Opini

Mawah, Instrumen Keuangan Syariah Berbasis Kearifan Lokal

Mawah bukan hanya sekadar mekanisme bagi hasil antara pemilik modal dan keahlian, melainkan instrumen keuangan syariah yang berpotensi besar

|
Editor: mufti
IST
Prof Dr Azharsyah Ibrahim SEAk MSOM, Dosen Prodi Ekonomi Syariah pada Pascasarjana UIN Ar-Raniry 

Prof Dr Azharsyah Ibrahim SEAk MSOM, Dosen Prodi Ekonomi Syariah pada Pascasarjana UIN Ar-Raniry

PEMAHAMAN umum kita tentang keuangan syariah seringkali terbatas pada bank syariah, asuransi syariah, atau pasar modal syariah. Namun, jauh sebelum entitas modern tersebut muncul, masyarakat Aceh telah menerapkan sistem keuangan syariah yang terstruktur. Salah satunya melalui Mawah. Mawah bukan hanya sekadar mekanisme bagi hasil antara pemilik modal dan keahlian, melainkan instrumen keuangan syariah yang berpotensi besar untuk dikembangkan dan menghadapi tantangan kontemporer. Tulisan ini tidak akan membahas deskripsi umum Mawah yang sudah sangat dipahami masyarakat Aceh. Sebaliknya, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis potensi konsep Mawah lebih dalam, dan menawarkan inovasi ini sebagai instrumen keuangan syariah.

Sebagai praktik tradisional, Mawah secara inheren memenuhi prinsip-prinsip dasar keuangan syariah yang relevan hingga kini. Pertama, prinsip bagi hasil (Mudharabah/Musyarakah) menjadi inti Mawah, di mana hasil usaha dibagi secara adil berdasarkan kesepakatan. Dalam Mawah, tidak ada pihak yang dirugikan karena praktik ini tidak mengenal bunga (riba) dan menghindari ketidakpastian (gharar), menjadikannya model yang adil dan transparan.

Kedua, Mawah berlandaskan pada amanah dan transparansi. Kepercayaan menjadi fondasi utama, di mana pemilik modal percaya pada kejujuran pengelola modal dalam melaporkan hasil, dan sebaliknya, pengelola modal percaya bahwa pemilik modal akan menghormati kesepakatan. Ketiga, Mawah memiliki dimensi pemberdayaan sosial yang kuat. Keuangan syariah tidak hanya mengejar profit semata, melainkan juga kemaslahatan umat. Mawah memberikan akses kepada masyarakat kecil yang tidak memiliki modal untuk memulai usaha, sehingga turut berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan sosial.

Dengan demikian, Mawah dapat dipandang sebagai bentuk asli dari akad syariah yang kemudian dikenal dalam literatur fiqh dan lembaga keuangan modern. Pertanyaan krusialnya adalah, bagaimana Mawah dapat diintegrasikan ke dalam sistem keuangan syariah formal? Ada beberapa peluang nyata yang dapat dieksplorasi, salah satunya melalui integrasi dengan bank syariah.

Bank syariah dapat mengadopsi skema Mawah dalam bentuk pembiayaan mikro. Misalnya, bank menyalurkan pembiayaan kepada peternak atau petani, kemudian pengelolaan usaha dilakukan dengan prinsip Mawah, dan hasilnya dibagi antara bank, nasabah, serta pengelola usaha. Model ini akan memperluas jangkauan pembiayaan syariah ke sektor riil yang lebih luas.

Selain itu, peran Baitul Mal dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT) juga sangat strategis. Lembaga keuangan mikro syariah ini dapat menjadikan Mawah sebagai model pemberdayaan ekonomi. Alih-alih memberikan pinjaman dengan cicilan, mereka dapat memfasilitasi Mawah antara pemilik modal (donatur, investor) dengan masyarakat kecil yang membutuhkan. Ini akan menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Mawah juga memiliki potensi besar sebagai instrumen keuangan sosial. Ia dapat dipadukan dengan zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF). Sebagai contoh, dana zakat produktif dapat diwujudkan dalam bentuk aset seperti sapi atau kambing, lalu dimawahkan kepada masyarakat miskin. Hasilnya tidak hanya menguntungkan pemelihara, tetapi juga menambah keberkahan karena menyentuh aspek sosial secara langsung.

Perbedaan fundamental antara Mawah dengan kredit konvensional atau bahkan kredit mikro berbunga rendah terletak pada pertanggungan risiko. Dalam kredit konvensional, risiko cenderung ditanggung sepenuhnya oleh peminjam, dan jika terjadi kegagalan panen atau kematian ternak, cicilan tetap harus dibayar. Ini yang seringkali mencekik debitur kecil seperti petani dan peternak.

Sebaliknya, dalam Mawah, risiko ditanggung bersama. Jika usaha gagal karena faktor alamiah, kerugian juga dipikul bersama. Pemodal menanggung kerugian biaya, sementara pengelola menanggung kerugian waktu dan kesempatan. Prinsip ini sangat sejalan dengan kaidah syariah, yaitu al-ghunmu bil ghurmi (keuntungan sejalan dengan risiko). Dengan demikian, Mawah menawarkan model yang jauh lebih adil dan manusiawi dibandingkan sistem kredit yang seringkali memberatkan.

Tantangan dan inovasi

Meskipun memiliki potensi besar, formalisasi Mawah sebagai instrumen keuangan syariah memiliki beberapa tantangan. Pertama, ketiadaan regulasi yang memadai. Saat ini, Mawah umumnya hanya berjalan berdasarkan kesepakatan lisan. Tanpa payung hukum yang jelas, praktik ini rentan terhadap sengketa. Diperlukan qanun atau peraturan daerah yang mengatur praktik Mawah agar dapat diakui secara formal dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Tantangan kedua adalah standarisasi akad. Dalam keuangan syariah, akad adalah inti dari setiap transaksi. Mawah perlu distandarisasi akadnya agar sesuai dengan fiqh muamalah dan dapat diintegrasikan dengan lembaga keuangan syariah modern. Standarisasi ini akan memastikan keseragaman praktik dan mempermudah pengawasan. Ketiga, modernisasi sistem pencatatan menjadi krusial untuk menjamin transparansi hasil. Dengan kemajuan teknologi digital, pencatatan hasil Mawah dapat dilakukan secara online, bahkan melalui aplikasi berbasis blockchain yang menjamin akurasi dan keadilan bagi semua pihak.

Menatap masa depan, kita bisa membayangkan sebuah konsep Mawah modern. Sebuah aplikasi digital bernama "Mawah 4.0" dapat menjadi jembatan antara pemilik modal dari berbagai daerah dengan masyarakat di desa. Melalui aplikasi ini, dana dapat disalurkan untuk membeli sapi, kambing, atau bibit tanaman, yang kemudian dikelola oleh masyarakat dengan pola Mawah.

Setiap perkembangan, mulai dari kelahiran anak sapi hingga hasil panen, dapat tercatat secara digital. Pembagian hasil pun dapat dilakukan secara otomatis melalui sistem perbankan syariah. Dengan cara ini, Mawah tidak hanya bertahan sebagai tradisi, tetapi naik kelas menjadi instrumen keuangan syariah modern yang transparan, akuntabel, dan dapat diakses oleh semua orang, dari kota hingga pelosok desa.

Sebagai penutup, Mawah adalah bukti nyata bahwa masyarakat kita sejak dulu telah memiliki model keuangan syariah yang adil, sederhana, dan berbasis sosial. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana mengangkatnya dari sekadar tradisi lisan menjadi instrumen formal yang mampu menopang ekonomi syariah nasional.

Jika pemerintah daerah, lembaga keuangan syariah, dan masyarakat mau berkolaborasi, Mawah bisa menjelma menjadi solusi nyata untuk masalah klasik seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Ekonomi syariah tidak harus selalu meniru model dari luar. Kita memiliki Mawah, warisan lokal yang sarat nilai dan kearifan. Tinggal bagaimana kita memberikan ruang agar ia hidup kembali, tidak hanya di kandang lembu, tetapi juga di meja regulator, di bank syariah, bahkan di aplikasi digital masa depan, membawa keberkahan dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. Wallahu a'lam.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved