Kupi Beungoh
Dr. Hanifah Nurdin: Akademisi Perempuan Muda di Aceh yang Menginspirasi Lewat Kajian Media & Konten
Sebagai akademisi muda di Aceh, Hanifah menjadi salah satu sosok perempuan yang menginspirasi lewat kiprah dan karya ilmiahnya.
Oleh : Syifaurrahmah Azhari dan Lathifatunnisa Arman
Sebagai akademisi muda di Aceh, Hanifah menjadi salah satu sosok perempuan yang menginspirasi lewat kiprah dan karya ilmiahnya. Ia berhasil menyelesaikan studi doktoral dengan disertasi berjudul “Anomali Komodifikasi Konten Lelaki Feminin Selebritis Instagram Aceh dalam Perspektif Budaya dan Agama.”
Karya ilmiah ini tak hanya memperluas wacana akademik, tetapi juga menarik perhatian publik karena berani mengangkat fenomena media sosial yang dekat dengan kehidupan masyarakat Aceh modern.
Keberanian Hanifah meneliti isu sosial kontemporer dengan pendekatan budaya dan agama mencerminkan kemahiran akademisi yang berpikir kritis namun tetap berpijak pada nilai-nilai moral dan lokalitas.
Langkah Awal Pendidikan
Hanifah memulai pendidikannya di SD Tanjung Selamat, lalu melanjutkan ke SMP Negeri 8 Banda Aceh dan SMA Negeri 5 Banda Aceh.
Tahun 2008, ia diterima di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Sejak awal kuliah, ia dikenal sebagai mahasiswi tekun dan disiplin.
Pada semester enam, ia sudah melakukan seminar proposal dan mulai menulis skripsi, lalu menyelesaikan seluruh tahapan akademiknya dengan tepat waktu.
Empat tahun kemudian, pada September 2012, ia resmi diwisuda. Setelah lulus, Hanifah sempat bekerja di luar bidang akademik selama satu tahun sebelum akhirnya bergabung dengan Harian Serambi Indonesia di bagian iklan pada 2014 sebagai Account Executive.
Selama lima setengah tahun di sana, ia belajar banyak tentang dunia komunikasi dan media. Menjadi praktisi dibidangnya.
Perpindahan dari praktisi ke akademisi bukanlah jalur yang mudah, ia terus menggali pengetahuan dan tak pernah berhenti belajar hingga mencapai puncak seperti hari ini.
Baca juga: Jejak Doa di Jalan Ilmu: Dari Perjuangan Pendidikan hingga Kursi Rektor UIN Ar-Raniry
Melewati Masa Sulit dengan Kekuatan Tekad
Perjalanan Hanifah tidak selalu mudah. Tantangan besar datang ketika ayahnya wafat pada tahun 2009, saat ia masih semester satu akhir. Kehilangan itu membuatnya harus bertahan dan berjuang seorang diri.
Untuk membiayai kuliah, ia melakukan berbagai jenis pekerjaan mulai dari menjadi cleaning service, memelihara sapi, menjual kue, hingga berkebun.
“Sejak ayah tiada, saya belajar menjadi kuat dan mandiri,” ujarnya. Meski harus berjuang keras, prestasinya tetap cemerlang. Di semester pertama, ia meraih IPK 3,90, lalu mendapatkan beasiswa DIPA UIN di semester kedua. Selain masalah ekonomi dan waktu, ia juga menghadapi tantangan akademik di mata kuliah Bahasa Arab karena latar belakangnya dari SD hingga SMA. Namun, ia tetap gigih belajar.
Menemukan Panggilan Akademik
Di sela kesibukan bekerja, tahun 2015 Hanifah melanjutkan pendidikan S2 di Pascasarjana UIN Ar-Raniry dengan konsentrasi Ilmu Dakwah. Ia menyelesaikannya hanya dalam dua setengah tahun.
Sejak awal, cita-citanya menjadi dosen telah tertanam kuat bahkan ketika bekerja di Serambi Indonesia, cita-cita menjadi dosennya tetap terlihat 5cm dari matanya. Impian itu terwujud pada 2018-2019 ketika ia mengikuti seleksi CPNS untuk pertama kalinya dan berhasil lulus dengan peringkat kedua dari tiga besar peserta terbaik.
Kebiasaan bangun dini hari untuk belajar di mulai pukul 03.00 wib hingga menjelang subuh membawanya pada banyak capaian. Tahun 2019, ia resmi menjadi dosen, lalu pada tahun 2021 diamanahkan sebagai Sekretaris Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) hingga masa jabatan 2026.
Di tengah kesibukan mengajar dan menjalankan amanah, ia kembali menantang dirinya dengan menempuh pendidikan S3 pada tahun 2022 dan selesai di tahun 2025. Saat mengerjakan disertasi, beliau juga mengerjakan borang akreditasi prodi yang sama-sama menyita waktu. “Sesuatu yang dimulai harus diselesaikan sampai akhir,” ucapnya mantap.
Dedikasi dan disiplin Hanifah dalam dunia pendidikan mencerminkan keteladanan akademisi muda Aceh: tekun, berprinsip, dan konsisten terhadap komitmen.
Perhatian pada Dunia Media
Ketertarikan Hanifah terhadap media sosial berangkat dari pengalaman langsung saat bekerja di dunia jurnalistik. Ia menyadari bagaimana media mampu memengaruhi cara berpikir dan perilaku masyarakat. “Dulu kita bergantung pada televisi dan radio, sekarang masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial seperti TikTok, Facebook, Instagram, dan YouTube,” ujarnya.
Menurutnya, media baru atau new media tidak akan mati, melainkan terus bertransformasi mengikuti perkembangan zaman. Namun, di sisi lain, lemahnya regulasi dan minimnya kontrol nilai membuat konten digital sering kali melenceng dari norma. “YouTube, misalnya, tidak memiliki lembaga penyiaran resmi. Hanya UU ITE yang menjadi batasnya,” tambahnya.
Pandangannya ini menunjukkan kepekaan akademik terhadap perubahan sosial. Ia tidak sekadar menilai, tetapi juga mengingatkan pentingnya peran nilai budaya dan agama dalam penggunaan media digital yang sehat dan bermartabat.
Disertasi dan Fenomena Sosial
Dalam disertasi berjudul “Anomali Komodifikasi Konten Lelaki Feminin Selebritis Instagram Aceh dalam Perspektif Budaya dan Agama,” Hanifah menyoroti bagaimana konten digital dapat menjadi komoditas yang memengaruhi persepsi publik. Gagasannya berawal dari rasa keheranan ketika melihat banyak video hiburan yang menampilkan laki-laki bergaya feminin dan justru dianggap lucu.
“Awalnya teman mengirim video itu sebagai lelucon, tapi saya justru melihat sisi pesannya, kontennya. Mengapa konten seperti itu dianggap wajar?” ujarnya. Menurut Hanifah, fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya konsumsi digital mempengaruhi cara masyarakat memaknai identitas dan peran gender.
Penelitian tersebut tidak bermaksud menghakimi, melainkan menganalisis perubahan sosial dari sudut pandang ilmiah. Hanifah mencoba mengembalikan fungsi media sebagai ruang komunikasi yang edukatif, bukan sekadar hiburan tanpa nilai.
Resonansi di Tengah Masyarakat
Hasil penelitian Hanifah mendapat respons luas dari publik. Berdasarkan surveinya, sekitar 70 persen masyarakat setuju bahwa fenomena konten tersebut merupakan bentuk penyimpangan dari nilai budaya lokal. Banyak masyarakat yang merasa pandangannya sejalan dengan keresahan mereka terhadap media sosial yang semakin bebas.
Hal ini menjadi bukti bahwa penelitian akademik bisa menyentuh realitas sosial. Hanifah berhasil menghadirkan riset yang relevan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Ia menjadikan disertasi bukan hanya syarat akademis, tetapi juga kontribusi nyata terhadap literasi media dan kesadaran moral publik.
Menjaga Identitas dan Nilai
Hanifah berpendapat bahwa masyarakat Aceh perlu kembali memperkuat identitasnya yang berakar pada nilai Islam dan budaya lokal. “Konten yang positif memang tidak cepat viral, tapi akan bertahan lebih lama dan memberi manfaat,” katanya. “Kalau ingin terkenal, maka terkenallah dengan elegan” ucapnya.
Menurut kami, pernyataan ini sangat relevan. Di tengah banjir informasi dan tren instan, masyarakat perlu menumbuhkan budaya bermedia yang cerdas dan beretika. Hanifah juga mengajak generasi muda untuk membuat konten yang menggambarkan kearifan lokal, kuliner tradisional, dan hal-hal positif lainnya. “Kalau yang viral justru yang salah, bagaimana citra Aceh sebagai Serambi Mekkah akan terlihat?” ujarnya retoris.
Pesan Kami untuk Generasi Muda
Fenomena generasi muda yang lebih mengejar popularitas ketimbang nilai kini menjadi tantangan tersendiri di era digital. Banyak orang memperoleh keuntungan tanpa pekerjaan formal, cukup dengan membuat konten yang viral.
Siklusnya sederhana: konten yang viral membawa popularitas, popularitas menghasilkan keuntungan, dan keuntungan membuat seseorang terus mengulang hal yang sama dan itu sering kali terjadis tanpa memikirkan pesan di baliknya.
Bagi kami, kondisi ini menunjukkan perlunya kesadaran baru dalam berkarya di dunia digital. Popularitas seharusnya tidak mengalahkan etika dan moralitas. Konten yang baik mungkin tidak langsung viral, tetapi dampak positifnya akan bertahan lama dan menjadi cerminan integritas pembuatnya.
Hanifah membuktikan bahwa perempuan Aceh mampu berperan penting di dunia akademik tanpa kehilangan jati diri budaya dan agamanya. Ia menjadi contoh bahwa ilmu dan moralitas bisa berjalan seiring, dan keberhasilan sejati adalah ketika pengetahuan membawa manfaat bagi banyak orang.
Penulis adalah Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam FDK UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.