Opini

Blok Harapan South Andaman

SAAT gelembung gas raksasa ditemukan di perairan Blok South Andaman, hanya beberapa mil dari pantai Aceh, yang bergetar bukan hanya dasar laut

Editor: mufti
For Serambinews.com
Jasman J Ma'ruf, Profesor Manajemen di FEB USK 

Mereka berbicara dalam bahasa yang sama dengan komunitas sekitar. Mereka memahami adat, memahami ruang hidup masyarakat, dan karena itu mereka bisa mengubah proyek industri menjadi bagian dari kehidupan sosial. Dengan melibatkan mereka, resistensi berubah menjadi dukungan. Konflik berubah menjadi kolaborasi. Dan proyek tidak hanya beroperasi tapi bertumbuh dengan akar sosial yang kokoh. Lihatlah dunia. Di Delta Niger, Nigeria, konflik sosial tak kunjung padam karena masyarakat lokal dikesampingkan. Di Papua, masyarakat hidup di bawah bayang-bayang tambang tanpa pernah mengendalikan nasibnya sendiri. Eksklusi adalah bom waktu. Dan dunia korporasi tidak bisa lagi mengabaikannya. Mubadala bisa membuktikan diri berbeda. Bukan sekadar hadir sebagai investor, tapi sebagai mitra yang membangun masa depan bersama. Investasi terbaik bukan hanya pada ladang gas tapi pada generasi yang kelak akan menjaganya.

Untuk siapa gas ini?

Ini bukan pertanyaan teknis. Ini adalah pertanyaan moral, historis, dan politis. Jika kilang ini akan menyala, siapa yang akan duduk di ruang kontrolnya? Jika gas ini mengalir, siapa yang akan ikut bergerak naik? Mubadala Energy punya kesempatan langka untuk menjadi berbeda dari pendahulunya. Tidak hanya dikenang sebagai pengambil gas, tapi sebagai penyala api masa depan.

Dan masyarakat Aceh siap menyambut, jika pintunya dibuka sekarang. Bukan nanti. Bukan setelah semuanya telanjur berjalan. Tapi sekarang. “Itu kilang di kampung kita, Nak. Tapi bukan untuk kita.”
Kalimat ini bukan fiksi. Ia pernah terucap di banyak rumah di Aceh, di era ketika PT Arun berdiri megah namun asing bagi penduduk sekitarnya. Sebuah fasilitas industri yang menyala terang di malam hari, tapi terasa gelap bagi mereka yang tak pernah diberi kesempatan masuk ke dalamnya.

Kini, kalimat itu bisa saja kembali terdengar. Tapi tidak harus begitu. Sejarah memang bisa berulang. Tapi sejarah juga bisa diperbaiki. Narasi bisa ditulis ulang asal ada keberanian untuk memulainya hari ini, bukan nanti. Bayangkan sebuah suara berbeda yang lahir lima tahun dari sekarang: “Itu tempat kakakmu bekerja, Nak. Dulu dia ikut seleksi sejak SMA. Dikirim pelatihan oleh Mubadala. Sekarang dia teknisi andalan di kilang gas Andaman.” Kita bisa menciptakan kisah baru. Kisah di mana anak-anak Aceh tidak lagi menjadi penonton, melainkan penggerak kemajuan.

Kisah di mana sebuah perusahaan asing tidak datang untuk mengambil, tapi datang untuk membangun bersama. Inilah waktu terbaik untuk bertindak. Karena sejarah bukan sekadar sesuatu yang diwariskan  tapi sesuatu yang bisa kita bentuk bersama. Dan jika kita punya peluang untuk membalik halaman lama, mengapa kita masih ragu untuk mulai menulis bab yang lebih adil? Dan hadih maja Aceh, "Buya Krueng teudong-dong, buya tamong meuraseki" (Buaya setempat gigit jari, buaya pendatang yang justru menikmati) tidak kita dengar lagi di masa depan. Semoga.

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved