Kupi Beungoh
3 Kuda Poni Kematian Finansial: Judi Online, Pinjol & Penipuan Menghancurkan Kelas Menengah Digital
Dunia digital Indonesia kini seperti ladang ranjau tampak aman, tapi salah klik sedikit, bisa kehilangan separuh hidupmu.
Lebih tragis lagi, banyak yang pinjam uang bukan untuk konsumtif, tapi buat _modal judi online_. Lingkaran setan itu pun lengkap: judi melahirkan utang, utang menambah tekanan, tekanan mendorong kembali ke judi.
Kelas menengah digital, yang dulu dibanggakan sebagai motor ekonomi baru, kini jadi pasar empuk bagi predator finansial. Mereka tak cuma mencuri uang, tapi juga rasa aman dan martabat.
Penipuan Digital: Modus Canggih, Literasi Rendah
Dulu penipuan digital cuma soal “Mama minta pulsa.” Sekarang? Lebih kreatif dan lebih kejam.
Ada yang berkedok file undangan pernikahan (ternyata APK pencuri data), ada yang mengaku CS bank, bahkan ada yang bikin situs investasi palsu lengkap dengan testimoni artis hasil AI.
Yang bikin miris, korban bukan cuma orang tua gaptek. Banyak anak muda, bahkan mahasiswa dan pekerja, ikut tertipu. Mereka paham teknologi, tapi minim literasi keamanan digital.
Salah satu kawan saya pernah bilang, “aku ngerti cara bikin konten TikTok, tapi nggak ngerti cara bedain link phishing.” Nah, di situlah tragedinya.
Kita hidup di generasi yang bisa bikin video viral lima menit, tapi nggak tahu bahwa link “hadiah iPhone gratis” bisa mengosongkan rekening dalam tiga detik.
Mengapa orang mudah tertipu? Karena manusia, dari dulu sampai sekarang, masih punya satu kelemahan abadi: ingin cepat kaya tanpa usaha.
Dan dunia digital tahu betul cara menjual mimpi itu dengan visual keren, bahasa meyakinkan, dan testimoni palsu yang tampak nyata.
Penutup: Literasi Sebagai Tameng, Bukan Slogan
Mari akui: krisis ini bukan cuma soal kriminalitas digital, tapi soal kegagalan kolektif.
Kita terlalu sibuk bikin slogan “literasi digital,” tapi lupa menjelaskan apa artinya. Kita sibuk blokir situs, tapi tak pernah menyentuh akar: ketimpangan ekonomi dan rendahnya kontrol diri.
Pemerintah harus bergerak lebih cepat. Tak cukup dengan razia dan pemblokiran. Harus ada regulasi ketat dan hukuman tegas bagi pemilik platform yang meloloskan iklan judi dan pinjol ilegal.
Platform digital juga tak bisa terus bersembunyi di balik alasan “kami hanya penyedia tempat.” Kalau bisa mendeteksi kata kasar, masa mendeteksi iklan judi aja nggak bisa?
Dan kita, masyarakat, harus membangun _tameng literasi finansial dan siber_. Karena di dunia yang semakin canggih ini, kebodohan bukan cuma kelemahan tapi peluang bisnis bagi para predator digital.
Internet memang memberi kebebasan, tapi di tangan yang salah, ia berubah jadi mesin penghisap.
Kita bisa jadi kreator, wirausahawan, atau peneliti berkat internet. Tapi juga bisa jadi korban hanya karena satu klik yang salah.
Jadi kalau kamu hari ini masih percaya “slot gampang menang,” “pinjol cuma bantu sementara,” atau “investasi profit harian itu nyata,”
ingatlah: tiga kuda poni kematian finansial sedang menunggumu di ujung layar.
Berikut saya lampirkan teks opininya:
“Dulu orang jatuh miskin karena kalah perang atau gagal panen. Sekarang, orang jatuh miskin karena klik link undangan palsu. Dunia makin modern, tapi cara kita hancur tetap klasik: tergoda janji manis.”
Penulis: Rafiqa Maulidya - Prodi ilmu perpustakaan, fakultas adap dan humaniora, uin Ar-Raniry banda Aceh
| Kisah Pilu Nelayan di Peukan Bada: Hidup di Gubuk Reot, Anak-anak Putus Sekolah |
|
|---|
| Rendah Mutu Dan Reputasi Kampus: Akibat Stagnasi Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi |
|
|---|
| Migas Aceh, Hantu di Bawah Tanah, Bayang-bayang di Atas Kemiskinan |
|
|---|
| Saat Perpustakaan Tak Lagi Jadi Tempat Favorit Anak Muda |
|
|---|
| MBG “Mimpi Buruk” Membangun Generasi Cerdas |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.