KUPI BEUNGOH
Membaca Kearifan Tambang dalam Hadih Maja dan Syair Langgolek
Tambang mungkin mempercepat pembangunan, tetapi juga mempercepat kerusakan jika tidak dikendalikan dengan hati dan nurani.
Inilah yang dimaksud Hadih Maja: “kaya meuïh hana meusampé” Emas bisa mengelabui pandangan, tetapi padi meneguhkan kehidupan.
Baca juga: Tambang Aceh untuk siapa?
Tambang mungkin mempercepat pembangunan, tetapi juga mempercepat kerusakan jika tidak dikendalikan dengan hati dan nurani.
Beberapa tahun terakhir, isu pertambangan rakyat versus perusahaan besar (PT) menjadi polemik di sejumlah kabupaten di Aceh. Sebagian masyarakat menggantungkan hidup pada penambangan emas tradisional, sementara pemerintah berupaya menertibkan aktivitas ilegal dan mengundang investasi formal.
Padi lambang kehidupan
Namun pertanyaan mendasar tetap sama: apakah arah pembangunan Aceh masih sejalan dengan nilai-nilai dasarnya sendiri?
Jika merujuk pada Hadih Maja, arah pembangunan ideal seharusnya bertumpu pada pangan, kelestarian, dan kesejahteraan bersama, bukan akumulasi kapital jangka pendek.
Dalam kerangka kebijakan publik, hal ini berarti memperkuat sektor pertanian, memperluas Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang ramah lingkungan, serta memastikan distribusi manfaat ekonomi secara adil bagi masyarakat lokal.
Aceh memiliki kearifan yang jauh lebih maju dari zamannya.
Petuah “kaya padé raeusampoerna” adalah ekspresi filsafat hidup masyarakat yang hidup selaras dengan alam.
Dalam konteks hari ini, ketika tanah subur terancam oleh ekspansi tambang dan alih fungsi lahan, Hadih Maja menjadi pengingat moral bahwa kemakmuran tanpa keberlanjutan hanyalah kemewahan yang rapuh.
Masyarakat Aneuk Jamee di pesisir barat selatan Aceh memiliki ungkapan serupa.
Dalam Syair Langgolek, yang kini telah disahkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Nasional 2025, terdapat pepatah, “Hilang ameh dapek ditimbang, hilang sibujang kama dicari.”
Artinya, “Hilang emas dapat ditimbang, hilang anak bujang ke mana dicari.”
Baca juga: Tambang Rakyat di Aceh: Potensi, Prospek, dan Tantangan
Ungkapan ini bukan hanya tentang kehilangan orang muda, tetapi tentang hilangnya generasi, tenaga kehidupan, dan masa depan manusia.
Ketika tambang mencemari air, merusak sawah, dan memecah masyarakat karena izin dan kepentingan, maka yang hilang bukan sekadar emas, melainkan anak manusia itu sendiri.
Hal ini memang agak berbeda dengan pepatah Minang, “Dek ameh sagalo kameh, dek padi sagalo jadi.”(Karena emas semua siap, karena padi semua jadi.)
tambang emas
Padi
kearifan lokal
hadih maja
Syair Langgolek
Aceh
kupi beungoh
Serambi Indonesia
Serambinews
| Dibalik Kerudung Hijaunya Hutan Aceh: Krisis Deforestasi Dan Seruan Aksi Bersama |
|
|---|
| MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara |
|
|---|
| Beasiswa dan Perusak Generasi Aceh |
|
|---|
| Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh |
|
|---|
| Aceh, Pemuda, dan Qanun yang Mati Muda |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.