Kupi Beungoh

Mengupas Problematika Pengakuan Hutan Adat di Aceh

Bahkan, antusiame Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mendapatkan pengakuan formal pemerintah terhadap hutan adat semakin menguat. 

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Teuku Muttaqin Mansur, Sekretaris Pusat Riset Hukum Islam dan Adat, serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 

Meskipun di lapangan terkadang wilayah di luar kawasan hutan pada kenyataannya masih berhutan.

Ketidakharmonisan ini menciptakan kebijakan yang tumpang tindih. 

Masyarakat adat menjadi korban dari tarik-menarik kewenangan yang lebih bersifat administratif dibandingkan substansi keadilan.

Pengakuan Hutan Adat yang seharusnya memberi kepastian justru menjadi proses yang panjang, mahal, dan melelahkan bagi masyarakat adat.

Bahkan, beberapa kasus yang kami temui, ada MHA yang mulai 'putus asa' mengusulkan formalitas pengakuan hutan adat.

Regulasi yang Lemah dan Parsial

Secara hukum, Indonesia telah memiliki dasar yang jelas untuk mengakui Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Hutan Adat, melalui PP Nomor 23 Tahun 2021, Permen LHK Nomor 9 Tahun 2021, dan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014. 

Namun, pelaksanaannya berjalan lambat dan birokratis. 

Pengakuan hutan adat mensyaratkan pengakuan terlebih dahulu terhadap MHA, tetapi proses ini sering terhambat oleh kepentingan sesaat dan rendahnya keberpihakan pemerintah daerah kepada MHA.

Di Aceh, qanun atau surat keputusan bupati/wali kota terhadap pengakuan MHA masih sangat terbatas--baru dimiliki oleh beberapa kabupaten seperti Pidie, Bireuen, Aceh Jaya, Subulussalam, Benar Meriah dan Aceh Besar--sementara qanun tingkat provinsi hingga saat ini belum tersedia. 

Padahal, regulasi ini menjadi kunci bagi pengakuan hutan adat mukim dan gampong. 

Ketidakharmonisan aturan antara sektor kehutanan dan agraria juga memperburuk keadaan, menyebabkan wilayah adat yang telah dikelola turun-temurun menjadi ambigu. 

Malah, ada hutan adat yang telah diakui pada tahun 2023 batas wilayah dalam Surat Keputusan (SK) belum diformalkan. 

Menurut SK tersebut menjadi kewenangan salah satu Dirjen di Kemenhut.

Situasi ini mencerminkan paradigma negara yang masih 'setengah hati' melihat masyarakat adat sebagai objek pengaturan, bukan subjek pengelola. 

Padahal, pengakuan hutan adat semestinya menjadi langkah menuju pemberdayaan dan keadilan ekologis, serta wujud dari pengakuan negara melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dan Putusan MK 35/2012. 

Pergeseran cara pandang dari “menguasai” ke “mengakui” menjadi kunci agar hutan adat mukim atau gampong di Aceh benar-benar diakui sebagai ruang hidup yang lestari dan bermartabat bagi masyarakat hukum adatnya.

Deforestasi yang Terus Meningkat

Di tengah lambannya pengakuan hutan adat, laju deforestasi di Aceh justru terus terjadi. 

Ribuan hektare hutan hilang akibat pembalakan liar, ekspansi perkebunan, dan pertambangan dari tahun ke tahun--dan ironisnya, sebagian besar kerusakan itu diduga terjadi di wilayah hutan adat yang belum diakui secara formal. 

Hutan yang dulu menjadi penyangga kehidupan masyarakat, dan keseimbangan antara manusia, alam, serta satwa kini berubah menjadi lahan terbuka bagi eksploitasi ekonomi pihak-pihak tertentu.

Bagi masyarakat adat mukim di Aceh, dampaknya terasa nyata: sumber air mengering, banjir bandang kian sering, tanah longsor, dan keanekaragaman hayati yang menjadi tumpuan hidup perlahan hilang secara nyata. 

Padahal, hutan adat selama ini bukan hanya benteng ekologi, tetapi juga bagian dari sistem sosial, kultural, kearifan lokal, ekonomi, pangan dan spiritual masyarakat hukum adat mukim dan gampong. 

Ketika hutan dirusak, yang hilang bukan sekadar pepohonan, melainkan ruang hidup dan keseimbangan kehidupan itu sendiri.

Membangun Solusi yang Inklusif

Melihat berbagai persoalan yang melingkupi pengakuan hutan adat, langkah-langkah konkret perlu segera ditempuh agar upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat adat tidak berhenti pada tataran wacana. 

Pertama, pemerintah perlu mempercepat proses pengakuan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Hutan Adat melalui mekanisme yang sederhana, transparan, dan tidak memberatkan masyarakat. 

Pengakuan seharusnya menjadi bentuk keadilan, bukan beban administratif yang justru menghambat hak masyarakat adat atas ruang hidupnya.

Kedua, perlu dilakukan harmonisasi kewenangan antara Kemenhut dan ATR/BPN, agar tarik-menarik antara sektor kehutanan dan agraria tidak lagi memperlambat proses pengakuan. 

Tumpang tindih kebijakan selama ini telah membuat masyarakat adat berada di posisi yang lemah, padahal mereka adalah pihak yang paling berperan menjaga kelestarian hutan.

Ketiga, regulasi di tingkat daerah harus diperkuat dengan mendorong lahirnya qanun atau perda pengakuan MHA, khususnya di Aceh

Tanpa payung hukum yang jelas, pengakuan hutan adat mukim dan gampong hanya akan berhenti pada dokumen kebijakan tanpa implementasi nyata di lapangan.

Keempat, penguatan kapasitas masyarakat adat menjadi hal yang tak kalah penting agar mereka mampu mengelola hutan secara lestari dan bernilai ekonomi sekaligus memiliki posisi tawar terhadap pemodal besar. 

Pengakuan yang tidak diikuti dengan pemberdayaan hanya akan melahirkan ketimpangan baru. 

Dalam konteks ini, kita bukan anti terhadap pemodal besar dalam berusaha, tetapi justru mendorong adanya sinergi yang saling menguntungkan. 

Keuntungan satu pihak tidak boleh membuat pihak lain menjadi 'buntung'. 

Masyarakat adat, negara, dan dunia usaha semestinya dapat berjalan seiring untuk mencapai keseimbangan antara kemakmuran ekonomi dan kelestarian lingkungan.

Oleh karena itu, integrasi antara hukum negara dan hukum adat menjadi kunci menuju keadilan substantif. 

Pengakuan harus disertai kepercayaan, dan kepercayaan harus diikuti dengan pemberdayaan. Sehingga 'tidak ada dusta diantara kita'. 

Dengan cara inilah hutan adat mukim termasuk gampong di Aceh dapat benar-benar menjadi ruang hidup yang lestari, berkeadilan, dan bermartabat bagi masyarakatnya, sekaligus menjadi model kolaborasi harmonis antara adat, negara, dan dunia usaha.

Seperti kata narit maja Aceh 'Uleu beumatee ranteng bek patah', maknanya harmonisasi antara MHA, negara dan dunia usaha sama-sama harmonis, bersinergi dan saling menguntungkan dengan jalan win-win, sama-sama menang, tidak ada yang kalah atau dirugikan. Wallahu'alam.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi dari setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel Kupi Beungoh lainnya di SINI.

 

Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved