KUPI BEUNGOH

Membaca Kearifan Tambang dalam Hadih Maja dan Syair Langgolek

Tambang mungkin mempercepat pembangunan, tetapi juga mempercepat kerusakan jika tidak dikendalikan dengan hati dan nurani.

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HO
ROZAL NAWAFIL, Alumni IPDN, Mahasiswa Pascasarjana UISU, dan Analis Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah pada Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya, tinggal di Blangpidie, Aceh Barat Daya. 

Hadih Maja dan Syair Langgolek mengajarkan hal yang sama bahwa tanah dan manusia harus dijaga lebih dari emas. 

Padi adalah lambang kehidupan, dan manusia adalah penjaganya. Jika keduanya rusak, maka tidak ada kekayaan yang tersisa.

Kesadaran ekologis ini bahkan terpatri dalam toponimi Aceh. Banyak daerah memakai kata Blang dan Breueh seperti Blangpidie, Blangkejeren, Blang Bintang, hingga Pulo Breueh. 

“Blang” berarti hamparan sawah, “Breueh” berarti beras. Nama-nama ini adalah jejak cara berpikir masyarakat yang memuliakan tanah pertanian sebagai sumber kehidupan.

Warisan lain yang sarat makna adalah tradisi peusijuek atau tepung tawar. Dalam setiap peusijuek, dua unsur utama selalu hadir: beras dan daun hijau. 

Beras melambangkan kehidupan, hasil bumi yang halal, dan kesejahteraan yang datang dari tanah yang dijaga. Daun hijau melambangkan keseimbangan dan kesucian alam.

Ketika beras dan daun dipadukan, maknanya jelas: manusia hanya hidup tenteram bila menjaga harmoni antara bumi dan diri.

Baca juga: Bupati Aceh Barat Daya Safaruddin Akan Evaluasi Semua Tambang

Maka ironis bila di satu sisi kita menepung-tawari tanah dengan doa keselamatan, sementara di sisi lain kita melubangi bumi demi emas.

Dalam bahasa simbolik peusijuek, kita sedang menabur beras di atas tanah yang sudah kehilangan daunnya. Karena itu, kini saatnya kita menimbang ulang arah pembangunan Aceh agar berpihak pada tanah, air, dan manusia.

Pepatah Aceh dan Aneuk Jamee mengajarkan bahwa kekayaan sejati adalah yang tidak mengorbankan manusia dan alam. 

Bila tambang hanya meninggalkan air raksa dan luka, itu bukan kekayaan, melainkan utang ekologis bagi generasi mendatang.

Masyarakat Aceh-Sumatra telah memiliki konsep “ekonomi moral” jauh sebelum teori itu dikenal di dunia Barat. 

Dalam tulisannya The Moral Economy of the English Crowd (1971), sejarawan E.P. Thompson menjelaskan bahwa setiap sistem ekonomi harus berpijak pada nilai sosial masyarakat, bukan semata logika pasar.

Potensi mineral Aceh memang besar. Namun kekayaan alam yang tidak dikelola dengan nilai moral dan sosial akan berubah menjadi kutukan.

Baca juga: Tragedi Runtuhnya Tambang Emas Ilegal di Aceh Jaya, Ternyata Korban 2 Kali Tertimbun Longsor 

Syair Aceh lama menutup pelajaran ini dengan keindahan dan peringatan:
“Jud makjud dikurok-kurok gunong, ji keumeu tamong u dalam donya; uroe dikurok malam diseubee, malaikat thee geuyue doe teuma.”

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved