KUPI BEUNGOH
HIV di Banda Aceh, Fenomena Sunyi yang Kian Mengkhawatirkan
Kota Banda Aceh sering dilihat sebagai kota dengan nilai moral yang terjaga, aturan sosial yang ketat, dan kontrol komunitas yang kuat.
Oleh: dr. Devrina Maris, MKM *)
DI Banda Aceh, sebuah kota yang dikenal dengan syariat Islam yang ketat dan citra religius yang kuat, namun ada sebuah cerita sunyi yang jarang dibicarakan di ruang publik: angka kasus HIV yang kian meningkat dari tahun ke tahun.
Fenomena ini ibarat gunung es, dimana yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari masalah sebenarnya.
Di balik dinding stigma, diskriminasi, dan rasa takut, banyak kasus yang tidak terdeteksi, membuat penyebarannya kian sulit dikendalikan.
Mengapa ini menjadi ironi?
Kota Banda Aceh sering dilihat sebagai kota dengan nilai moral yang terjaga, aturan sosial yang ketat, dan kontrol komunitas yang kuat.
Tetapi HIV tidak memilih korbannya berdasarkan moral, status, atau agama. Ia menyelinap secara diam-diam melalui celah kurangnya edukasi, ketidakterbukaan, dan keengganan masyarakat untuk memeriksakan diri.
Banyak yang masih berpikir bahwa HIV adalah “penyakit orang luar” atau hanya menimpa kelompok tertentu. Padahal, virus ini sudah berada di tengah-tengah kita, dan bisa menyerang siapa saja.
Realitas yang Tak Terbantahkan
Data dari Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan tren peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS dalam beberapa tahun terakhir.
Lonjakan ini tidak hanya berasal dari kelompok berisiko tinggi seperti pengguna narkoba suntik atau pekerja seks, tetapi juga merambah ke pasangan suami-istri yang awalnya merasa “aman” dalam hubungan pernikahan.
Baca juga: Istri Mantan Perdana Menteri Nepal Tewas usai Rumahnya Dibakar Demonstran
Baca juga: Nepal Bergolak! Rumah Menteri Dijarah, Gedung Pemerintahan hingga Istana Dibakar
Artinya, jalur penularan sudah semakin beragam dan tidak bisa lagi dilihat dari satu kacamata sempit. Sayangnya, masih banyak yang enggan berbicara tentang HIV secara terbuka.
Di warung kopi, topik ini jarang jadi bahan perbincangan kecuali saat ada berita heboh di media.
Di sekolah, materi tentang kesehatan reproduksi dan penularan penyakit seksual masih sering diajarkan setengah hati, bahkan kadang dihindari.
Akibatnya, banyak anak muda yang tumbuh tanpa pengetahuan memadai tentang risiko dan cara pencegahannya.
Stigma: Musuh yang Lebih Berbahaya dari Virus
Di Banda Aceh, stigma terhadap ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) masih sangat kuat. Mereka sering dipandang sebagai “aib” atau “hukuman” akibat perilaku tertentu.
Pandangan seperti ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga kontraproduktif. Stigma membuat orang takut memeriksakan diri karena khawatir identitasnya terbongkar.
Akhirnya, mereka yang terinfeksi tetap hidup tanpa pengobatan, tidak menyadari bahwa mereka juga berisiko menularkan pada orang lain.
Padahal, secara medis, ODHA yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) dan menjaga kadar virus tetap rendah (undetectable) hampir tidak memiliki risiko menularkan virus kepada pasangan.
Artinya, dengan deteksi dini dan perawatan yang tepat, HIV sebenarnya bisa dikendalikan. Sayangnya, untuk sampai pada tahap itu, kita harus memecahkan tembok stigma yang membungkam banyak orang.
Baca juga: Evaluasi dan Uji Kompetensi Pejabat Aceh Tuntas, Ini Fakta dan Spekulasi yang Berkembang
Baca juga: Mayor Jenderal TNI Joko Hadi Susilo Resmi Jabat Pangdam IM
Edukasi Seksual yang Menyeluruh: Bukan Tabu, Tapi Kebutuhan
Banyak orang di Banda Aceh masih memandang pendidikan seks sebagai hal yang “tidak pantas” atau “mengajarkan hal buruk pada anak-anak”.
Padahal, justru karena tidak diajarkan, banyak remaja mencari informasi dari sumber yang salah, seperti internet tanpa filter atau cerita teman sebaya yang belum tentu benar.
Edukasi seksual yang tepat bukan berarti mendorong perilaku bebas, tetapi mengajarkan cara menjaga diri, memahami risiko, dan menghargai tubuh sendiri.
Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan tentang bagaimana HIV menular, bagaimana cara mencegahnya, serta mengapa pemeriksaan kesehatan rutin penting dilakukan.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Pemerintah Kota Banda Aceh perlu berani mengambil langkah yang lebih progresif. Tes HIV seharusnya mudah diakses, gratis, dan rahasia terjamin.
Layanan konseling juga harus tersedia tanpa memandang latar belakang agama, status, atau orientasi seksual seseorang.
Program skrining sukarela di sekolah, kampus, dan komunitas bisa menjadi strategi efektif untuk mendeteksi kasus sedini mungkin.
Puskesmas dan rumah sakit juga perlu dilengkapi dengan tenaga kesehatan yang terlatih, tidak hanya dari segi medis, tetapi juga dalam hal empati dan etika pelayanan.
Banyak ODHA yang berhenti berobat bukan karena obatnya tidak ada, tetapi karena merasa diperlakukan berbeda atau dihakimi saat datang berobat.
Baca juga: Usai Cekcok dengan Istri, Warga Aceh Utara Nekat Bakar Diri
Baca juga: Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Temui Dubes RI di Rusia
HIV bukan hanya urusan pemerintah atau lembaga kesehatan. Masyarakat Banda Aceh juga punya peran besar.
Mulai dari menerima keberadaan ODHA tanpa diskriminasi, mendukung teman atau keluarga yang terinfeksi, hingga tidak menyebarkan rumor atau gosip yang merugikan orang lain.
Komunitas bisa menjadi benteng pertama untuk melawan penyebaran HIV. Misalnya, kelompok pemuda masjid bisa mengadakan kajian kesehatan dengan narasumber dokter, sekolah bisa menyisipkan edukasi kesehatan reproduksi dalam pelajaran, dan media lokal bisa membuat liputan yang membangun kesadaran publik.
Harapan di Tengah Kekhawatiran
Meski situasinya mengkhawatirkan, harapan selalu ada. Beberapa inisiatif lokal sudah mulai bergerak, seperti kampanye “Ayo Tes HIV” yang dilakukan oleh organisasi kesehatan dan relawan.
Kesadaran mulai tumbuh bahwa membicarakan HIV bukanlah hal yang memalukan, tetapi justru langkah penting untuk melindungi diri dan orang lain.
Banda Aceh punya modal sosial yang kuat: solidaritas masyarakat, kepedulian terhadap sesama, dan rasa ingin menjaga nama baik kota.
Jika modal ini diarahkan untuk melawan HIV, bukan tidak mungkin kita bisa menekan laju penyebarannya.
Menutup Mata Bukan Solusi
Virus ini tidak akan berhenti hanya karena kita memilih untuk diam. Justru, dalam diam itulah HIV berkembang paling cepat.
Banda Aceh harus mulai membicarakan HIV secara terbuka, jujur, dan ilmiah tanpa rasa takut atau malu.
Edukasi, tes, pengobatan, dan dukungan sosial adalah empat pilar utama yang harus kita perkuat.
Baca juga: Satbrimob Disposal Bom Militer, Ditemukan di Kebun Warga Lhoong Aceh Besar
Baca juga: Militer Israel Bombardir Doha Ibu Kota Qatar, Klaim Targetkan Para Pemimpin Hamas
HIV bukan sekadar masalah kesehatan, tetapi juga ujian bagi kemanusiaan kita: apakah kita memilih untuk menghakimi atau membantu?
Apakah kita memilih untuk membiarkan stigma membunuh lebih banyak orang, atau berani membuka jalan bagi kesembuhan dan harapan?
Di akhir hari, pilihan itu ada pada kita semua. Banda Aceh bisa menjadi contoh bagaimana sebuah kota yang religius mampu menghadapi tantangan kesehatan modern dengan keberanian, empati, dan keterbukaan.
Tetapi itu hanya akan terjadi jika kita mau melihat masalah ini apa adanya dan bertindak sebelum terlambat.
*) PENULIS adalah Alumni Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Syiah Kuala (USK) dan Pemerhati Masalah HIV/AIDS.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.