Pojok Humam Hamid

“Iman Teknokratis” dan “Cuaca Buruk”: Manmohan Singh, Zhu Rongji, dan Sri Mulyani

Di Indonesia, peran itu dalam dua dekade terakhir dijalani oleh Sri Mulyani Indrawati, seorang penjaga fiskal yang mencoba berdiri tegak ...

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Kekuasaannya berasal dari dalam partai, dan perlindungan politisnya hampir absolut. 

Ia adalah teknokrat otoriter yang tidak perlu menjual ide ke publik, cukup meyakinkan politbiro.

Di tangan Zhu, ekonomi Cina tumbuh 8,5 persen pertahun.

Arena penuh jebakan

Sri Mulyani, dalam kontras yang terang, berdiri di atas arena yang jauh lebih cair dan penuh jebakan. 

Selama hampir dua dekade, Sri Mulyani menjadi simbol stabilitas fiskal dan rasionalitas ekonomi. 

Ia bukan politisi, bukan pula juru kampanye.

Ia adalah seorang akuntan republik--orang yang berdiri di jantung kekuasaan, tetapi tidak bermain dalam logika kekuasaan. 

Di masa Presiden SBY, ia menjadi bintang terang yang membawa Indonesia keluar dari krisis. 

Di periode pertama Presiden Jokowi, ia masih dikelilingi sesama teknokrat, Darmin Nasution, Bambang Brodjonegoro, dan Sofyan Djalil. 

Tetapi sejak periode kedua Jokowi, ia mulai sendiri. Ia mulai kehilangan ekosistem tehnokratis.

Dan di bawah Presiden Prabowo, ia benar-benar sendirian, seolah satwa terakhir yang terancam punah.

Ketika Prabowo naik sebagai presiden dengan koalisi besar dan program-program populis seperti Makan Bergizi Gratis ,  Koperasi Merah Putih, dan belanja besar altruista ,tekanan terhadap arsitektur fiskal makin besar.  

Sri Mulyani, yang dikenal hemat dan berhati-hati, tiba-tiba harus menjadi bendahara pesta yang ia sendiri tak pernah diajak untuk ikut merancang.

Tak seperti Zhu yang bisa menolak permintaan elite partai, atau Manmohan Singh yang didukung penuh oleh perdana menterinya, Sri Mulyani seringkali berada dalam posisi sendirian. 

Ia tak punya blok politik yang membela, dan tak ada pelindung di tengah kabut politik yang makin pragmatis. 

Di sisi lain, publik menuntut lebih banyak bantuan, lebih banyak subsidi, sementara ruang fiskal terus menyempit. 

Utang yang menumpuk dari periode sebelumnya mulai jatuh tempo. 

Dan di tengah tekanan itu, pajak dinaikkan, bahkan saat daya beli rakyat sedang tergerus.

Bagi banyak orang, ini seperti luka yang digarami.

Tapi ini bukan karena Sri Mulyani tak mengerti penderitaan rakyat.

Ia sadar menaikkan pajak--dari PPN 11 persen, wacana pajak sembako, layanan digital, hingga lonjakan PBB--bukan keputusan yang mudah di tengah tekanan hidup rakyat. 

Tapi ia tak punya pilihan, karena, makan gratis, koperasi merah putih, dan pembelian altutista harus dibiayai. 

Jangan-jangan isu pengunduran dirinya beberapa bulan yang lalu benar adanya--isyarat dari teknokrat yang dipaksa menambal lubang fiskal di medan yang tak lagi rasional. 

Tindakan yang ia lakukan, karena ia tahu satu hal, tanpa disiplin fiskal, negara akan terperosok lebih dalam. 

Dalam kerangka teknokrasi, ia tahu operasi menyakitkan perlu dilakukan untuk mencegah amputasi di kemudian hari. 

Tapi kita juga harus jujur melihat.

Ia tak lagi berada dalam sistem yang mendengar suara teknokratis seperti itu. 

Kalau kita mau lebih terbuka, kabinet hari ini lebih mirip arena konsensus politik ketimbang forum rasional kebijakan. 

Dalam situasi ini, Sri Mulyani tidak kalah karena argumen, tapi oleh sunyi-sunyi karena tak didengar, dan karena terlalu sedikit yang memilih berdiri di sisinya.

Baca juga: Rekam Jejak Sri Mulyani, Menkeu Terlama Kedua dalam Sejarah, Kini Direshuffle Prabowo

Beda Cina, India, dan Indonesia

Apa yang membedakan Singh dan Sri Mulyani dan Zhu Rongji

Salah satunya adalah konteks politik.

Zhu Rongji dan Manmohan Singh naik ke panggung utama, mengatur orkestra ekonomi sambil memegang tongkat komando. 

Sri Mulyani duduk di ruang mesin, membaca angka seperti doa, sambil menambal lubang kapal yang bocor karena janji kampanye. 

Ketika badai datang, dua yang pertama diberi panggung dan sorak, sementara yang satu yang terakhir diberi kalkulator dan waktu yang makin sempit. 

Lalu ada perintah, makan gratis, koperasi merah putih, dan altutista bergemuruh--sementara anggaran menjerit pelan. 

Pada akhirnya, sang tehnokrat pun tahu, iman pada angka tak cukup jika panggungnya sudah berubah menjadi “pasar malam”.

Singh dan Zhu masuk sebagai teknokrat dalam kabinet yang butuh solusi.

Sri Mulyani masuk sebagai teknokrat dalam kabinet yang ingin ekspansi. 

Singh dan Zhu mengobati negara yang sedang sakit dan tahu dirinya sakit. 

Sri Mulyani mencoba menjaga tubuh yang sudah kelelahan tapi tetap bersikeras ingin berlari maraton. 

Di sisi lain, Singh tetap dihormati karena ia bukan ancaman politik bagi siapa pun. 

Sementara itu Zhu ditakuti karena ia adalah “anak tehnokratis" sang pemilik reformasi Cina, Deng Xioping. 

Zhu juga bersumpah mau dihukum mati kalau ia korupsi.

Sementara Sri Mulyani

Ia berada di tengah kabar reshuffle dan rumor politik, mungkin justru dianggap terlalu bersih, terlalu jujur, atau terlalu menyulitkan agenda populisme.

Kini, Sri Mulyani telah pergi.

Entah karena ia memilih, atau karena ia “dipilihkan” untuk keluar. 

Yang pasti, perginya ia mengingatkan kita pada satu kenyataan pahit. 

Seorang teknokrat hanya berguna selama ia membantu mewujudkan janji kekuasaan. 

Tapi ketika angka-angka mulai menantang narasi populis, maka teknokrat menjadi terlalu asing di rumahnya sendiri.

Indonesia hari ini membutuhkan lebih dari sekadar anggaran besar dan janji bombastis. 

Indonesia membutuhkan logika fiskal, kepemimpinan rasional, dan keberanian untuk mengatakan “tidak” pada kebijakan yang tak punya pijakan. 

Tapi pertanyaannya kini, siapa yang berani berkata “tidak” di meja kekuasaan? 

Siapa yang bisa berbicara dengan suara akuntan republik ketika mayoritas hanya ingin menjadi pencerita?

Dalam sejarah, Sri Mulyani akan dikenang bukan karena ia selalu benar, tapi karena ia memilih berdiri di sisi angka, ketika banyak orang bersembunyi di balik narasi. 

Ia adalah suara sunyi dari sebuah zaman yang lebih senang bertepuk tangan daripada bertanya, apakah negara ini sedang berjalan di atas neraca, atau hanya di atas euforia?

Di saat angka tak lagi didengar, maka republik pun akan kehilangan penyeimbangnya. 

Dan ketika penyeimbang itu pergi, kita hanya bisa berharap bahwa sejarah masih bersedia memberi kita teknokrat berikutnya--yang bersedia berbicara jujur, meski tahu bahwa ia akan berjalan sendirian.(*)

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved