Pojok Humam Hamid

Revisi UUPA, TA Khalid, dan “Pepesan Kosong”

UUPA adalah turunan langsung dari MoU Helsinki. Revisi terhadapnya memang diperbolehkan, tetapi tidak boleh bertentangan dengan isi perjanjian damai. 

Editor: Zaenal
FOR SERAMBINEWS.COM
HUMAM HAMID - Tokoh masyarakat sipil Aceh, Ahmad Humam Hamid berpidato pada acara Peringatan 20 Tahun Perdamaian Aceh yang digelar ERIA School of Government di Jakarta, Kamis (14/8/2025). 

Jika revisi UUPA kembali mengulang pola yang sama, di mana ketentuan-ketentuan kunci hanya menjadi simbol tanpa substansi, maka percuma kita berbicara tentang perdamaian berkelanjutan.

Salah satu luka paling nyata yang dialami kekhususan Aceh hari ini ada pada Pasal 156 UUPA, yang seharusnya menjamin kedaulatan Aceh dalam mengelola sumber daya alamnya. 

Pasal 156 itu yang dahulunya tampak indah dan sangat bermakna, kini telah menjadi apa yang disitir oleh TA Khalid

Pasal itu telah menjadi “pepesan kosong” yang telanjang.

Bayangkan saja, modal kewenanogan pengelolaan kekayaan sumber daya alam mineral non migas yang telah diberikan kepada Aceh dilenyapkan atas nama sebuah UU super yang bernama Omnibus Law.

UU itu telah menerabas dan meluluhlantakkan  semua kewenangan propinsi di Indonesia yang berurusan dengan investasi. 

Aceh dipaksa menerima konsekwensi itu dengan melupakan “kewenangan asimetris” yang telah dilimpahkan dalam UUPA.

Pasal itu bukan sekadar produk hukum--ia adalah bagian dari janji damai setelah konflik panjang. 

Namun sejak diberlakukannya UU Cipta Kerja  dan revisi UU Minerba, kewenangan itu perlahan tapi pasti ditarik ke pusat. 

Akibatnya, Pemerintah Aceh nyaris tak punya suara lagi atas tambang-tambang yang beroperasi di tanahnya sendiri.

Lihat saja kasus tambang emas di Linge, Aceh Tengah. 

Izin pertambangan dikeluarkan langsung dari Jakarta, tanpa melibatkan pemerintah daerah, apalagi masyarakat adat yang mewarisi dan menjaga tanah itu turun-temurun. 

Tak ada penghormatan terhadap nilai-nilai lokal. 

Seolah Aceh adalah wilayah tanpa identitas, tanpa sejarah, tanpa hak menentukan nasibnya sendiri.

Apakah ini hanya soal administrasi? Atau justru cerminan dari pengkhianatan diam-diam terhadap perjanjian damai yang pernah diteken dengan penuh harapan di Helsinki?

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved