Jurnalisme Warga
Merindukan Cita Rasa Kuliner Aceh di Betawi
Lokasi yang dikunjungi, tokoh-tokoh yang ditemui, aktivitas yang dijalani, hingga kuliner yang dicicipi, semuanya masih terbayang-bayang

OLEH MELINDA RAHMAWATI, Mahasiswi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, mantan peserta Program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Kampus Universitas BBG Banda Aceh, melaporkan dari Jakarta
SUDAH hampir dua minggu saya kembali ke tanah kelahiran di Jakarta.
Kenangan mengenai segala hal yang saya lakukan selama tiga bulan di Aceh masih membayangi pikiran.
Lokasi yang dikunjungi, tokoh-tokoh yang ditemui, aktivitas yang dijalani, hingga kuliner yang dicicipi, semuanya masih terbayang-bayang.

Saya merasakan seolah raga ini belum membersamai saya di Jakarta ini, yang tiba di Jakarta pada 20 Januari lalu hanyalah tubuh saja.
Separuh hati dan pikiran masih tertinggal di Aceh.
Kerinduan semakin memuncak saat saya kembali membayangkan cita rasa kuliner khas Aceh yang saya cicipi.
Mengawali ingatan saya saat menginjakkan kaki di Serambi Mekkah ini, kuliner khas Aceh yang pertama kali saya cicipi adalah kuliner yang memang tergolong identik dengan Aceh, yakni mi.
Baca juga: Kuliner Aceh, Karya Cipta Budaya Terus Dipromosikan
Baca juga: Kemenparekraf Dorong Peningkatan Inovasi Sektor Kuliner Aceh, Sandiaga Uno: Kuliner Penunjang Wisata
Mi Cek Nawi yang berlokasi di Jalan Rama Setia, Lampaseh Kota, merupakan makanan khas Aceh yang saya kunjungi untuk pertama kali.
Sudah lumrah diketahui masyarakat Indonesia bahwa salah satu kuliner khas Aceh yang terkenal ke seantero negeri adalah mi Aceh.
Namun, baru saat saya tiba di kota asal kuliner ini saya mengetahui bahwa begitu banyak ragam mi Aceh ini.
Untuk hanya sebuah masakan mi saja, ragam hidangannya bervariasi seperti: mie caluk, mi dengan kuah asli (hanya dengan mencampurkan rempah-rempah), mi dengan ragam topping mulai dari tiram, cumi-cumi, udang, kepiting, telur, tuna, hiu, daging sapi, hingga daging rusa.
Semuanya tersedia.
Selama tiga bulan saya berada di Aceh, saya sudah mencicipi mi dengan kuah asli di Mi Cek Nawi, mi dengan topping tiram di Mangrove Coffee, Jalan Makam Syiah Kuala, Deah Raya, mi dengan topping daging rusa di Restoran Mie & Nasi Goreng Bardi yang berlokasi di Jalan Residen Danubroto, Lamlagang, dan mi steak di Restoran Gunung Salju yang berlokasi di Jalan Teuku Panglima Polem, Peunayong.
Lembutnya tiram, gurihnya daging rusa, hingga steak yang dijadikan topping dalam hidangan minya membuat saya sangat menikmati hidangan aneka mi tersebut.
Perburuan kuliner Aceh ini kemudian berlanjut pada satu hari saat di Pengurus Masjid Bani Salim, Lampaseh Kota, Bands Aceh, mengadakan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad saw.
Baca juga: Hikmah di Balik Corona, Nurzaitun Tulis Buku Pesona Kuliner Aceh Besar
Tradisi peringatan maulid nabi di Aceh selalu ditandai dengan satu hidangan khas yang tidak pernah terlewatkan, yakni kuah beulangong (kari kambing atau kari sapi).
Untuk pertama kalinya saya dan sebelas rekan turut serta dalam peringatan maulid gampong tersebut dan mencicipi kuliner khas ini.
Hal menarik dari hidangan kuah beulangong ini selain cita rasanya, adalah jumlah masakannya yang selalu dalam porsi besar.
Cukup untuk dimakan warga sekampung ditambah dengan undangan dari kampung tetangga.
Uniknya lagi, yang memasak hidangan ini selalu para lelaki secara bergotong royong.
Tak pernah terlihat kuah beulangong dimasak kaum hawa.
Hal ini membuat hidangan kuah beulangong semakin istimewa dan juga ikut disukai kaum perempuan.
Baca juga: Lezatnya Mie Udeueng Wat Khas Meunasah Geudong, Kuliner Aceh Perpaduan Cina dan India
Belum terhenti sampai di situ, rasa penasaran saya terhadap kuliner khas Aceh mengantarkan saya ke restoran Warung Bu Sie Itek Bireuen Ustaz Heri di Seutui, Banda Aceh.
Sebuah restoran yang menyediakan hidangan bebek yang khas dari daerah Bireuen.
Sebagai pecinta makanan olahan bebek, gulai bebek yang dihidangkan di warung besar ini sangat kaya akan rempah dan tekstur daging bebeknya yang tidak berbau/ amis.
Bumbu masakannya yang menggunakan kelapa sangrai (u neulhue) dan ini ada dijual di Tokopedia, benar-benar meresap ke dalam daging bebek tersebut.
