KUPI BEUNGOH

Membaca Kearifan Tambang dalam Hadih Maja dan Syair Langgolek

Tambang mungkin mempercepat pembangunan, tetapi juga mempercepat kerusakan jika tidak dikendalikan dengan hati dan nurani.

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HO
ROZAL NAWAFIL, Alumni IPDN, Mahasiswa Pascasarjana UISU, dan Analis Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah pada Sekretariat Daerah Kabupaten Aceh Barat Daya, tinggal di Blangpidie, Aceh Barat Daya. 

Inilah yang dimaksud Hadih Maja: “kaya meuïh hana meusampé” Emas bisa mengelabui pandangan, tetapi padi meneguhkan kehidupan.

Baca juga: Tambang Aceh untuk siapa?

Tambang mungkin mempercepat pembangunan, tetapi juga mempercepat kerusakan jika tidak dikendalikan dengan hati dan nurani.

Beberapa tahun terakhir, isu pertambangan rakyat versus perusahaan besar (PT) menjadi polemik di sejumlah kabupaten di Aceh. Sebagian masyarakat menggantungkan hidup pada penambangan emas tradisional, sementara pemerintah berupaya menertibkan aktivitas ilegal dan mengundang investasi formal.

Padi lambang kehidupan

Namun pertanyaan mendasar tetap sama: apakah arah pembangunan Aceh masih sejalan dengan nilai-nilai dasarnya sendiri?

Jika merujuk pada Hadih Maja, arah pembangunan ideal seharusnya bertumpu pada pangan, kelestarian, dan kesejahteraan bersama, bukan akumulasi kapital jangka pendek. 

Dalam kerangka kebijakan publik, hal ini berarti memperkuat sektor pertanian, memperluas Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang ramah lingkungan, serta memastikan distribusi manfaat ekonomi secara adil bagi masyarakat lokal.

Aceh memiliki kearifan yang jauh lebih maju dari zamannya. 

Petuah “kaya padé raeusampoerna” adalah ekspresi filsafat hidup masyarakat yang hidup selaras dengan alam. 

Dalam konteks hari ini, ketika tanah subur terancam oleh ekspansi tambang dan alih fungsi lahan, Hadih Maja menjadi pengingat moral bahwa kemakmuran tanpa keberlanjutan hanyalah kemewahan yang rapuh.

Masyarakat Aneuk Jamee di pesisir barat selatan Aceh memiliki ungkapan serupa. 

Dalam Syair Langgolek, yang kini telah disahkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional 2025, terdapat pepatah, “Hilang ameh dapek ditimbang, hilang sibujang kama dicari.”

Artinya, “Hilang emas dapat ditimbang, hilang anak bujang ke mana dicari.”

Baca juga: Tambang Rakyat di Aceh: Potensi, Prospek, dan Tantangan

Ungkapan ini bukan hanya tentang kehilangan orang muda, tetapi tentang hilangnya generasi, tenaga kehidupan, dan masa depan manusia. 

Ketika tambang mencemari air, merusak sawah, dan memecah masyarakat karena izin dan kepentingan, maka yang hilang bukan sekadar emas, melainkan anak manusia itu sendiri.

Hal ini memang agak berbeda dengan pepatah Minang, “Dek ameh sagalo kameh, dek padi sagalo jadi.”(Karena emas semua siap, karena padi semua jadi.)

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved