KUPI BEUNGOH

Aceh, Pemuda, dan Qanun yang Mati Muda

Qanun yang diharapkan menjadi tonggak kebangkitan generasi muda Aceh justru berubah menjadi simbol stagnasi birokrasi. Ia mati muda.

Editor: Yocerizal
For Serambinews.com
Delky Nofrizal Qutni, salah satu pejuang lahirnya Qanun Pembangunan Kepemudaan Aceh, Mantan Kabid Advokasi FPMPA dan Ketua Aceh Kreatif. 

Oleh: Delky Nofrizal Qutni *)

TUJUH tahun sudah berlalu sejak Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pembangunan Kepemudaan ditetapkan pada 31 Desember 2018 dan mulai berlaku sejak 4 Januari 2019.

Namun, semangat besar yang dahulu mengiringi lahirnya regulasi ini kini seolah padam di tengah jalan. 

Qanun yang diharapkan menjadi tonggak kebangkitan generasi muda Aceh justru berubah menjadi simbol stagnasi birokrasi. Ia mati muda sebelum sempat menunaikan harapannya.

Qanun tersebut bukan sekadar produk hukum administratif, melainkan manifestasi dari cita-cita kolektif untuk membangun generasi Aceh yang mandiri, berdaya saing, dan berkarakter Islami. 

Ia lahir dari ruang idealisme, dari perjuangan aktivis muda dan lembaga kepemudaan yang percaya bahwa kekhususan Aceh tidak boleh berhenti pada politik dan anggaran, tetapi harus menjelma menjadi kekhususan dalam membina manusia mudanya. 

Namun realitas berkata lain, dimana implementasinya mandek, aturan pelaksananya tak kunjung lahir, dan lembaga yang dijanjikan di dalamnya tak pernah terbentuk.

Kekosongan Regulasi, Kekosongan Arah

Salah satu akar persoalan utama terletak pada tidak adanya peraturan pelaksana berupa Peraturan Gubernur Aceh yang seharusnya menjadi turunan dari qanun tersebut. 

Padahal banyak pasal dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2018 yang secara eksplisit mensyaratkan kehadiran aturan teknis. Tanpa itu, qanun kehilangan daya kerja dan makna implementatif.

Lihat misalnya Pasal 26, yang menegaskan bahwa Pemerintah Aceh memfasilitasi pelaksanaan pengembangan kepemudaan melalui bantuan akses permodalan dengan cara membentuk Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP) di Aceh.

Baca juga: Peran 17 Anggota TNI Siksa Prada Lucky Hingga Tewas, Korban Dicambuk dan Alat Vitalnya Dioles Cabai

Baca juga: Lingkar Publik Strategis Desak Pemerintah Aceh Tertibkan Tata Kelola Pertambangan

Sampai hari ini, lembaga yang diamanatkan qanun itu tak pernah ada. Tak ada LPKP, tak ada mekanisme pembiayaan, tak ada ruang permodalan yang berpihak pada wirausaha muda Aceh.

Padahal amanat pengembangan ekonomi pemuda ini bukan hanya tersirat, melainkan tersurat dengan jelas sejak Pasal 11 huruf (i), yang menegaskan bahwa pemuda bertanggung jawab meningkatkan daya saing dan kemandirian ekonomi Aceh. 

Di sisi lain, Pasal 12 huruf (f) memberi hak kepada pemuda untuk memperoleh akses pada lembaga permodalan, jejaring kepemudaan, serta kemitraan dalam dan luar negeri. 

Ini menunjukkan betapa pentingnya peran pemuda dalam menggerakkan ekonomi Aceh, bukan sekadar menjadi pelengkap program seremonial pemerintah.

Lebih lanjut, pada Pasal 21 huruf (a) qanun tersebut juga menegaskan bahwa salah satu bentuk pengembangan kepemudaan Aceh adalah pengembangan kewirausahaan pemuda, yang dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 22 hingga Pasal 26. 

Semua pasal itu menggambarkan peta jalan pembangunan generasi muda yang mandiri secara ekonomi, memiliki akses modal, jejaring, dan kemitraan luas. 

Namun karena tidak diikuti peraturan pelaksana, peta itu kini tak lebih dari arsip hukum yang tak punya arah di lapangan.

Ironisnya, semangat kemandirian yang diamanatkan qanun tersebut kini justru dikubur oleh kebijakan yang pasif. 

Pemerintah Aceh seolah nyaman dalam kebisuan, membiarkan regulasi yang disahkan dengan susah payah itu membeku dalam lembaran dokumentasi. 

Kekhususan Aceh yang semestinya memberi ruang luas untuk menata sistem kepemudaan khas daerah, malah terjebak dalam birokrasi yang enggan bergerak.

Kekhususan Tanpa Generasi

Aceh memiliki sejarah panjang tentang pentingnya peran pemuda dalam perubahan sosial.

Baca juga: Persoalan Koperasi Merah Putih di Aceh Utara dari Belum Ada Modal hingga Belum Disetujui Bermitra

Baca juga: Mualem Curhat Terowongan Geurutee ke Menteri PU, Ingin Ada Tol ke Barsela

Sejak masa perjuangan Teungku Chik di Tiro hingga periode perdamaian pasca MoU Helsinki, pemuda selalu menjadi sumber energi moral dan intelektual bagi bangsa Aceh. 

Mereka bukan sekadar generasi pelanjut, melainkan agen perubahan yang melahirkan gagasan besar dan menegakkan harga diri daerah ini.

Namun kini, peran itu memudar. Di tengah kekhususan yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), generasi muda justru kehilangan tempatnya. 

Tak ada lembaga khusus yang menampung aspirasi mereka, tak ada kebijakan komprehensif yang menyiapkan ruang partisipasi mereka dalam pembangunan daerah.

Data Badan Pusat Statistik Aceh tahun 2025 menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka pemuda Aceh masih di atas rata-rata nasional. 

Banyak sarjana muda terjebak dalam pekerjaan informal, sementara program pelatihan yang dijalankan pemerintah cenderung seremonial, sering kali tidak terhubung dengan kebutuhan industri dan dunia kerja. 

Padahal Aceh memiliki potensi ekonomi besar naik di bidang energi, pertanian, perikanan, hingga pariwisata. 

Semua sektor itu membutuhkan kreativitas dan tenaga muda, tetapi tidak satu pun yang benar-benar diintegrasikan dalam kebijakan kepemudaan.

Lebih memprihatinkan lagi, dalam dokumen-dokumen pembangunan seperti RPJMA, isu kepemudaan kerap disubordinasikan ke dalam subprogram olahraga atau kegiatan sosial tanpa orientasi jangka panjang. 

Ini menandakan betapa pembangunan pemuda di Aceh belum dipandang sebagai investasi strategis. Pemuda masih dianggap peserta kegiatan, bukan subjek perubahan.

Baca juga: Waspada! Dinkes Sebut dari Hasil Skrining, Ribuan Orang Dicurigai Berisiko Idap Talasemia di Aceh

Baca juga: Ancam Penerbangan, Dishub Aceh Imbau Warga Tak Main Layangan di Area Bandara

Padahal dalam pandangan filosofis Aceh, generasi muda adalah pewaris nilai dan penyangga masa depan. 

Ungkapan ‘Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala’ mencerminkan keseimbangan antara kekuasaan dan moralitas, dimana pemuda berada di tengahnya, sebagai penghubung antara nilai lama dan tantangan baru. 

Bila mereka dibiarkan tanpa arah, maka terputuslah mata rantai kebudayaan dan cita-cita Aceh itu sendiri.

Saatnya Menghidupkan Kembali Roh Qanun Kepemudaan Qanun Nomor 4 Tahun 2018 sejatinya bukan hanya regulasi, tetapi kontrak moral antara pemerintah dan generasi mudanya. 

Ia adalah janji bahwa Aceh akan membangun masa depan berdasarkan nilai-nilai sendiri, dengan pemuda sebagai pelaku utama. Namun janji itu kini menggantung di udara, tanpa wujud nyata.

Sudah saatnya Pemerintah Aceh berhenti menjadikan pemuda sekadar bahan retorika setiap peringatan Hari Sumpah Pemuda. Yang dibutuhkan kini adalah keberanian politik untuk menghidupkan kembali roh qanun tersebut. 

Pemerintah Aceh mesti segera menerbitkan peraturan pelaksana, membentuk Lembaga Permodalan Kewirausahaan Pemuda (LPKP), serta menjadikan indikator pembangunan pemuda sebagai bagian integral dalam RPJMA dan pengelolaan dana otonomi khusus.

Sebab tanpa tindakan nyata, kekhususan Aceh hanya akan menjadi slogan tanpa isi. Qanun yang mati muda ini adalah potret dari bagaimana cita-cita besar bisa gagal hanya karena birokrasi kehilangan nyali.

Aceh yang istimewa semestinya melahirkan pemuda yang luar biasa, bukan generasi yang menunggu bantuan, melainkan yang diberi ruang untuk berkarya dan memimpin perubahan. 

Bila pemerintah terus abai terhadap amanah ini, maka Aceh sedang menulis bab kelam dalam sejarahnya sendiri, tentang sebuah qanun yang mati muda, dan tentang sebuah generasi yang dibiarkan kehilangan arah di tanahnya yang disebut istimewa.

*) PENULIS adalah salah satu pejuang lahirnya Qanun Pembangunan Kepemudaan Aceh, Mantan Kabid Advokasi FPMPA dan Ketua Aceh Kreatif.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca juga: Lewat Perusahaan Japex dan Jogmec, Jepang Lirik Migas di Laut Andaman Aceh

Baca juga: Korupsi Kereta Cepat Whoosh, Mahfud MD Ungkap 3 Menteri Jokowi Jilid Pertama Bisa Diperiksa KPK

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved