Kupi Beungoh

Mengupas Problematika Pengakuan Hutan Adat di Aceh

Bahkan, antusiame Masyarakat Hukum Adat (MHA) untuk mendapatkan pengakuan formal pemerintah terhadap hutan adat semakin menguat. 

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HO
Teuku Muttaqin Mansur, Sekretaris Pusat Riset Hukum Islam dan Adat, serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 

Padahal, bagi masyarakat adat, hutan bukanlah sekadar sumber daya alam, melainkan ruang kehidupan yang di dalamnya melekat nilai spiritual, kearifan, sosial, dan ekologis.

Perubahan besar baru terjadi ketika masyarakat adat menggugat ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian melahirkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012. 

Putusan bersejarah ini menegaskan bahwa “hutan adat bukan lagi hutan negara.” 

Dari sinilah titik balik dimulai. 

Keputusan MK menjadi tonggak penting yang membuka kembali ruang hukum bagi MHA untuk memperoleh hak-hak tradisional dan pengelolaan atas hutan yang selama ini mereka jaga dan rawat tanpa pamrih.

Namun, pengakuan hukum bukan semata urusan administrasi atau legal formal. 

Ia adalah wujud dari keadilan ekologis, sosial saja, tetapi termasuk pangan dan peningkatan taraf hidup mereka. 

Hutan bagi masyarakat adat adalah sumber kehidupan, tempat mereka menggantungkan pangan, air, obat-obatan, ekonomi bahkan sistem nilai, kearifan dan tatanan sosialnya. 

Hutan adat tidak bisa dipandang sebagai lahan kosong yang bisa dengan mudah dialihkan kepada negara atau investor. 

Ia adalah rumah ekologis dan spiritual yang memastikan keberlanjutan hidup generasi kini dan mendatang.

Fakta di lapangan membuktikan, pengelolaan hutan berbasis adat justru cenderung lebih lestari dibandingkan kawasan yang dikelola oleh korporasi atau berada di bawah konsesi lainnya. 

Di Aceh misalnya, MHA Mukim telah membuktikan bahwa praktik pengelolaan hutan adat mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. 

Sistem larangan adat, perlindungan sempadan daerah aliran sungai, rotasi lahan, pengelolaan air, dan praktik larangan penebangan pohon serta menjaga pohon-pohon inti menjadi bukti nyata peran MHA dalam pelestarian lingkungan, termasuk menghasilkan karbon yang dinikmati manusia. 

Sebaliknya, banyak kawasan hutan di bawah izin konsesi justru mengalami kerusakan parah--hutan ‘perawan’ berubah menjadi lahan gundul, dan laju deforestasi meningkat tajam.

Baca juga: Wabup Pidie Sebut Hutan Adat Diatur melalui Hareukat, Alzaizi: Warga harus Jaga Kelestariannya

Tarik-Menarik Kepentingan

Salah satu persoalan mendasar dalam pengelolaan hutan adat, termasuk di Aceh, adalah tarik-menarik kepentingan antara pemodal besar, pemerintah, dan masyarakat adat. 

Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved