Breaking News

KUPI BEUNGOH

Menggali Solusi: Menata Tambang Emas Rakyat di Aceh tanpa Represi

Tambang ilegal bukan hanya merusak lingkungan dan hutan Aceh, tetapi juga melahirkan persoalan hukum dan sosial

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HO
Edy Mirza,ST adalah Underground Production, Drilling & Blasting Engineer di PT Freeport Indonesia I Alumni Teknik Pertambangan Unsyiah 

Oleh Edy Mirza,ST*)

Tambang emas ilegal di Provinsi Aceh masih menjadi persoalan besar. 

Data terbaru menunjukkan bahwa hingga akhir 2024 terdapat sekitar 8.107 hektare wilayah pertambangan emas ilegal tersebar di berbagai kabupaten, mulai dari Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, Aceh Jaya, hingga Aceh Tengah, Aceh Selatan, dan Aceh Besar (Mongabay, 2024). 

Luas ini meningkat dari 6.805 hektare pada tahun sebelumnya, menandakan bahwa penertiban represif yang selama ini dilakukan belum menyentuh akar masalah. Tentunya, angka tersebut terus bertambah hingga kini.

Tambang ilegal bukan hanya merusak lingkungan dan hutan Aceh, tetapi juga melahirkan persoalan hukum dan sosial. 

Baca juga: Mualem Ultimatum Tambang Ilegal, Minta Tarik Semua Alat Berat dalam Hutan dalam 2 Minggu

Menurut Pansus minerba dan migas DPR Aceh, aktivitas tambang ilegal di provinsi ini berlangsung masif: sekitar 450 titik operasi dengan 1.000 unit alat berat aktif bekerja. 

Ironisnya, DPR juga mencatat dugaan praktik setoran hingga Rp 360 miliar tiap tahun kepada oknum aparat agar aktivitas tersebut tetap berjalan.

Tradisi menambang emas di Aceh bukan hal baru. Catatan kolonial menunjukkan bahwa sejak abad ke-17, kawasan Woyla dekat Meulaboh sudah dikenal sebagai pusat perdagangan emas yang diawasi VOC (van Leeuwen, 2014). 

Hingga kini, tradisi itu masih berlangsung dalam bentuk artisanal and small-scale gold mining (ASGM) yang menjadi tumpuan ekonomi ribuan keluarga di pedalaman Aceh (Meutia et al., 2022).

Sayangnya, negara lebih sering hadir dalam bentuk penertiban represif. 

Aparat melakukan razia, namun masyarakat menilai tindakan ini justru memperburuk keadaan. 

Hal ini bukan hanya karena tambang sudah menjadi mata pencaharian turun-temurun, tetapi juga karena ada dugaan keterlibatan aktor besar dalam melanggengkan praktik tambang ilegal. 

Investigasi menunjukkan adanya relasi antara penambang, pemodal, dan oknum aparat. Studi tentang tambang emas ilegal di Indonesia mencatat bahwa penambang sering kali dipaksa “membayar perlindungan” kepada aparat, politisi, atau militer agar aktivitasnya dibiarkan berjalan (Hasibuan & Tjakraatmadja, 2022). 

Bahkan, laporan di Aceh menyebutkan adanya praktik setoran uang di kantor polisi sebagai bentuk “jaminan keamanan” bagi aktivitas tambang (McCulloch, 2005).

Baca juga: TA Khalid Ajak Semua Pihak Kawal Ultimatum Mualem Soal Praktik Haram Tambang Ilegal

Persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari fenomena yang dikenal sebagai resource curse atau kutukan sumber daya. 

Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved