Pojok Humam Hamid
COP Belem 2025: Hashim, Prabowo, dan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Tengah Aceh
organisasi sipil menyoroti bahwa inisiatif ini mensyaratkan minimal 20 persen dana dialokasikan langsung kepada Masyarakat Adat.
Dengan strategi ini, Hashim menjaga reputasi Indonesia di forum global tanpa mengabaikan kenyataan bahwa ekonomi nasional masih bergantung pada sektor kelapa sawit,energi fosil dan sektor industri besar.
Di tengah kritik tersebut, inisiatif presiden Prabowo Subianto di Aceh Tengah menonjol sebagai contoh langkah nyata.
Penyerahan lahan 90.000 hektar milik perusahaannya, untuk konservasi gajah di Aceh Tengah menjadi bukti komitmen Indonesia pada pelestarian keanekaragaman hayati.
Secara keseluruhan, langkah ini merupakan kontribusi nyata untuk perlindungan satwa langka dan ekosistem hutan tropis-Leuser- Sumatera.
Meski begitu, pertanyaan tentang mekanisme jangka panjang tetap muncul.
Bagaimana pengelolaan lahan akan berjalan, bagaimana konflik dengan penduduk lokal ditangani, dan bagaimana keberlanjutan finansial konservasi dijamin.
Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Tengah Aceh
Pemerintah Prabowo memiliki peluang untuk menjadikan hutan tropis Sumatera- dalam hal ini Ekosistem Leuser, sebagai “model keseimbangan” antara ekonomi nasional dan kepemimpinan iklim.
Strategi ini dapat menggabungkan perlindungan ketat, pemberdayaan masyarakat, ekonomi hijau, dan integrasi dengan pendanaan internasional untuk menjaga keanekaragaman hayati sekaligus memberikan nilai ekonomi nyata bagi Indonesia.
Salah satu strategi utama adalah pembangunan berkelanjutan di wilayah tengah Aceh yang mengedepankan prinsip ekoturisme, hortikultura dataran tinggi berkualitas, dan pengembangan hasil hutan non-kayu.
Di wilayah Tengah Aceh--Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara--, desa-desa di sekitar kawasan konservasi dapat dikelola sebagai kantong-kantong ekowisata.
Jalur edukasi satwa liar, homestay ramah lingkungan, dan pengalaman wisata berbasis komunitas memungkinkan wisatawan belajar tentang gajah, orang hutan, harimau, badak, hutan tropis, dan kehidupan masyarakat lokal.
Produk hortikultura premium dari dataran tinggi--seperti kopi Arabika, sayuran organik, rempah, dan buah-buahan tropis bernilai tinggi--dapat menjadi sumber pendapatan berkelanjutan bagi komunitas lokal.
Selain itu, hasil hutan non-kayu, termasuk madu, rotan, kapulaga, dan tanaman obat, dapat dikelola tanpa merusak pohon atau mengganggu ekosistem, memberikan insentif ekonomi yang selaras dengan konservasi.
Keterlibatan masyarakat lokal dan adat menjadi kunci keberhasilan model ini.
Melalui skema pembagian manfaat yang adil, pelatihan keterampilan, dan dukungan investasi hijau, pembangunan berkelanjutan di wilayah Tengah Aceh tidak hanya melindungi gajah, Orang Hutan, Badak, dan Harimau, dan keanekaragaman hayati lainnya, tetapi juga mengangkat ekonomi masyarakat.
pojok humam hamid
KTT Perubahan Iklim
energi fosil
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
berita aceh terkini
| Benny K Harman dan MoU Helsinki: Dari Empati ke Sinisme Sarkastik |
|
|---|
| Samudra Pasai dan Jalur Rempah: Pusat Dunia di Ujung Utara Sumatra - Bagian XVIII |
|
|---|
| Whoosh: Utang Politik, Utang Negara, dan Akal Sehat |
|
|---|
| Zohran Mamdani, Islamophobia, dan New York “Baru” |
|
|---|
| Samudera Pasai dalam Rihlah Ibnu Batutah, Catatan Sang Musafir dan Tafisran Orientalis – Bagian XVII |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Humam-Hamid-Rihlah-Ibnu-Batutah.jpg)