Jurnalisme Warga
Menyibak Makna Seni Rapai
Rapai pada awalnya digunakan sebagai media dakwah Islam di Aceh. Bunyi rapai seringnya mengiringi lantunan zikir, selawat, syair keagamaan
Dalam konteks HUT Bireuen, rapai ditampilkan sebagai salah satu mata hiburan. Hal ini menggambarkan rasa syukur kepada Allah atas perjalanan panjang pembangunan dan kemajuan daerah berjuluk “Kota Juang” ini.
Selanjutnya, makna sosial, di mana pergelaran rapai melibatkan banyak orang: pemain, penari, pelatih, dan masyarakat yang menonton, ia menciptakan ruang interaksi sosial yang memperkuat kohesi dan solidaritas antarwarga.
Melalui kerja sama dan kekompakan dalam memainkan rapai, masyarakat diajarkan nilai-nilai gotong royong (meusyeraya), disiplin, dan saling menghargai.
Selain itu, dalam arus modernisasi yang cenderung mengikis nilai tradisional, rapai hadir sebagai simbol perlawanan budaya. Ia menjadi identitas khas Aceh yang membedakan masyarakatnya dari budaya lain.
Dengan menampilkan rapai dalam perayaan HUT, pemerintah daerah menunjukkan komitmen untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya lokal kepada generasi muda.
Adapun salah satu aspek menarik dari pergelaran rapai pada HUT Bireuen adalah keterlibatan generasi muda, termasuk pelajar. Hal ini memiliki makna penting dalam pendidikan karakter dan pewarisan nilai-nilai.
Rapai mengajarkan nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan kebersamaan. Setiap pemain harus selaras dengan ritme kelompok. Jika satu orang terlambat memukul gendang rapai, niscaya harmoni akan terganggu. Filosofi ini sejalan dengan nilai pendidikan karakter bahwa kesuksesan lahir dari kerja sama, ketekunan, dan rasa hormat terhadap aturan.
Selain itu, keterlibatan anak muda dalam pergelaran rapai juga menjadi langkah konkret dalam transfer budaya antargenerasi. Melalui latihan rutin dan penampilan di panggung, mereka belajar mencintai seni daerahnya sendiri dan menginternalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Analisis nilai
Pergelaran rapai bukan hanya peristiwa budaya, melainkan juga strategi pembangunan sosial. Melalui seni tradisional, masyarakat Bireuen menumbuhkan rasa bangga terhadap daerahnya dan memperkuat identitas kolektif.
Dari perspektif pembangunan, kegiatan budaya seperti ini memberikan dampak ekonomi, sosial, dan edukatif. Dampak ekonomi, yaitu melalui peningkatan sektor pariwisata lokal dan pemberdayaan pelaku seni. Dampak sosial, terciptanya harmoni, rasa saling menghargai, dan kerja sama lintas generasi.
Dampak edukatif, dapat dilihat melalui pelestarian nilai-nilai tradisional dalam sistem pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler.
Dengan demikian, pergelaran rapi menjadi bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan berbasis budaya lokal.
Dapat pula disimpulkan bahwa pergelaran rapai pada HUT Ke-26 Kabupaten Bireuen merupakan wujud nyata pelestarian dan revitalisasi budaya Aceh yang sarat makna spiritual, sosial, dan identitas.
Melalui bunyi rapai yang menggema, masyarakat Bireuen tidak hanya merayakan hari lahir daerahnya, tetapi juga meneguhkan jati diri mereka sebagai bagian dari peradaban Aceh yang religius, komunal, dan berakar kuat pada nilai-nilai tradisional.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Zubair-2025.jpg)