Tak cukup satu potong saya nikmati gulai bebek dalam dua rasa ini: masak merah dan masak putih.
Apalagi ada sambal teri dan urap bunga katesnya.
Kemudian, berlanjut saya cicipi satu hidangan yang belum saya temukan di Jakarta dan membuat saya tambah penasaran, yakni ikan pari panggang di Rumah Makan Sempurna Rasa yang berlokasi di Lamcot, Darul Imarah, Aceh Besar.
Ketika dihidangkan saya mendapat bagian sirip dari ikan pari tersebut.
Baca juga: “Koetardja The Keude Kupi” Lengkapi Selera Kuliner Aceh di Jakarta
Betapa lembutnya daging dan tulang rawan ikan pari panggang ini.
Saat mengunyahnya seolah saya sedang makan daging kepiting.
Tekstur dagingnya yang tipis semakin membuat lidah saya bergoyang saat menikmatinya.
Satu lagi yang belum saya temukan di Jakarta, yakni hidangan daging ikan hiu.
Saya menemukan hidangan ini di Rumah Makan Trienggadeng yang berlokasi di Lamdingin, Kuta Alam, Banda Aceh.
Memang, rumah makan ini setahu saya menyediakan makanan khas Aceh, khususnya dari daerah Pidie.
Namun, saya tak menyangka ada hidangan daging ikan hiu juga di sana.
Jika dilihat, memang tampak seperti daging ikan pada umumnya.
Baca juga: Ragam Kuliner Aceh Selatan. Menikmati Kesegaran Jus Nipah di Tuan Tapa
Kita baru dapat mengenali bahwa hidangan tersebut daging hiu setelah kita cicipi tekstur dagingnya.
Bentuk dagingnya memang padat, akan tetapi ketika dipotong daging tersebut menjadi lembut.
Benar- benar saya seperti makan daging ikan pada umumnya.
Hingga akhirnya, hidangan yang saya cicipi sebelum kembali ke Jakarta adalah ayam Kayee Lheue di Rumah Makan Kak Ni yang berlokasi di Ateuk Mon Panah, Simpang Tiga, Kayee Lheue, Aceh Besar.
Hidangan ayam Kayee Lheue memang terlihat seperti ayam goreng biasa.
Namun, ayam di warung model 'jambo bak bineh blang' (pondok di tepi sawah) ini menggunakan ayam kampung asli yang masih dara dan dibaluri bumbu-bumbu, termasuk daun kari dan cabai hijau, yang memunculkan aroma sedap sebelum digoreng.
Kerenyahan ayam Kayee Lheue yang saya nikmati bersama dengan hijaunya hamparan sawah benarbenar terkenang di benak saya.
Apalagi bersantap nasi sambil meneguk air kelapa muda.
Baca juga: Aceh dalam Kenangan Gadis Betawi
Ingin rasanya saya ke sini lagi.
Tidak hanya cita rasa makanan yang saya cicipi selama satu bulan terakhir masa pertukaran mahasiswa di Aceh.
Ragam kudapan dan minuman segar pun sudah pernah saya cicipi, di antaranya: nira asli di Moorden Coffee, jus nipah di Luengbata dan dekat Blangpadang, kue timphan, kue adee Meureudu Kak Nah, kopi sanger, tahu goreng Pagar Air, dan yang tidak tertinggal adalah roti Samahani langsung dari daerah Samahaninya di Aceh Besar.
Segarnya ragam minuman tersebut dan lembutnya tekstur roti Samahani yang disirami selai serikaya masih membekas di lidah saya.
Sama seperti membekasnya di lidah sate D'Wan Luengbata.
Hingga saat ini, saya masih merindukan semua hal itu.
Walaupun sudah cukup banyak hidangan dan kudapan yang saya nikmati selama tiga bulan menjalani program Pertukaran Mahasiswa Merdeka di Aceh, tentu masih banyak hidangan dan kudapan lainnya yang belum saya cicipi.
Misalnya, satai gurita, bebek kuntilanak, ayam pramugari, ayam pilot, sie reuboh dan sie reuboh goreng, ayam tangkap, kanji rumbi, dan masih banyak lagi hidangan dan kudapan khas Aceh yang belum sempat saya cicipi.
Cita rasa masakan etnis Aceh tidak banyak berbeda dengan etnis Melayu.
Baca juga: Tips Memasak Sayur Asem Betawi, Cocok, Enak, dan Segar untuk Hidangan Akhir Pekan
Namun, cita rasa masakan etnis Aceh ini tetap memiliki perbedaan yang dapat dengan mudah dikenali.
Kelezatan yang khas inilah yang membuat saya tambah percaya pada klaim seorang teman asal Aceh bahwa rasa kuliner Aceh itu hanya ada dua, yakni enak dan enak sekali.
Hingga akhirnya saya pun kini merindukan cita rasa dan keragaman kuliner khas Aceh tersebut di Jakarta.
Di belantara Jakarta, entah di mana saya bisa dapatkan aneka kuliner penggugah selera ini. (rahmawati7@ gmail.com)
Baca juga: Kerjasama dengan Pedagang, RTA Aceh Utara Kembali Gelar Kajian Milenial di Wisata Kuliner Lhoksukon
Baca juga: Kerang Bulu Anak Laut Aceh Singkil Jadi Buruan Penikmat Kuliner