Kupi Beungoh
Biaya Hidup Melonjak dan Krisis Pekerjaan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat Ilmu
Jika ditelusuri lebih jauh, krisis biaya hidup dan pekerjaan ini sesungguhnya mencerminkan krisis filsafat ilmu itu sendiri.
Sering kali, kita terjebak pada klaim pengetahuan yang datang dari institusi resmi. Pemerintah merilis data bahwa inflasi terkendali dan angka pengangguran menurun. Namun di lapangan, masyarakat mengeluh bahwa harga-harga tetap tinggi, gaji tak mencukupi, dan lapangan pekerjaan semakin sulit.
Inilah yang disebut oleh filsafat ilmu sebagai krisis epistemologis: ketika kebenaran yang diakui secara resmi tidak lagi sejalan dengan pengalaman empiris masyarakat.
Dalam epistemologi klasik, kebenaran seharusnya memiliki kesesuaian antara fakta dan pengalaman, antara konsep dan realitas.
Namun dalam situasi kita, ada jarak antara “pengetahuan pemerintah” dan “pengetahuan rakyat”.
Epistemologi filsafat ilmu mengajak kita untuk menggugat sumber kebenaran tunggal. Kebenaran tidak hanya datang dari data statistik atau laporan resmi, tetapi juga dari kesaksian pengalaman hidup masyarakat.
Dalam konteks ini, epistemologi sosial menegaskan pentingnya pengetahuan partisipatif, di mana realitas sosial dipahami dari suara orang-orang yang mengalaminya.
Selain itu, epistemologi juga mengajarkan pentingnya kejujuran ilmiah dan keterbukaan. Ilmu ekonomi yang hanya menjadi alat justifikasi kebijakan tanpa keberpihakan pada rakyat kecil, kehilangan fungsi utamanya sebagai ilmu yang memanusiakan.
Filsafat ilmu menolak reduksi kebenaran hanya pada yang “terukur” secara matematis, sebab kebenaran sosial juga memiliki dimensi moral dan kemanusiaan yang tak bisa diukur dengan angka.
Oleh karena itu, krisis ekonomi Indonesia bukan hanya krisis sumber daya, melainkan krisis pengetahuan ketika pengetahuan kehilangan kedalaman moral dan kepekaan sosialnya.
Baca juga: Deretan Kode Redeem FF Free Fire Terbaru 7 November 2025, Klaim Skin Langka & Diamond Gratis!
Kajian Aksiologis: Nilai, Keadilan, dan Tujuan Ilmu
Dimensi aksiologi menanyakan: untuk apa ilmu itu digunakan? Apa nilai yang seharusnya mendasari penerapan ilmu ekonomi dan kebijakan publik?
Dalam perspektif aksiologi, ilmu tidak pernah bebas nilai (value-free). Setiap kebijakan publik membawa orientasi moral tertentu baik disadari maupun tidak. Maka pertanyaannya: nilai apa yang menjadi dasar sistem ekonomi kita? Apakah nilai keadilan sosial, atau nilai efisiensi pasar?
Dalam kenyataannya, arah pembangunan di Indonesia cenderung dikuasai oleh rasionalitas instrumental, yaitu rasionalitas yang hanya mengejar efisiensi dan keuntungan. Ilmu ekonomi modern beroperasi dengan logika pasar bebas yang sering kali menyingkirkan nilai-nilai kemanusiaan.
Akibatnya, banyak kebijakan ekonomi yang “rasional” di atas kertas, tetapi “tidak manusiawi” di lapangan.
Aksiologi filsafat ilmu menuntut agar ilmu diarahkan untuk kemaslahatan dan keadilan sosial. Ilmu ekonomi harus kembali berakar pada nilai moral: kesejahteraan manusia, solidaritas sosial, dan keberlanjutan hidup.
Maka, solusi terhadap krisis biaya hidup dan pekerjaan tidak cukup dengan kebijakan teknis, tetapi harus menyentuh nilai dasar kehidupan bersama, antara lain:
| Romantisasi Kerja Tanpa Pamrih |
|
|---|
| 3 Kuda Poni Kematian Finansial: Judi Online, Pinjol & Penipuan Menghancurkan Kelas Menengah Digital |
|
|---|
| Kisah Pilu Nelayan di Peukan Bada: Hidup di Gubuk Reot, Anak-anak Putus Sekolah |
|
|---|
| Rendah Mutu Dan Reputasi Kampus: Akibat Stagnasi Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi |
|
|---|
| Migas Aceh, Hantu di Bawah Tanah, Bayang-bayang di Atas Kemiskinan |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.