Kupi Beungoh
Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional tercatat 19,8%, turun hampir satu poin dari tahun sebelumnya
Oleh: Prof. Dr. dr. Rajuddin, Sp.OG(K), Subsp.FER
Istilah “Efek Purbaya” kini menggaung di ruang publik, menjadi simbol perubahan cara negara mengelola uang rakyat. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, efisiensi anggaran untuk penghematan dan koreksi terhadap pemborosan.
Mengalihkan dana dari kegiatan seremonial, perjalanan dinas, dan proyek yang tidak memberi nilai tambah, menuju satu kantong produktif negara.
Dari hasil penyapuan fiskal ini, terkumpul sekitar Rp 300 triliun, kini siap mengalir ke kebutuhan riil rakyat: subsidi pupuk, pembangunan irigasi, bantuan tunai langsung, serta perbaikan sarana pendidikan.
Namun, di antara berbagai prioritas itu, ada satu sektor yang menjadi penentu keberpihakan yaitu kesehatan dan gizi anak bangsa.
Di sinilah publik menanti “Efek Purbaya” yang lebih substansial berdampak pada denyut kehidupan.
Saatnya efisiensi fiskal berubah menjadi energi moral, setiap rupiah dialirkan untuk memperkuat misalnya posyandu, memperbaiki gizi ibu dan balita, serta menurunkan stunting, maka kita menyaksikan lahirnya investasi negara paling berharga yaitu masa depan manusia Indonesia yang sehat dan berdaya.
Baca juga: Update Harga iPhone 17 Series Awal November 2025, Model iPhone 17 Jadi Paling Laris di Luar Negeri
Stunting Masih Mengintai
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional tercatat 19,8 persen, turun hampir satu poin dari tahun sebelumnya. Secara makro, ini capaian penting yang menunjukkan arah kebijakan gizi nasional mulai membuahkan hasil. Namun, jika lensa diarahkan ke Aceh, bayangannya belum secerah itu.
Data Dinas Kesehatan Aceh 2024 memperlihatkan bahwa rata-rata kasus stunting di sejumlah kabupaten masih bertahan di atas 25 % , bahkan di daerah pesisir dan pedalaman angkanya bisa menembus 30 % . Artinya, satu dari tiga anak di beberapa wilayah Aceh masih mengalami gangguan tumbuh kembang kronis.
Akar masalahnya tidak Tunggal, tetapi tersembunyi mozaik kompleks seperti gizi ibu hamil yang belum tercukupi, sanitasi dan air bersih yang terbatas, keterlambatan pemberian MP-ASI, hingga minimnya peran ayah dalam pengasuhan.
Semua berpadu menjadi rantai sunyi yang menahan laju tumbuh generasi. Ada wajah-wajah anak yang kehilangan kesempatan tumbuh optimal secara fisik, mental, kecerdasan, emosi, dan harapan.
Baca juga: Update Harga iPhone 17 Series Awal November 2025, Model iPhone 17 Jadi Paling Laris di Luar Negeri
Efisiensi Anggaran Tepat Sasaran
Dalam logika “Efek Purbaya,” efisiensi bukan dimaknai sebagai upaya menimbun kas negara agar neraca terlihat sehat, melainkan tindakan sadar untuk memangkas segala bentuk pemborosan agar uang rakyat kembali pada tujuan semula untuk kesejahteraan rakyat.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menegaskan arah baru fiskal nasional, menargetkan efisiensi hingga Rp 306 triliun, dengan mandat jelas agar hasil penghematan dialihkan ke program-program prioritas seperti kesehatan dasar, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan pengentasan kemiskinan.
Kementerian Kesehatan telah menyiapkan skema efisiensi belanja yang diarahkan langsung pada peningkatan gizi masyarakat, digitalisasi posyandu, serta penguatan layanan kesehatan ibu dan anak.
Jika mekanisme ini berjalan konsisten dan transparan, maka apa yang disebut publik sebagai “kantong ajaib presiden” bukanlah retorika politik, melainkan mesin nyata pertumbuhan gizi nasional untuk memperbaiki kehidupan.
Dalam konteks kesehatan publik, “Efek Purbaya” dapat dimaknai sebagai transformasi dari efisiensi fiskal menjadi efisiensi biologis yakni anggaran diarahkan kewujud gizi, pelayanan, dan kehidupan yang lebih sehat. Pergeseran paradigma dari birokrasi yang gemuk menuju kebijakan berdampak langsung bagi rakyat.
Baca juga: Beasiswa Cendekia BAZNAS Timur Tengah 2025 Resmi Dibuka di 8 Negara, Ini Syarat dan Cara Mendaftar
Konteks Aceh: Potensi dan Tantangan
Aceh, dengan status otonomi khusus dan dukungan dana yang relatif besar, seharusnya mampu menjadi model pembangunan manusia di wilayah barat Indonesia. Namun, realitas di lapangan menunjukkan paradoks yang menyentuh Nurani.
Limpahan anggaran belum sepenuhnya berbanding lurus dengan perbaikan kualitas hidup, terutama di bidang gizi dan kesehatan anak.
Masalahnya bukan kekurangan dana, melainkan bagaimana uang dikelola dan diarahkan. Banyak anggaran terserap untuk kegiatan administratif dan seremonial yang minim dampak terhadap masyarakat miskin.
Di sinilah semangat “Efek Purbaya” perlu diterjemahkan di tingkat daerah: menata ulang prioritas, memangkas kegiatan yang tidak produktif, dan menyalurkan setiap rupiah ke program yang nyata dirasakan rakyat kecil.
Langkah awal bisa dimulai dengan revitalisasi posyandu dan PAUD integrative, program yang memadukan pelayanan gizi, kesehatan ibu-anak, dan stimulasi dini dalam satu ekosistem. Model ini telah terbukti efektif di beberapa provinsi lain, dan sangat relevan diterapkan di Aceh yang memiliki basis sosial keagamaan kuat serta jejaring komunitas yang luas.
Selain itu, dibutuhkan kemitraan lintas sektor yang kokoh. Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mesti berjalan seiring.
Koordinasi yang baik akan memastikan bahwa intervensi 1.000 hari pertama kehidupan tidak berhenti di ruang rapat, tetapi menyentuh dapur rumah tangga di gampong.
Potensi lokal pun besar. UMKM pangan Aceh dari pengolah ikan, tempe, hingga olahan daun kelor dan pisang bisa diberdayakan sebagai mitra penyedia makanan bergizi berbasis bahan lokal. Dengan demikian, kebijakan gizi sekaligus menggerakkan ekonomi rakyat.
Tanda-tanda kebangkitan kecil sudah mulai terasa. Beberapa hotel di Banda Aceh yang dulu sepi kini mulai terisi kembali, bukan oleh kegiatan birokrasi, melainkan oleh pelatihan UMKM, lokakarya gizi, dan forum kolaborasi kesehatan. Aktivitas ekonomi bergerak, sektor jasa hidup, dan kepercayaan publik tumbuh perlahan.
Efisiensi Harus Disertai Transparansi
Dalam dunia kedokteran, kita memahami satu prinsip dasar: obat yang mujarab pun bisa menjadi racun jika dosisnya keliru. Hal yang sama berlaku dalam kebijakan public, efisiensi tanpa arah dan pengawasan dapat berbalik menjadi pemangkasan yang membahayakan.
Efisiensi anggaran memang membawa semangat pembaruan, tetapi tanpa tata kelola yang transparan, akan mudah tergelincir dan tertipu. Pemotongan belanja harus disertai dengan evaluasi mendalam agar tidak menyentuh sektor-sektor vital seperti tenaga gizi, pelayanan primer di Puskesmas, atau program kesehatan ibu dan anak di daerah terpencil.
Yang dibutuhkan bukan hanya penghematan, tetapi penajaman prioritas. Rakyat berhak tahu berapa dana yang dihemat, ke mana dialirkan, dan apa hasilnya bagi kehidupan mereka. Tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, “Efek Purbaya” berisiko berubah menjadi efek bumerang, meleset dari niat awalnya untuk melayani rakyat kecil.
Di sinilah pentingnya integritas fiskal sebagai moral dasar pemerintahan. Efisiensi sejati bukan hanya perkara teknis, melainkan pilihan etis: menjadikan setiap rupiah sebagai amanah, bukan sekadar alat ukur keberhasilan ekonomi. Keberhasilan sebuah pemerintahan tidak diukur dari tebalnya kas negara, tetapi dari sehatnya generasi yang lahir dari rakyatnya.
Penutup
Dari hasil efisiensi anggaran nasional, sekitar Rp 300 triliun negara punya ruang fiskal untuk program prioritas seperti kesehatan, pendidikan, dan pengentasan kemiskinan. Namun, efisiensi bukan pada angka melainkan pada keadilan gizi. Di Aceh, prevalensi stunting yang masih di atas 25 % .
Artinya, di balik laporan keuangan negara masih ada anak-anak yang gagal tumbuh karena kurang perhatian negara. Dan bila efisiensi fiskal telah menjelma menjadi keadilan gizi, maka “Efek Purbaya” telah menemukan wujud paling mulia yaitu menumbuhkan kehidupan.
Di Aceh “Efek Purbaya” akan terlihat dalam bentuk nyata seperti posyandu hidup kembali, PAUD integratif diaktifkan, UMKM pangan lokal diberdayakan, dan air bersih akan mengalir ke rumah rakyat. Sebab, efisiensi akan memperbanyak manfaat kepada Masyarakat. “Setiap rupiah yang diselamatkan dari pemborosan harus kembali ke tubuh-tubuh kecil yang sedang tumbuh.” (email:rajuddin@usk.ac.id)
Penulis, Guru Besar Universitas Syiah Kuala; Ketua IKA UNDIP Aceh dan Sekretaris ICMI Orwil Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
| Santri Dipuji di Podium, Diabaikan dalam Kebijakan |   | 
|---|
| Misteri Dana Abadi Pendidikan Aceh: Triliunan Rupiah yang Mengendap Tanpa Manfaat |   | 
|---|
| Timor Leste dan Tantangan Pendidikan di ASEAN 2025 |   | 
|---|
| Pemuda dan Krisis Teladan: Siapa yang Layak Diteladani di Negeri yang Bising Ini? |   | 
|---|
| Guru Dayah OD Indrapuri Aceh Besar Ciptakan Kamus Indonesia-Arab-Inggris yang Dicetak Puluhan Kali |   | 
|---|


 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											 
											
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.