Pojok Humam Hamid
Benny K Harman dan MoU Helsinki: Dari Empati ke Sinisme Sarkastik
Kalimat “Jangan sedikit-sedikit Helsinki, dua puluh tahun ini bikin apa?” mungkin dimaksudkan sebagai kritik, tetapi juga mengandung bahaya
Yang benar adalah sebaliknya pejabat itu korup karena tidak menjalankan konstitusinya.
Dengan logika yang sama, Otsus tidak gagal karena MoU buruk.
Otsus bermasalah karena sebagian pelaksananya gagal menjalankan amanah MoU.
Menyalahkan MoU atas buruknya implementasi Otsus sama absurdnya dengan menyalahkan kompas karena kapten kapal mabuk.
Yang membuat sikap sinis terhadap MoU berbahaya bukan hanya ketidaktepatannya, tetapi karena ia mengajarkan publik untuk menghapus konteks sejarah demi kenyamanan politik hari ini.
Ia mendorong semacam kepikunan kolektif yang telah berulang kali terbukti memicu bencana.
Lihat Jerman, Rwanda, Balkan.
Lihat sejarah mana pun yang Anda suka.
Bangsa yang mengabaikan trauma masa lalu akan mengulang tragedi yang sama.
Dan mungkin terlalu sombong utnuk mengatakan bahwa Aceh memahami ini lebih baik dari siapa pun.
Karena itu, mengingat MoU bukanlah kelemahan, itu mekanisme survival.
Ia adalah pengingat bahwa perdamaian butuh pemeliharaan, bahwa rekonsiliasi bukan peristiwa, melainkan proses panjang.
Bahwa luka tidak hilang hanya karena kita bosan membicarakannya.
Di Rusia, Ukraina, Polandia, masyarakat menertawakan absurditas negara sebagai mekanisme bertahan hidup.
Humor adalah strategi melawan ketidakwarasan.
Aceh pun demikian.
Ketika rakyat menertawakan proyek mercusuar atau pejabat yang lupa sejarah, itu bukan pesimisme.
Itu tanda bahwa kewarasan publik belum punah.
Dan dalam logika Fergusonian, masyarakat yang masih mampu menertawakan elit politiknya adalah masyarakat yang masih punya cadangan energi untuk memperbaiki masa depan.
Sebab itu, kritik sinis terhadap MoU bukan hanya salah tempat, tetapi anti-sejarah.
Ia lupa bahwa MoU bukan masa lalu, sebaliknya ia pagar keselamatan hari ini.
Jika mau bicara serius soal Otsus, bicaralah dalam logika waktu panjang.
Dua puluh tahun bukan apa-apa dalam pemulihan pascakonflik.
Irlandia Utara butuh tiga dekade stabilisasi.
Jerman butuh empat puluh tahun pemulihan institusional.
Rwanda memerlukan satu generasi penuh untuk memulihkan kohesi sosial.
Mengharapkan Aceh “selesai” dalam dua dekade adalah logika politisi kampanye, bukan logika sejarah.
Aceh tidak gagal.
Aceh sedang berproses.
Indikatornya sederhana: tidak ada perang.
Tidak ada kekacauian bersenjata.
Tidak ada desa terbakar.
Tidak ada pengungsian massal.
Dengan kata lain, MoU berhasil.
Bahwa Otsus belum maksimal?
Itu soal tata Kelola--bukan soal legitimasi MoU.
Aceh tidak membutuhkan politisi yang menyuruh mereka berhenti menyebut MoU.
Aceh membutuhkan politisi yang paham bahwa MoU adalah instrumen stabilitas, dan stabilitas adalah syarat pembangunan.
Kritisi pengelolaan dana? Silakan.
Tuntut akuntabilitas? Wajib.
Tapi meremehkan MoU sama dengan menabur bensin di atas bara yang belum mati.
Sejarah bukan souvenir, ia adat peringatan.
Dan bangsa yang mengabaikan peringatan sejarah sedang menulis undangan baru bagi tragedi.
Jika ingin memberi nasihat kepada Aceh, maka katakanlah,
jangan berhenti menyebut MoU--karena tanpa itu, tidak ada jaminan kita tetap dalam damai.
Orang boleh bosan mendengarnya.
Tetapi sejarah tidak pernah peduli siapa yang bosan.
Sejarah hanya peduli siapa yang belajar.
Dan Aceh--meski penuh luka, penuh ironi--setidaknya masih berusaha belajar.
Sementara mereka yang ingin mematikan ingatan sejarah hanya mengungkapkan satu hal- bahwa mereka belum siap belajar, dan karena itu, belum siap membangun masa depan.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Isi artikel dalam Pojok Humam Hamid menjadi tanggung jawab penulis.
Benny K Harman
MoU Helsinki
Memori MoU Helsinki
Revisi UUPA
pojok humam hamid
Serambi Indonesia
Serambinews
berita aceh terkini
| Samudra Pasai dan Jalur Rempah: Pusat Dunia di Ujung Utara Sumatra - Bagian XVIII |
|
|---|
| Whoosh: Utang Politik, Utang Negara, dan Akal Sehat |
|
|---|
| Zohran Mamdani, Islamophobia, dan New York “Baru” |
|
|---|
| Samudera Pasai dalam Rihlah Ibnu Batutah, Catatan Sang Musafir dan Tafisran Orientalis – Bagian XVII |
|
|---|
| Prabowo dan Transisi Yang Belum Selesai: Inversi Model Mahathir-Najib Atau Sebaliknya? |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Humam-Hamid-tanggapi-Benny-K-Harman.jpg)