 251 Kali Gempa Vulkanik dan Tektonik
Baca juga: Penyewa Kos di Banda Aceh Perlu di Tes Kesehatan Untuk Cegah Penyakit Menular HIV
Jika kita terus mengulangi kesalahan yang sama, berteriak di tempat yang salah, terjebak dalam narasi yang disiapkan oleh elite—maka kita hanya akan mengulang sejarah.
Pertanyaannya, apakah kita rela membiarkan generasi mendatang kembali menikmati kezaliman politik seperti hari ini?
Sudah saatnya masyarakat cerdas mengubah strategi.
Arahkan amarah dan tuntutan ke sumber masalah yang sesungguhnya, pusat-pusat kekuasaan di partai politik, bukan panggung negara yang hanya menjadi bayangannya.(*)
*) PENULIS adalah Pemerhati Aceh dan juga Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Aceh di Persimpangan Dua Narasi: Antara Moderasi Mualem dan Retorika Sarat Provokatif Ketua DPRA |
![]() |
---|
Dari Server Asing ke Kas Negara, Klik yang Adil untuk Negeri |
![]() |
---|
Berilmu Itu Hebat, Beradab Itu Mulia |
![]() |
---|
Integritas dan Sistem Bercerai, Korupsi Berpesta |
![]() |
---|
Kemudahan Tanpa Tantangan, Jalan Sunyi Menuju Kemunduran Bangsa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.