Opini

Memperkuat Daya Pengawasan Pemilu

Jika kuasa KPK ada pada penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, hingga penuntutan, tapi Bawaslu memiliki kuasa dari sejak menerima

Editor: mufti
Serambi
Dr Teuku Kemal Fasya MHum, Dosen Fisipol Universitas Malikussaleh dan Mantan Tim Pemeriksa Daerah-Dewan Kehormatan  Penyelenggara Pemilu (TPD-DKPP) Aceh 

Ide penguatan lembaga Bawaslu juga harus sinergi dengan tuntutan dialektik kepemiluan, yaitu transformasi menjadi Badan Peradilan Pemilu sehingga bisa berfokus pada kekuasaan penyelesaian sengketa dan penanganan pelanggaran. Adapun untuk pengawasan bisa dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang sudah menguat sejak era Orde Baru. Model seleksi yang masih membawa sentimen primordial dari OKP juga harus ditinggalkan.

Pengalaman Pemilu 2024 menunjukkan bahwa ada sebagian komisioner yang tidak layak mengemban tugas karena terpilih oleh rekam jejak pernah mengenyam di organisasi kemahasiswaan pada masa lalu atau aspek primordial agama/ideologi yang digelutinya.

Bias “tribalistik” masih cukup melekat di pikiran komisioner dibandingkan watak kewargaan yang adil. Hal yang juga harus selalu diperiksa adalah pembiayaan untuk lembaga ini. Jika pada Pemilu lalu besaran APBN untuk Bawaslu mencapai Rp33.8 triliun, maka itu untuk apa saja. Apakah untuk memenuhi penggajian atau belanja tidak langsung? Atau juga menyelipkan biaya entertainment atau SPPD yang tidak perlu, dan tidak pernah dikoreksi oleh BPK dan Inspektorat, sehingga menjadi praktik hura-hura?

Pengalaman Sri Lanka, Nepal, dan kini Madagaskar, termasuk juga aksi 25 Agustus di Indonesia menjadi pelajaran, bahwa evaluasi kelembagaan harus dilakukan. Itu sebelum generasi Z bergerak dan merobek investasi demokrasi kita--termasuk terhadap Bawaslu--sehingga menjadi sia-sia.<>

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved