Kupi Beungoh

Ketika Buku Berdebu, dan Layar Jadi Teman: Masa Depan Perpustakaan di Era Digital

Beberapa tahun terakhir, pemandangan rak buku berdebu di sudut perpustakaan bukan lagi hal yang asing.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Khairah Mahasiswa: Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry 

Beberapa perpustakaan daerah juga mulai mengembangkan layanan digital berbasis aplikasi. Namun tantangan terbesar tidak hanya terletak pada teknologi, melainkan pada kesiapan sumber daya manusia yang mengelolanya.

Masih banyak pustakawan yang belum terbiasa dengan sistem digital. Sebagian bahkan merasa canggung menggunakan platform daring untuk melayani pengguna.

Padahal, kemampuan literasi digital kini sama pentingnya dengan kemampuan mengelola koleksi fisik. Perubahan zaman menuntut pustakawan untuk lebih adaptif, kreatif, dan terbuka terhadap inovasi.

 Maka, pelatihan dan pendampingan menjadi langkah penting agar perpustakaan tidak tertinggal dalam arus modernisasi ini. Pustakawan perlu didorong untuk memahami teknologi, membuat konten digital, dan mengelola data pengguna dengan cara yang aman dan efisien.

Selain itu, perilaku pengguna perpustakaan juga mengalami transformasi besar.

Generasi muda lebih suka mencari informasi cepat melalui ponsel ketimbang membaca buku tebal di ruang baca. Mereka lebih tertarik pada tampilan visual, ringkasan isi, dan interaksi digital.

Baca juga: 8 Prompt Gemini AI untuk Ciptakan Foto Wanita Berhijab di Makkah yang Tampak Nyata dan Elegan

Perpustakaan perlu berbicara dengan bahasa mereka, bukan hanya menyediakan koleksi digital, tetapi juga menghadirkan pengalaman belajar yang menarik dan interaktif. Kegiatan seperti diskusi daring, klub baca virtual, pelatihan digital, hingga pameran literasi berbasis multimedia dapat menjadi cara baru untuk menarik minat generasi muda.

Perpustakaan juga perlu berani hadir di media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube bisa menjadi sarana efektif untuk memperkenalkan koleksi, membagikan informasi literasi, atau membuat konten edukatif yang ringan namun bermanfaat.

Dengan begitu, perpustakaan tidak hanya menunggu pengunjung datang, tetapi juga aktif menjangkau mereka di ruang digital tempat anak muda menghabiskan sebagian besar waktunya.

Dengan strategi seperti ini, perpustakaan bisa kembali menjadi tempat yang relevan bagi masyarakat. Ia tidak hanya berfungsi sebagai tempat membaca, tetapi juga ruang berkumpul, berbagi ide, dan berkreasi bersama.

Perpustakaan masa depan dapat menjadi pusat kegiatan komunitas yang mendukung pembelajaran sepanjang hayat, inovasi, dan kolaborasi lintas generasi.

Namun di sisi lain, ada hal penting yang patut dipertahankan. Ketika semua hal menjadi serba digital, hubungan emosional antara manusia dan buku bisa memudar. Aroma kertas, suara halaman yang dibalik, serta ketenangan ruang baca adalah bagian dari pengalaman literasi yang autentik dan tidak tergantikan oleh layar.

Di sinilah tantangan besar perpustakaan masa kini: bagaimana menjaga keseimbangan antara kemudahan teknologi dan kehangatan fisik yang menjadi identitas sejatinya.

Mungkin masa depan perpustakaan bukan soal menggantikan buku dengan layar, melainkan tentang menyatukan keduanya. Buku tetap menjadi simbol pengetahuan yang mendalam dan reflektif, sementara teknologi menjadi sarana untuk memperluas akses, mempercepat layanan, dan menjangkau masyarakat yang lebih luas.

Perpustakaan tidak perlu menjadi serba modern, tetapi harus mampu menjadi relevan dan bermakna bagi generasinya.

Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved