Pojok Humam Hamid
Revisi UUPA, TA Khalid, dan “Pepesan Kosong”
UUPA adalah turunan langsung dari MoU Helsinki. Revisi terhadapnya memang diperbolehkan, tetapi tidak boleh bertentangan dengan isi perjanjian damai.
Banyak mungkin enggan menyebutnya demikian.
Tapi jika kekhususan Aceh bisa diabaikan begitu mudah oleh regulasi nasional, maka apa bedanya Aceh dengan provinsi biasa?
Gejolak seperti ini bukan khas Indonesia.
Seperti yang telah disitir sebelumnya di atas, di Spanyol, kisah serupa terjadi.
Catalonia, yang telah diberi otonomi luas, justru disakiti ketika negara pusat membatalkan sebagian hak-haknya dan menolak dialog politik.
Hak dan aspirasi mereka dibungkam, pemimpinnya ditangkap, dan parlemen lokal dibekukan.
Bukannya tenang, Catalonia justru bergolak.
Karena bagi rakyatnya, Spanyol tak lagi bisa dipercaya sebagai rumah bersama.
Jantung persoalan Catalonia bukan semata karena keinginan merdeka.
Tapi karena janji otonomi yang sah secara hukum dikhianati secara sepihak.
Aspirasi identitas ditekan, suara lokal dibungkam.
Ketika kepercayaan runtuh, maka konflik bukan lagi soal politik--tapi soal rasa keadilan yang dilanggar.
Baca juga: 20 Tahun Damai Aceh, Mualem Kecewa Masih Banyak Butir MoU Helsinki Belum Terealisasi
Tanda-tanda kekecewaan
Aceh belum ke titik itu, dan bukan tak mungkin akan sampai ke titik itu.
Tapi tanda-tanda kekecewaan mulai terasa.
Kekhususan yang dulu dijanjikan perlahan digerogoti bukan dengan senjata, tapi dengan pasal-pasal dan kebijakan yang menciutkan otonomi.
Negara memang tidak sedang mengirimkan pasukan, tapi ia mengirim sinyal, bahwa suara Aceh tak lagi penting.
Jangan-jangan, sebagian pihak di pusat memang menganggap bodoh dań bisa terus menerus dibodohi.
Sebagian pihak mungkin menganggap revisi ini adalah bagian dari dinamika hukum yang wajar.
Tapi kita tidak bisa menilai UUPA seperti undang-undang lainnya. Ia lahir dari luka.
Ia disusun sebagai jembatan antara masa lalu yang berdarah dan masa depan yang seharusnya lebih adil.
Maka setiap perubahan terhadap UUPA harus dilandasi bukan semata kepentingan birokrasi, melainkan penghormatan terhadap proses damai dan martabat rakyat Aceh.
Revisi yang tidak berpihak pada substansi perjanjian justru bisa membuka kembali luka yang berusaha kita tutup rapat-rapat.
Kini kita dihadapkan pada pilihan.
Menjadikan revisi UUPA sebagai momentum untuk memperkuat kepercayaan dan keadilan, atau justru sebagai celah untuk melemahkan janji-janji yang telah disepakati.
Negara harus menunjukkan bahwa ia masih setia pada kata-katanya sendiri.
MoU Helsinki bukan sekadar dokumen perundingan.
Perjanjian kesepahaman itu adalah kompas moral dan politik yang seharusnya membimbing semua langkah kita dalam membangun Aceh.
Aceh tidak meminta istimewa.
Aceh hanya meminta ditepati apa yang telah disepakati.
Jangan khianati perdamaian demi kenyamanan politik jangka pendek.
Jangan abaikan sejarah hanya karena kita merasa sudah terlalu jauh dari masa lalu.
Karena yang dilupakan hari ini, bisa kembali menjadi bara esok
Pada aras lain, kita juga harus jujur mengakui bahwa pelaksanaan dana otonomi khusus jilid I tidaklah sempurna.
