Pojok Humam Hamid
COP Belem 2025: Hashim, Prabowo, dan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Tengah Aceh
organisasi sipil menyoroti bahwa inisiatif ini mensyaratkan minimal 20 persen dana dialokasikan langsung kepada Masyarakat Adat.
Ia menekankan kesiapan Indonesia menjadi bagian dari kepemimpinan global dalam membangun dunia yang berketahanan iklim.
Secara diplomatis, pidato ini menunjukkan kepercayaan diri--sesuatu yang krusial ketika kekuatan besar seperti AS absen dari panggung.
Namun, pidato Hashim juga mendapat kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil.
NGO menyoroti pernyataannya bahwa pemerintah akan “mengurangi, bukan menghentikan” penggunaan batu bara, yang bertentangan dengan logika ilmiah untuk menghentikan batu bara jauh sebelum 2030 agar Indonesia bisa mencapai net zero 2060.
Mereka juga mengingatkan bahwa ekspansi biodiesel dan bioetanol sering memicu pembukaan hutan dan konflik agraria, terutama di Papua.
Karena itu lanjutnya, klaim pemerintah tentang transisi energi hijau harus dibaca dengan hati-hati.
Kritik lain ditujukan pada target energi terbarukan.
Hashim menegaskan Indonesia menargetkan 23 persen energi terbarukan pada 2030, sementara realisasinya sampai hari ini masih stagnan di sekitar 14 persen.
Visi Presiden Prabowo mencapai 100 persen energi terbarukan pada 2035 terdengar visioner, tetapi NGO menekankan bahwa hal ini belum didukung roadmap teknis, regulasi, atau investasi yang memadai.
Dalam bidang kehutanan, Hashim mempromosikan komitmen Indonesia menyumbang US$1 miliar untuk Tropical Forest Forever Facility (TFFF).
Namun organisasi sipil menyoroti bahwa inisiatif ini mensyaratkan minimal 20 persen dana dialokasikan langsung kepada Masyarakat Adat.
Baca juga: Masyarakat dan Ibu Rumah Tangga di Aceh Besar Diajak Jadi Agen Perubahan Iklim
Reputasi Indonesia di Forum Global
Di Belem, suka tak suka, peran Hashim Djojohadikusumo menjadi penting dan strategis.
Ia berupaya menunjukkan komitmen Indonesia terhadap agenda iklim global melalui diplomasi yang tegas di panggung COP30.
Namun ia juga tetap realistis menghadapi kebutuhan domestik dan pertumbuhan ekonomi.
Pendekatannya dapat dibandingkan dengan model Tiongkok: bersikap ambisius dalam mitigasi perubahan iklim, tetapi tetap mempertimbangkan pragmatisme ekonomi yang tak sepenuhnya sejalan dengan tuntutan ekstrim dari negara-negara Eropa atau tekanan NGO internasional.
pojok humam hamid
KTT Perubahan Iklim
energi fosil
humam hamid aceh
Serambi Indonesia
berita aceh terkini
| Benny K Harman dan MoU Helsinki: Dari Empati ke Sinisme Sarkastik |
|
|---|
| Samudra Pasai dan Jalur Rempah: Pusat Dunia di Ujung Utara Sumatra - Bagian XVIII |
|
|---|
| Whoosh: Utang Politik, Utang Negara, dan Akal Sehat |
|
|---|
| Zohran Mamdani, Islamophobia, dan New York “Baru” |
|
|---|
| Samudera Pasai dalam Rihlah Ibnu Batutah, Catatan Sang Musafir dan Tafisran Orientalis – Bagian XVII |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Humam-Hamid-Rihlah-Ibnu-Batutah.jpg)