KUPI BEUNGOH
HIV di Banda Aceh, Fenomena Sunyi yang Kian Mengkhawatirkan
Kota Banda Aceh sering dilihat sebagai kota dengan nilai moral yang terjaga, aturan sosial yang ketat, dan kontrol komunitas yang kuat.
Pandangan seperti ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga kontraproduktif. Stigma membuat orang takut memeriksakan diri karena khawatir identitasnya terbongkar.
Akhirnya, mereka yang terinfeksi tetap hidup tanpa pengobatan, tidak menyadari bahwa mereka juga berisiko menularkan pada orang lain.
Padahal, secara medis, ODHA yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) dan menjaga kadar virus tetap rendah (undetectable) hampir tidak memiliki risiko menularkan virus kepada pasangan.
Artinya, dengan deteksi dini dan perawatan yang tepat, HIV sebenarnya bisa dikendalikan. Sayangnya, untuk sampai pada tahap itu, kita harus memecahkan tembok stigma yang membungkam banyak orang.
Baca juga: Evaluasi dan Uji Kompetensi Pejabat Aceh Tuntas, Ini Fakta dan Spekulasi yang Berkembang
Baca juga: Mayor Jenderal TNI Joko Hadi Susilo Resmi Jabat Pangdam IM
Edukasi Seksual yang Menyeluruh: Bukan Tabu, Tapi Kebutuhan
Banyak orang di Banda Aceh masih memandang pendidikan seks sebagai hal yang “tidak pantas” atau “mengajarkan hal buruk pada anak-anak”.
Padahal, justru karena tidak diajarkan, banyak remaja mencari informasi dari sumber yang salah, seperti internet tanpa filter atau cerita teman sebaya yang belum tentu benar.
Edukasi seksual yang tepat bukan berarti mendorong perilaku bebas, tetapi mengajarkan cara menjaga diri, memahami risiko, dan menghargai tubuh sendiri.
Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan tentang bagaimana HIV menular, bagaimana cara mencegahnya, serta mengapa pemeriksaan kesehatan rutin penting dilakukan.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Pemerintah Kota Banda Aceh perlu berani mengambil langkah yang lebih progresif. Tes HIV seharusnya mudah diakses, gratis, dan rahasia terjamin.
Layanan konseling juga harus tersedia tanpa memandang latar belakang agama, status, atau orientasi seksual seseorang.
Program skrining sukarela di sekolah, kampus, dan komunitas bisa menjadi strategi efektif untuk mendeteksi kasus sedini mungkin.
Puskesmas dan rumah sakit juga perlu dilengkapi dengan tenaga kesehatan yang terlatih, tidak hanya dari segi medis, tetapi juga dalam hal empati dan etika pelayanan.
Banyak ODHA yang berhenti berobat bukan karena obatnya tidak ada, tetapi karena merasa diperlakukan berbeda atau dihakimi saat datang berobat.
Baca juga: Usai Cekcok dengan Istri, Warga Aceh Utara Nekat Bakar Diri
Baca juga: Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Temui Dubes RI di Rusia
HIV bukan hanya urusan pemerintah atau lembaga kesehatan. Masyarakat Banda Aceh juga punya peran besar.
Mulai dari menerima keberadaan ODHA tanpa diskriminasi, mendukung teman atau keluarga yang terinfeksi, hingga tidak menyebarkan rumor atau gosip yang merugikan orang lain.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.