Ada kelemahan, ada kekurangan, bahkan beberapa kasus penyalahgunaan dana yang patut menjadi bahan evaluasi serius.
Namun, mengaitkan kekurangan ini sebagai alasan untuk menghentikan atau meremehkan pentingnya dana otsus jilid II adalah langkah yang berbahaya dan sangat tidak adil.
Dana Otsus jilid I adalah fase pembelajaran bagi semua pihak--pemerintah pusat, pemerintah Aceh, dan masyarakat.
Kesalahan-kesalahan yang terjadi sejatinya harus menjadi pijakan untuk memperbaiki tata kelola, memperkuat mekanisme pengawasan, dan meningkatkan transparansi dalam penggunaan dana otsus ke depan.
Kelemahan itu bukan alasan untuk mematahkan semangat pemberian kewenangan khusus kepada Aceh, melainkan panggilan untuk memperbaiki, bukan menghapus.
Baca juga: VIDEO - Jusuf Kalla Minta Otsus Aceh Lanjut, "Jangan Biarkan Rakyat Terlantar"
Tanggung jawab moral
Lalu, mengapa dana otsus jilid II wajib dilanjutkan?
Pertama, Aceh masih menghadapi tantangan pembangunan yang jauh dari kata tuntas.
Infrastruktur dasar yang memadai, layanan kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan belum sepenuhnya terpenuhi.
Dana otsus adalah instrumen utama untuk mempercepat perbaikan kualitas hidup rakyat Aceh, sesuai amanat MoU Helsinki dan UUPA.
Kedua, otsus adalah bentuk konkret pengakuan negara atas luka sejarah Aceh sebagai daerah yang pernah menjadi medan konflik berkepanjangan.
Dana ini bukan sekadar transfer anggaran, melainkan wujud tanggung jawab moral dan politik pusat terhadap masa depan Aceh.
Menghentikan dana otsus berarti mengabaikan kewajiban negara untuk menebus masa lalu dan memastikan keadilan berkelanjutan.
Ketiga, otonomi khusus memberikan ruang bagi Aceh untuk merancang kebijakan yang sesuai dengan karakter dan kebutuhan daerahnya sendiri.
Ini adalah kunci untuk menciptakan pemerintahan yang responsif, adaptif, dan efektif--sesuatu yang tidak bisa dicapai dengan pendekatan sentralistis yang kaku.
Keempat, pengalaman internasional menunjukkan bahwa wilayah yang pernah mengalami konflik dan mendapat otonomi khusus membutuhkan komitmen jangka panjang dari negara pusat.
Irlandia Utara, Kurdi di Irak, dan bahkan Catalonia, semuanya menunjukkan bahwa menghormati otonomi dan memberikan dukungan berkelanjutan adalah fondasi stabilitas dan perdamaian jangka panjang yang sejati.
Maka, advokasi kita jelas.
Jangan biarkan kekurangan masa lalu menjadi alasan untuk menghilangkan hak Aceh atas otonomi dan dana otsus.
Gunakanlah momen revisi UUPA dan perpanjangan otsus jilid II ini sebagai momentum memperbaiki tata kelola, memperkuat akuntabilitas, dan memastikan dana tersebut benar-benar berdampak positif bagi rakyat Aceh.
Ini bukan soal subsidi, ini soal keadilan, masa depan, dan penghormatan atas janji damai yang telah dibuat
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
MSAKA21: Indrapuri, Candi yang Menjadi Masjid - Bagian IX |
![]() |
---|
“Iman Teknokratis” dan “Cuaca Buruk”: Manmohan Singh, Zhu Rongji, dan Sri Mulyani |
![]() |
---|
Keamanan vs Perdamaian: Marco Rubio, Netanyahu, Ayalon, dan Masa Depan Palestina |
![]() |
---|
MSAKA21: Indrapatra, Benteng, Candi, dan Jejak Hindu di Pesisir Aceh - Bagian VIII |
![]() |
---|
Penyakit Akar Busuk Negara dan Tragedi Hari Ini |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.