Kupi Beungoh

Mengupas Problematika Pengakuan Hutan Adat di Aceh

Bahkan, antusiame Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mendapatkan pengakuan formal pemerintah terhadap hutan adat semakin menguat. 

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Teuku Muttaqin Mansur, Sekretaris Pusat Riset Hukum Islam dan Adat, serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 

Hutan yang selama berabad-abad menjadi ruang hidup masyarakat adat kini berubah menjadi objek eksploitasi ekonomi--konsesi kayu, perkebunan sawit, tambang, dan proyek infrastruktur. 

Banyak izin diterbitkan tanpa konsultasi memadai dengan masyarakat adat yang telah menjaga kawasan tersebut secara turun-temurun. 

Sehingga tidak jarang muncul tumpang tindih lahan, bahkan menimbulkan konflik.

Dalam logika tertentu, hutan dipandang sekadar komoditas yang bisa dieksploitasi dan dikeruk sesukanya. 

Sebaliknya, bagi MHA mukim dan gampong di Aceh, hutan adalah sumber kehidupan dan identitas kolektif--tempat bernaung, mencari pangan, menjaga air, dan memelihara keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan. 

Dua pandangan ini sering kali bertabrakan, menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan membuat masyarakat adat tersingkir dari ruang hidupnya sendiri. 

Dengan dalih MHA tidak memiliki alas hak yang kuat.

Lebih menyedihkan lagi, masyarakat adat kerap dianggap “pengganggu” pembangunan hanya karena tidak memiliki sertifikat/pengakuan formal dari negara. 

Padahal, sistem adat mukim telah lama mengatur tata kelola hutan dengan prinsip keadilan, musyawarah, dan keberlanjutan. 

Dalam kenyataannya, hukum/aparatus negara terkesan lebih berpihak pada pemodal ketimbang pada masyarakat adat yang telah menjaga hutan secara lestari dan berkelanjutan. 

Bahkan, dibeberapa tempat MHA mukim telah memproteksi dengan Qanun Perlindungan Hutan Adat berbasis komunitas.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pengakuan terhadap hutan adat mukim di Aceh bukan hanya soal legalitas, tetapi tentang keadilan ekologis dan hak hidup masyarakat adat.

Mengembalikan pengakuan dan pengelolaan hutan adat kepada MHA baik mukim maupun gampong berarti mengembalikan keseimbangan antara manusia dan alam--sebuah keseimbangan yang telah lama terpelihara dalam kearifan lokal Aceh

Problem berikutnya adalah rebutan kewenangan antara lembaga negara, terutama antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)- Kementerian Kehutanan sekarang dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). 

Kemenhut cenderung menempatkan hutan di bawah otoritas kehutanan, sedangkan ATR/BPN berwenang dalam urusan pertanahan dan tata ruang diluar kawasan hutan. 

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved