Kupi Beungoh
Saat Buku Fisik Mulai Tersisih oleh Layar
Di tengah derasnya arus digitalisasi, budaya membaca buku fisik perlahan mulai tergeser oleh layar gawai.
Di tengah gempuran media digital, penting bagi kita untuk menumbuhkan kembali rasa cinta terhadap buku fisik.
Salah satu cara sederhana adalah dengan membuat waktu khusus untuk membaca tanpa gangguan tanpa notifikasi, tanpa internet, hanya kita dan buku. Pengalaman seperti itu membantu mengembalikan kualitas perhatian yang hilang akibat dunia digital yang serba cepat.
Selain itu, kegiatan literasi di lingkungan pendidikan juga harus diarahkan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap buku cetak. Guru dan dosen bisa mengajak siswa atau mahasiswa berdiskusi tentang isi buku, bukan sekadar memberikan ringkasan bacaan digital.
Dengan cara itu, membaca kembali menjadi aktivitas sosial yang menyenangkan, bukan beban akademik semata.
Tak kalah penting, peran keluarga juga besar. Orang tua yang membiasakan anaknya membaca buku sejak dini secara tidak langsung menanamkan nilai-nilai kesabaran dan keingintahuan.
Penelitian dari National Literacy Trust (2020) menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan kebiasaan membaca buku fisik memiliki kemampuan bahasa dan empati yang lebih tinggi dibanding mereka yang hanya terpapar bacaan digital.
Dunia digital memang tidak bisa kita hindari. Ia menawarkan akses cepat, informasi luas, dan efisiensi luar biasa. Tetapi kemajuan itu seharusnya tidak membuat kita kehilangan kedalaman berpikir.
Keseimbangan adalah kuncinya. Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk belajar dan mencari informasi, namun tetap menyediakan ruang khusus untuk menikmati buku fisik.
Mungkin, solusi terbaik adalah menciptakan budaya literasi yang adaptif. Misalnya, menggunakan platform digital untuk promosi buku fisik, mengadakan bedah buku secara daring, atau membuat konten literasi di media sosial yang mengajak orang kembali membaca buku.
Dengan cara itu, teknologi bukan menjadi lawan, tapi sekutu yang membantu memperkuat budaya membaca.
Sebagaimana kata Jorge Luis Borges, “Saya selalu membayangkan surga sebagai semacam perpustakaan.” Kalimat itu menggambarkan betapa sakralnya hubungan manusia dengan buku.
Selama masih ada halaman yang bisa dibuka, aroma kertas yang bisa dihirup, dan kisah yang bisa dirasakan, budaya membaca tak akan pernah benar-benar hilang hanya berubah bentuk mengikuti zaman. Yang terpenting, jangan biarkan layar sepenuhnya menghapus keintiman kita dengan buku.
Penulis adalah mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI
| Ketika Perpustakaan Kehilangan Suaranya di Tengah Bisingnya Dunia Digital |
|
|---|
| Dibalik Kerudung Hijaunya Hutan Aceh: Krisis Deforestasi Dan Seruan Aksi Bersama |
|
|---|
| MQK Internasional: Kontestasi Kitab, Reproduksi Ulama, dan Jalan Peradaban Nusantara |
|
|---|
| Beasiswa dan Perusak Generasi Aceh |
|
|---|
| Menghadirkan “Efek Purbaya” pada Penanganan Stunting di Aceh |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.