Kupi Beungoh
Migas Aceh, Hantu di Bawah Tanah, Bayang-bayang di Atas Kemiskinan
Dalam praktiknya, proses perizinan dan kontrak bagi hasil masih membutuhkan persetujuan ganda, memperlambat keputusan investasi.
*) Oleh: Prof Muhammad Irham
ACEH telah lama menjadi nama besar dalam sejarah energi Indonesia. Sejak ditemukannya minyak di Pangkalan Brandan pada abad ke-19 dan berkembangnya lapangan Arun di Lhokseumawe pada 1970-an, provinsi ini pernah menjadi poros penting industri migas Asia Tenggara.
Namun hari ini, di atas tanah yang kaya hidrokarbon, masyarakat justru menyaksikan paradoks: kekayaan bawah tanah yang tak berwujud dalam kesejahteraan.
Sejak Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 menjamin hak otonomi khusus dalam pengelolaan sumber daya alam dan dibentuknya Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) melalui PP No. 23 Tahun 2015, publik berharap Aceh akan menjadi model desentralisasi energi. Namun realitas di lapangan jauh dari ideal.
Data BPMA dan SKK Migas menunjukkan bahwa produksi minyak Aceh pada 2023 masih di bawah 2.000 barel per hari, turun jauh dari puncak masa kejayaan lapangan Arun yang pernah mencapai lebih dari 1,3 juta barel setara minyak per bulan pada awal 1990-an.
Pada level nasional, lifting minyak Indonesia 2023 hanya sekitar 605 ribu barel per hari, di bawah target APBN 660 ribu.
Produksi gas juga mengalami fluktuasi akibat gangguan teknis dan lapangan yang menua. Indonesia, yang dulu eksportir LNG besar dunia, kini menjadi net importir energi (ESDM, 2024).
Dalam konteks itu, Aceh yang dulu simbol kemakmuran kini tampak seperti cermin retak industri migas nasional penuh sejarah, tapi kehilangan vitalitas.
Masalah pertama yang membayangi sektor migas Aceh adalah disharmoni hukum dan kelembagaan.
UUPA memberi kewenangan khusus kepada Aceh untuk mengelola migasnya sendiri, tetapi implementasi di lapangan tumpang-tindih dengan UU Migas No. 22/2001 dan peraturan turunannya.
Akibatnya, kewenangan BPMA sering tidak jelas dibanding SKK Migas yang berada di bawah pusat.
Dalam praktiknya, proses perizinan dan kontrak bagi hasil masih membutuhkan persetujuan ganda, memperlambat keputusan investasi.
Beberapa studi tentang Energi dan Kebijakan Nasional menyebut bahwa ketidakpastian kelembagaan menjadi faktor utama rendahnya minat investor di wilayah migas Aceh, meskipun potensi geologinya tinggi.
Revisi PP No. 23/2015 menjadi keharusan. BPMA perlu diperkuat bukan sekadar sebagai “representasi lokal SKK Migas”, tetapi sebagai otoritas sejajar yang memiliki legitimasi hukum penuh di bawah UUPA.
Tanpa itu, keistimewaan Aceh dalam sektor energi hanya tinggal narasi administratif, bukan realitas ekonomi.
Lapangan-lapangan migas Aceh kini menghadapi tantangan teknis serius. Lapangan Arun yang dahulu menjadi ikon ekspor LNG Asia kini telah menurun tekanan reservoir-nya.
Infrastruktur yang dibangun sejak 1970-an, mulai dari pipa hingga terminal gas, sebagian besar telah menua dan memerlukan investasi besar untuk revitalisasi.
Eksplorasi baru pun stagnan. BPMA mencatat hanya dua blok baru yang aktif dalam tahap studi umum hingga 2024.
Padahal survei seismik menunjukkan potensi migas di perairan barat Aceh dan utara Sabang cukup menjanjikan.
Keterbatasan lain datang dari sumber daya manusia lokal. Banyak ahli perminyakan Aceh bekerja di luar daerah atau luar negeri.
Padahal, Universitas Syiah Kuala dan Politeknik Aceh memiliki potensi besar mencetak tenaga ahli baru jika didukung dana riset dan kemitraan industri.
Tanpa investasi dalam riset dan inovasi, Aceh akan terus menjadi pasar tenaga kerja, bukan pusat keahlian.
Pengalaman Malaysia melalui Petronas Institute of Technology membuktikan bahwa keberhasilan industri migas nasional tidak hanya ditentukan cadangan, tetapi kemampuan melahirkan ahli lokal yang menguasai rantai nilai energi dari hulu ke hilir (Rahman et al., Energy Policy, 2022).
Aceh harus belajar dari model ini dengan fasilitasi dan dukungan Pemda serta dorongan universitas.
Masalah sosial di sekitar proyek migas juga tak kalah rumit. Konflik lahan, tuntutan kompensasi, dan resistensi masyarakat terhadap perusahaan menunjukkan lemahnya tata kelola sosial.
Banyak warga lokal merasa hanya menjadi penonton atas eksploitasi sumber daya di tanah mereka.
Kajian Pramudianti (2024) di Journal of Extractive Governance menunjukkan bahwa proyek migas di daerah otonomi khusus sering gagal memperoleh legitimasi sosial karena ketidakjelasan mekanisme bagi hasil dan transparansi pendapatan.
Dalam konteks Aceh, mekanisme pembagian revenue sharing yang tidak inklusif justru menimbulkan kecemburuan sosial.
Keterlibatan masyarakat lokal harus menjadi prasyarat investasi, bukan sekadar pelengkap administratif.
Aceh memerlukan model community benefit agreement seperti yang diterapkan di Kanada dan Norwegia, di mana masyarakat di sekitar wilayah operasi memiliki akses langsung terhadap dana sosial dan pelatihan kerja dari perusahaan migas.
Sementara itu, daya saing fiskal sektor migas Indonesia kian menurun.
Negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam menawarkan skema pajak progresif dan cost recovery yang lebih fleksibel.
Akibatnya, investor global lebih memilih kawasan tersebut.
Dalam konteks Aceh, biaya produksi per barel setara minyak (Cost/BOE) terus meningkat karena faktor logistik dan keamanan, sementara dukungan perbankan nasional terhadap proyek eksplorasi masih rendah.
Aceh membutuhkan reformasi fiskal daerah yang adaptif dengan memberikan insentif pajak terbatas, pembebasan bea impor alat eksplorasi, dan kemudahan izin bagi production sharing contract tahap awal.
Namun reformasi ini harus berjalan paralel dengan transparansi agar tidak mengulang kegagalan “rente energi” di masa lalu.
Aceh tidak sedang kekurangan minyak atau gas. Yang hilang adalah visi tata kelola yang konsisten, riset yang mandiri, dan keberanian politik untuk menegakkan otonomi energi secara nyata.
Oleh karena itu, tiga langkah konkret perlu diambil. Pertama, revisi PP No. 23/2015 untuk mempertegas otoritas BPMA.
Kedua, pembangunan Pusat Riset dan SDM Migas Aceh yang melibatkan universitas, industri, dan pemerintah daerah. Ketiga, mekanisme pembagian manfaat partisipatif agar masyarakat menjadi bagian dari rantai nilai migas, bukan korban dari eksploitasi.
Jika ketiga agenda itu berjalan serentak, “Hantu Migas Aceh” akan menjelma menjadi warisan nyata dimana energi bukan hanya menggerakkan mesin industri, tetapi juga menyalakan harapan rakyat Aceh. (*)
*) PENULIS adalah Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
| Saat Perpustakaan Tak Lagi Jadi Tempat Favorit Anak Muda |
|
|---|
| MBG “Mimpi Buruk” Membangun Generasi Cerdas |
|
|---|
| Meretas Makna di Balik Gelar Pendidikan Tinggi dalam Dinamika Profesi dan Pergulatan Makna Hidup |
|
|---|
| Perubahan Wajah Epidemi HIV di Aceh, dari Isu Medis ke Krisis Sosial Remaja |
|
|---|
| Perlindungan Anak vs Pendidikan Moral: Saat Regulasi Menyimpang dari Amanat Konstitusi |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.