Kupi Beungoh
Paradoks HIV/AIDS Di Negeri Syariah
Dengan judul “Paradoks HIV/AIDS di Negeri Syariah”, tulisan ini mencoba mengeksplorasi ketegangan antara norma moral, agama dan realitas kesehatan.
Secara moral dan etis, Aceh dengan nilai dan pengaturan moral agama yang ketat masih perlu melakukan refleksi.
Apakah suatu daerah dengan penerapan syariat Islam itu bisa “bersih” dari penyakit HIV/AIDS? Pada kenyataannya, “tidak”.
Tanpa pelayanan kesehatan dan pendidikan yang efektif serta inklusivitas, pengaturan moral tetap gagal.
Lebih dalam lagi, apakah tujuan utama nya “melarang suatu perilaku” atau “menyelamatkan nyawa?.
Apakah ada keyakinan bahwa perilaku berisiko semua akan dihentikan sepenuhnya justru karena pengaturan norma agama yang kuat? Bila risiko tetap ada, maka apakah yang perlu dikoreksi? norma? Layanan? atau keduanya?
Aceh benar-benar berada dalam suatu dilema, dihadapkan kepada penyakit menular dengan kondisi keagamaan yang primitif dan membutuhkan pendekatan medis.
Daerah yang mengaku diri “negeri syariah” juga perlu berfikir, syariah “apa” yang bisa menyelamatkan masyarakat dari HIV?/AIDS.
4. Kesimpulan
Paradoks HIV/AIDS di Aceh adalah sebuah panggilan sadar bahwa mengandalkan hanya pada regulasi moral dan identitas agama tidak cukup untuk mengatasi tantangan kesehatan masyarakat yang nyata.
Di “Negeri Syariah” ini, angka kasus HIV/AIDS naik, kelompok berisiko tersembunyi, edukasi kurang menyentuh, layanan belum optimal, semuanya menunjukkan bahwa faktor sosial, budaya, medis dan struktural saling berkait.
Aceh punya potensi besar, norma agama bisa menjadi landasan moral yang kuat untuk pencegahan penyakit, tetapi harus diiringi dengan langkah konkret, seperti kepatuhan masyarakat terhadap regulasi, pendidikan seks sehat yang dapat dibuat sesuai dengan konteks budaya dan kultur masyarakat Aceh,
layanan ramah bagi semua tanpa diskriminasi dan penghakiman, skrining deteksi dini bagi semua kalangan, khususnya kaum muda, dan pengurangan stigma bagi yang terkena agar mampu diobati segera.
Tanpa itu, syariah sebagai label moral bisa menjadi semacam “topeng” yang menutupi masalah, bukan menyelesaikannya.
Akhirnya, tanggung jawab bersama, baik dari pemerintah, lembaga agama, masyarakat sipil hingga keluarga harus menyatu.
Karena keselamatan nyawa dan kesehatan publik adalah nilai universal yang melampaui identitas dan norma semata.
Di Aceh, tantangannya bukan hanya moralitas, tetapi juga efektivitas dan kemanusiaan dalam penanganan HIV/AIDS.
Dengan demikian, paradigma “Negeri Syariah” tidak hanya sekadar penerapan norma, melainkan juga penerapan keadaban kesehatan, inklusi, dan pelayanan jiwa.
*) PENULIS adalah pegiat sosial dan pemerhati hukum.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Irfan-Maulana-SH-010101.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.