Pojok Humam Hamid
MSAKA21: Peureulak dan Samudera Pasai, Poros Mula Islam Nusantara - Bagian XIII
Dalam lintasan sejarah kedatangan Islam ke sebagian wilayah Asia Tenggara, Peureulak dan Samudera Pasai menonjol sebagai dua poros utama
MSAKA21 adalah serial tulisan karya Prof. Ahmad Humam Hamid yang bertujuan membaca ulang sejarah Aceh dengan pendekatan modern dan kritis. Serial ini berjudul “Membaca Sejarah Aceh dengan Kacamata Abad ke-21” (disingkat MSAKA21) dan ditulis oleh Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, seorang sosiolog dan Guru Besar di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Artikel di bawah ini adalah bagian ke-13 dari serial artikel yang pertama kali ditulis sejak bulan Juli 2025.
***
Oleh Ahmad Humam Hamid*)
Dalam lintasan sejarah kedatangan Islam ke sebagian wilayah Asia Tenggara, Peureulak dan Samudera Pasai menonjol sebagai dua poros utama yang menentukan arah dan intensitas penyebaran Islam di Nusantara.
Proses ini bukanlah sebuah penaklukan militer yang brutal, melainkan sebuah transformasi kultural dan sosial yang terjadi secara damai, bertahap, dan sangat elegan.
Di sinilah Islam mengukir jejaknya, bukan sebagai kekuatan yang memaksa, tetapi sebagai fenomena sosial yang meresap melalui jalur perdagangan yang sibuk, melalui ikatan perkawinan antar-etnis yang menyatukan budaya, dan melalui dakwah para ulama serta lembaga pendidikan yang tumbuh subur.
Fenomena, penguasaan perlahan dengan cara lunak, tepatnya strategi “soft hegemonic transition” ini memperlihatkan bagaimana Islam menjadi kekuatan dominan yang tidak memaksakan diri dengan kekerasan, melainkan memperoleh legitimasi sosial dan spiritual melalui pendekatan persuasif dan inklusif.
Sebelum kedatangan Islam, masyarakat Nusantara hidup dalam tradisi animisme dan dinamisme, sebuah pola kepercayaan yang erat dengan roh leluhur, kekuatan alam, dan benda bertuah yang memandu kehidupan sosial dan spiritual.
Pengaruh Hindu dan Buddha yang datang sejak abad pertama Masehi memang telah membentuk kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit, tetapi pengaruh tersebut masih terbatas pada kalangan elit dan tidak menembus ke akar budaya rakyat jelata.
Penyebaran agama Hindu-Buddha bersifat segmental, tidak menggantikan pola kepercayaan lokal secara menyeluruh.
Di sinilah Islam tampil berbeda, dengan ajarannya yang egaliter dan penghapusan sekat kasta, menarik berbagai kalangan masyarakat.
Akses terbuka terhadap ilmu agama melalui masjid dan ulama memungkinkan transformasi keagamaan yang lebih merata dan mendalam.
Proses islamisasi di Nusantara berjalan bertahap, dengan laju yang berbeda-beda di tiap wilayah, hingga akhirnya melahirkan kerajaan-kerajaan Islam yang mandiri, berdaulat, dan berpengaruh.
Baca juga: Misteri Kitab Idharul Haq, Simpan Bukti Kerajaan Peureulak, Bikin Bupati Buat Sayembara Rp 100 Juta
Peureulak: Gerbang Awal Islam di Nusantara
Peureulak, sebuah wilayah pesisir di Aceh Timur, menjadi titik awal penting dalam sejarah Islam Nusantara.
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai dan berbagai sumber lainnya, Islam mulai dikenal di Peureulak sejak abad ke-9 Masehi, dibawa oleh saudagar Arab yang memanfaatkan angin “monsoon”- muson barat dań timur sebagai energi terbarukan abadi yang memberikan energi pelayaran kapal laut yang luar biasa.
Setiap tahun, antara bulan November sampai Maret, Angin berhembus barat dari Asia ke Australia yang membawa saudagar Arab, India, da kawasan utara bumi lainnya berlayar ke Nusantara.
Sebaliknya antara bulan April sampai dengan Oktober, bertiup pula angin timur yang berhembus dari Australia ke Asia yang membawa mereka pulang kembali ke kampung halamannya.
Angin itu pula yang membawa pedagang Cina pulang pergi ke berbagai wilayah Nusantara.
Tokoh seperti Syekh Abdullah Arif berperan besar sebagai penyebar utama agama Islam di daerah Peureulak pada masa itu.
Peureulak berkembang menjadi kesultanan Islam pertama di Nusantara, dengan raja-raja yang menjadikan Islam sebagai identitas kerajaan dan fondasi pemerintahan.
Meskipun beberapa catatan bercampur dengan unsur legendaris, sejarawan sepakat bahwa Peureulak menjadi pusat komunitas Muslim yang terorganisir dan berpengaruh.
Pelabuhan Peureulak ramai dengan kapal dari Arab, Persia, Gujarat, dan Tiongkok, membentuk komunitas Muslim multietnis dan multikultural yang menjadi fondasi peradaban Islam awal di wilayah ini.
Baca juga: Kolaborasi Unimal dan PNL Desain Signage Kawasan Heritage Samudera Pasai
Samudera Pasai: Konsolidasi dan Penguatan Islamisasi
Jika Peureulak adalah gerbang awal Islam di Nusantara, maka Samudera Pasai adalah konsolidasi dan penguatan yang menentukan.
Muncul pada abad ke-13 di Lhokseumawe, Aceh Utara, Samudera Pasai tercatat secara jelas dalam sejarah dan arkeologi sebagai kerajaan Islam pertama yang terorganisir dengan baik.
Pendiriannya oleh Malik al-Saleh, yang makamnya masih berdiri dengan inskripsi Arab, menjadi bukti kuat eksistensi kerajaan ini.
Samudera Pasai tidak hanya menjadi pusat perdagangan internasional yang strategis, tetapi juga pusat dakwah dan pemerintahan Islam yang kokoh.
Catatan Ibnu Battutah pada abad ke-14 menunjukkan bahwa masyarakat Pasai menjalankan syariat Islam secara baik, dengan ulama memegang peran penting dalam pemerintahan.
Kerajaan ini bahkan memproduksi mata uang bertuliskan kalimat tauhid, mempertegas legitimasi agama dalam struktur kekuasaan dan ekonomi.
Hubungan diplomatik Samudera Pasai dengan kerajaan Islam lain di Nusantara seperti Minangkabau, Jambi, Palembang, Malaka, dan pesisir utara Jawa menegaskan posisinya sebagai penghubung penting dalam penyebaran Islam yang lebih luas.
Jalur Pelayaran dan Angin Muson: Katalis Peradaban Islam
Letak geografis Peureulak dan Pasai di pesisir utara Sumatra adalah sebuah anugerah strategis.
Berada di jalur pelayaran utama Selat Malaka, yang sejak lama menjadi rute perdagangan tersibuk di dunia, wilayah ini menghubungkan dunia Islam di Timur Tengah dan Asia Selatan dengan Asia Timur.
Para saudagar Muslim dari Arab, Persia, dan Gujarat menggunakan jalur ini dengan cermat, memanfaatkan pola angin muson sebagai penunjuk arah pelayaran.
Muson barat dari November hingga Maret membawa kapal ke Nusantara, sementara muson timur dari Mei hingga September mengantarkan mereka kembali ke arah barat.
Pola pelayaran musiman ini menciptakan komunitas musiman yang kemudian bertransformasi menjadi permukiman tetap, membentuk pusat-pusat Islam yang kuat dan dinamis di pesisir utara Sumatra.
Komunitas ini juga memungkinkan akulturasi budaya yang harmonis, di mana Islam tidak hanya diterima sebagai agama baru, tetapi juga diadaptasi dengan nilai-nilai lokal, menghasilkan identitas Nusantara yang unik dan inklusif.
Baca juga: Nisan Tokoh Muslim Era Lamuri di Laweung Digulingkan ke Jurang, Prajurit TNI dan Warga Bereaksi
Lamuri dan Fansur: Pelabuhan Penting, Tapi Bukan Poros Islamisasi
Sebagai pembanding, pelabuhan Lamuri dan Fansur- Singkil juga dikenal penting sejak abad ke-9 Masehi.
Lamuri, di sekitar Banda Aceh, tercatat dalam sumber Arab dan Tiongkok sebagai pelabuhan yang mengenal Islam sejak dini.
Namun, Lamuri tidak berkembang menjadi kerajaan Islam yang mapan dengan struktur politik dan agama terorganisir.
Fansur, terkenal dengan produk kapur barusnya yang legendaris, menjadi pusat perdagangan signifikan tetapi peran institusi Islam di sana tidak menunjukkan kekuatan yang sama.
Bukti arkeologis yang mengindikasikan keberadaan institusi Islam kuat di Barus sangat minim jika dibandingkan dengan Peureulak dan Pasai.
Hal ini menegaskan bahwa meski wilayah-wilayah ini penting secara ekonomi, peran Peureulak dan Samudera Pasai sebagai pusat transformasi sosial dan agama jauh lebih dominan.
Baca juga: Lamuri Bangsa Camik Pertama di Aceh?
Warisan Peureulak dan Pasai: Fondasi Islamisasi Nusantara
Keberhasilan Peureulak dan Samudera Pasai dalam mengintegrasikan Islam ke dalam kehidupan sosial dan politik menjadikan keduanya sebagai lumbung utama Islamisasi di Nusantara.
Dari sini, Islam menyebar ke berbagai wilayah lain, membentuk kerajaan-kerajaan Islam besar seperti Malaka, Aceh Darussalam, Demak, dan Banten.
Proses ini membentuk mosaik keislaman Nusantara yang khas--dinamis, inklusif, dan adaptif terhadap budaya lokal.
Islamisasi Nusantara bukanlah fenomena tunggal dan homogen, melainkan sebuah jaringan kompleks yang bertumbuh dari titik-titik awal seperti Peureulak dan Pasai.
Kedua wilayah ini menjadi model keberhasilan Islamisasi damai yang terorganisir, di mana identitas Islam melampaui dimensi keagamaan, merambah ke politik, ekonomi, dan budaya.
Pelajaran dari Perubahan yang Damai
Peureulak dan Samudera Pasai tidak sekadar menjadi titik awal pengenalan Islam di Nusantara.
Keberhasilan mereka dalam mentransformasi agama baru ini menjadi kekuatan sosial dan politik yang luas dan berdampak signifikan adalah hal yang patut dicermati.
Eksistensi mereka menandai momen revolusioner yang mengubah wajah peradaban Nusantara, meletakkan dasar bagi identitas dan kekuatan sosial-politik yang hingga kini menjadi ciri khas kawasan ini.
Dalam narasi besar sejarah global, Peureulak dan Samudera Pasai adalah contoh nyata bagaimana agama dan kekuasaan dapat bersatu membentuk peradaban baru.
Ini adalah sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana perubahan besar dapat terjadi melalui pendekatan yang damai, adaptif, dan inklusif.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.
MSAKA21
Kerajaan Peureulak
sejarah peureulak
Kerajaan Samudera Pasai
sejarah samudera pasai
sejarah Aceh
Lamuri
sejarah Kerajaan Lamuri
poros islam nusantara
pojok humam hamid
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
Serambinews
Tambang Rakyat di Aceh: Potensi, Prospek, dan Tantangan |
![]() |
---|
Proposal Trump, Otoritas Teknokratis, dan Prospek Damai Palestina |
![]() |
---|
MSAKA21 - Kerajaan Lamuri: Maritim, Inklusif, dan Terbuka – Bagian XII |
![]() |
---|
Kekonyolan Bobby dan “Hikayat Ketergantungan”: Yunnan, Bihar, Minas Gerais, dan Aceh |
![]() |
---|
Ironi Palestina: Koalisi Keuangan Internasional dan Retak Internal Berkelanjutan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.