Kupi Beungoh

Saat Buku Fisik Mulai Tersisih oleh Layar

Di tengah derasnya arus digitalisasi, budaya membaca buku fisik perlahan mulai tergeser oleh layar gawai.

Editor: Amirullah
Serambinews.com
Syifa Salsabila - Mahasiswi Ilmu Perpustakaan, UIN Ar-raniry Banda Aceh 

Tak heran, banyak orang masih menjadikan membaca buku sebelum tidur sebagai ritual menenangkan yang tak bisa digantikan oleh layar ponsel.

Kehadiran teknologi digital memang membawa banyak kemudahan. E-book memungkinkan seseorang membawa ratusan buku dalam satu gawai kecil. Di sisi lain, muncul juga fenomena baru seperti book summary atau audiobook yang mempersingkat waktu membaca.

Namun, di balik itu, muncul kekhawatiran bahwa masyarakat akan kehilangan kesabaran untuk menikmati proses membaca itu sendiri.

Menurut Maryanne Wolf (2018), seorang ahli neurosains kognitif dalam bukunya Reader, Come Home, membaca mendalam membutuhkan waktu dan ketenangan.

Otak manusia memerlukan jeda untuk memproses, menghubungkan ide, dan memahami makna secara utuh. Ketika membaca bergeser menjadi aktivitas cepat di layar, kemampuan refleksi itu perlahan hilang. 

Inilah yang disebut superficial reading membaca di permukaan tanpa menyelami kedalaman teks.

Fenomena ini sangat terasa di kalangan pelajar dan mahasiswa. Banyak yang membaca hanya untuk menyelesaikan tugas, bukan untuk memahami.

Padahal, buku fisik mengajarkan nilai kesabaran, fokus, dan penghargaan terhadap proses belajar. Ketika kita membuka halaman demi halaman, kita sedang belajar untuk tekun, bukan sekadar ingin cepat selesai.

Baca juga: Harga iPhone 15 di Tahun 2026 Makin Turun, Simak Kelebihan dan Kekurangannya

Namun, bukan berarti kita harus menolak teknologi. Dunia sudah berubah, dan kita tidak bisa memutar waktu. Yang perlu kita lakukan adalah menyeimbangkan keduanya menggunakan teknologi tanpa meninggalkan nilai yang dibawa buku cetak.

Pemerintah, lembaga pendidikan, dan perpustakaan bisa berperan dengan menciptakan program literasi yang menggabungkan keduanya, misalnya hybrid reading space, bedah buku, atau komunitas baca yang memanfaatkan media sosial sebagai jembatan.

Sejatinya, baik buku fisik maupun digital, keduanya memiliki tujuan yang sama: menyebarkan pengetahuan. Tapi ada perbedaan dalam prosesnya buku fisik mengajarkan kesabaran, sementara layar mengajarkan kecepatan.

Mungkin, keseimbangan antara keduanya adalah kunci agar budaya membaca tetap hidup di tengah dunia yang semakin sibuk.

Perpustakaan kini berada di titik yang menarik. Di satu sisi, mereka dituntut menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi; di sisi lain, mereka punya tanggung jawab menjaga warisan budaya membaca tradisional. Banyak perpustakaan modern kini berinovasi dengan menghadirkan konsep smart library, di mana koleksi fisik dan digital berdampingan.

Namun, tetap ada kekhawatiran bahwa generasi muda akan semakin jauh dari rak buku. Di sinilah peran pustakawan menjadi penting bukan hanya sebagai penjaga buku, tetapi sebagai fasilitator literasi. Mereka harus kreatif menciptakan ruang baca yang menarik, seperti pojok baca tematik, kegiatan book talk, hingga community reading club yang mengajak pembaca untuk berinteraksi langsung dengan buku.

Sebagaimana disebutkan oleh Christie Koontz (2017) dalam jurnal Library Management, perpustakaan yang ideal di era digital bukan yang sepenuhnya meninggalkan koleksi fisik, melainkan yang mampu menjembatani dua dunia digital dan tradisional agar tetap relevan bagi masyarakat modern.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved