Kupi Beungoh

Biaya Hidup Melonjak dan Krisis Pekerjaan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Filsafat Ilmu

Jika ditelusuri lebih jauh, krisis biaya hidup dan pekerjaan ini sesungguhnya mencerminkan krisis filsafat ilmu itu sendiri.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Teuku Alvinnur, S.Pd., lahir di Matangglumpang Dua, pada 18 Mei 2003. Saat ini ia menempuh pendidikan magister di Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Ia memiliki ketertarikan pada isu-isu filsafat ilmu, pendidikan, dan keislaman. 

1. Menegakkan prinsip keadilan distributif dalam kebijakan harga dan upah.

2. Memperkuat pendidikan dan pelatihan kerja sebagai investasi kemanusiaan, bukan sekadar kebutuhan industri.

3. Menumbuhkan etika kebersamaan dan tanggung jawab sosial di kalangan pemilik modal dan pejabat publik.

4. Menghidupkan ekonomi lokal dan kearifan masyarakat agar kemandirian ekonomi tidak tergantung pada struktur kapitalistik global.

Aksiologi mengingatkan kita bahwa ilmu dan kebijakan tanpa nilai hanyalah mesin tanpa arah. Seperti kata Max Scheler, manusia bukan hanya makhluk yang berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang bernilai (ens axiologicum).

Maka, kebijakan ekonomi yang sejati adalah yang menghormati martabat manusia sebagai pusat dari segala aktivitas ekonomi.

Krisis Ilmu dalam Masyarakat Modern

Jika ditelusuri lebih jauh, krisis biaya hidup dan pekerjaan ini sesungguhnya mencerminkan krisis filsafat ilmu itu sendiri.

Ilmu modern yang berkembang sejak abad ke-17 membangun dunia atas dasar rasionalitas dan efisiensi.

Namun di abad ke-21, kita menyadari bahwa rasionalitas yang tidak diimbangi moralitas justru melahirkan penderitaan baru. Kemajuan teknologi, sistem ekonomi digital, dan globalisasi pasar ternyata tidak otomatis membuat manusia bahagia.

Dalam perspektif filsafat ilmu, ini disebut sebagai “dehumanisasi ilmu” ketika ilmu kehilangan orientasi etisnya dan hanya berfungsi untuk kepentingan kekuasaan ekonomi. Manusia menjadi instrumen dari sistem, bukan subjek yang menentukan arah pengetahuan.

Sebagai bangsa yang memiliki warisan moral dan spiritual yang kuat, Indonesia seharusnya membangun paradigma ilmu yang integratif, bukan dualistik.

Ilmu harus menggabungkan unsur rasional dan etis, empiris dan spiritual, teknis dan moral. Dalam konteks ekonomi, ini berarti mengembalikan manusia ke posisi sentral bukan sekadar sebagai konsumen atau tenaga kerja, melainkan sebagai makhluk bermartabat yang berhak atas kesejahteraan yang adil.

Rekonstruksi Ilmu dan Jalan Filsafat untuk Indonesia

Apa yang bisa dilakukan untuk keluar dari krisis epistemik dan aksiologis ini?

Pertama, kita perlu reorientasi epistemologi ilmu ekonomi dan sosial di Indonesia. Ilmu tidak boleh hanya meniru paradigma Barat yang individualistik, tetapi harus dibangun di atas nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas bangsa. Ilmu harus memihak pada bonum commune kebaikan bersama, bukan keuntungan pribadi.

Kedua, pendidikan tinggi harus kembali mengajarkan filsafat ilmu sebagai dasar berpikir kritis. Mahasiswa, peneliti, dan birokrat perlu dilatih untuk tidak hanya berpikir “apa yang efisien”, tetapi juga “apa yang bermoral dan manusiawi”. Pendidikan ekonomi yang kering dari filsafat hanya akan menghasilkan teknokrat yang cerdas menghitung, tetapi miskin empati.

Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved