Kupi Beungoh

Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XVII) - Pax Americana, Kuala Batee, dan Ukraina

Banyak pertanyaan, bahkan pertanyaan besar ada apa dengan Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Israel sehingga tidak mau mengikuti AS?

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Jika itu adalah tanda awal yang diberikan oleh Fareed, namun perkembangan yang terjadi pada hari ini seperti yang diramalkannya tentang Cina juga telah menjadi kenyataaan.

Dalam beberapa tahun lagi Cina segera akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar dunia.

AS yang sudah menyatakan Cina sebagai rival strategisnya di masa depan dalam persaingan hegemoni global akan segera menghadapi Cina yang kuat secara ekonomi dan juga militer.

Keberanian dan perilaku Cina mengklaim sebagian besar wilayah laut Cina Selatan- termasuk wilayah Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei,dan Taiwan adalah model perilaku negara adi kuasa, layaknya perilaku AS dan Rusia hari ini.

Ketika AS dijuluki sebagai “polisi dunia”, maka yang dimaksud adalah keterlibatan AS di berbagai tempat untuk menjamin “tata dunia” yang menurut AS adalah universal, namun dalam banyak hal seringkali berasosiasi dengan “kepentingan” AS, baik dari segi kekuatan, pengaruh, dan kepentingan ekonomi. 

Tindakan yang dilakukan terhadap mendominasi tata dunia dan pergaulan internasional dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari yang sangat sopan dan lunak, keras, sangat keras, dan bahkan juga barbar.

Dalam kosa kata akademik, berbagai perilaku adikuasa AS itu ditulis dengan istilah soft power, smart power, dan hard power.

Baca juga: Polri Keluarkan Red Notice dan Berkordinasi untuk Buru Saifuddin Ibrahim di Amerika Serikat

Baca juga: Pejabat Intelijen Amerika Serikat Tak Percaya Roman Abramovich dan Dua Negosiator Ukraina Diracun

Baca juga: VIDEO Kota Minneapolis Amerika Izinkan Azan Berkumandang Mulai Ramadan 1443 H

Soft Power AS dan Sentuhannya di Aceh

Jika menerangkan hard power gampang dengan contoh perangkat perang, dan smart power dengan berbagai negosiasi yang juga dihubungkan dengan hard power, bagiamana dengan soft power?

Pascaperang dunia ke 2, cukup banyak elit negara berkembang yang melayani berbagai rezim adalah penerima beasiswa dan alumni berbagai universitas terkemuka di AS. 

Sebut saja istilah “Mafia Berkeley” di Indonesia yang merupakan penerima beasiswa AS yang belajar di Unversitas California, di Berkeley AS yang terkait dengan nama Prof Wijoyo Nitisostro cs.

Di Chile pada masa Pinochet ada kelompok Menteri Chicago Boys, atau dominannya alumni Universitas Chicago.

Cukup banyak alumni Harvard di kabinet Singapore sampai dengan hari ini.

Ketika disebut negera berkembang, yang bukan sekutu Uni Soviet, dan disebut  kata tehnokrat, hampir dipastikan, di situ banyak alumni unversitas terkenal AS yang mendapat beassiswa dari pemerintah atau berbagai yayasan AS.

Kita tidak tahu atas alasan apa Aceh juga kebagian politik murah hati AS?

Kampus di Aceh dan elit Aceh masa lalu juga kecipratan dengan sentuhan soft power AS.

Sentuhan soft power AS itu tidak ada di tempat lain di Indonesia sehebat di Aceh, baik dalam bidang pendidikan dan kiprah elitnya dalam pemerintahan.

Tidak ada kampus di Indonesia yang rektornya dijabat oleh alumni AS, sebanyak USK.

Majid Ibrahim, Ibrahim Hasan, Abdullah Ali, Ali Basyah Amin, Dayan Dawood, Abdi A.Wahab, dan Darni Daud, adalah lulusan universitas AS, dan mendapat beasiswa AS.

UIN Ar-Raniry juga kebagian dengan dua orang yang mendapat beasiswa dan belajar di AS, Safwan Idris, dan Yusny Saby.

Sebagian dari mereka kemudian berkiprah dengan menjadi gubernur, seperti Majid Ibrahim dan Ibrahim Hasan.

Alumni dan penerima beasiswa AS lain yang kemudian juga menjadi gubernur adalah Irwandi Yusuf dan Tarmizi Karim.

Uniknya semua mereka tidak menyandang status terburuk dari semua gubernur yang pernah ada, dan bahkan mereka sering berasosiasi dengan kemajuan, terlepas dari segala kelemahannya.  

Tidak luput dari ingatan masyarakat Aceh, kehadiran kapal induk USS Abraham Lincoln adalah kapal pertama yang berlabuh di perairan Aceh segera setelah tsunami 2004.

Masyarakat Aceh yang mendapat musibah ganda pada masa itu-konflik dan tsunami, segera merasakan betapa kepedihan yang dialami mendapat perhatian besar dari negara adi kuasa dunia.

Tidak kurang dari 600 missi terbang berbagai jenis helikopter yang pulang-pergi membawa masyarakat yang sakit dan cedera ke kapal Rumah Sakit Angkatan laut AS,USNS Mercy (T-AH 19) selama 6 minggu.

Cukup banyak bantuan material dan uang yang diberikan oleh AS pada masa itu.

Itu sisi baik, sopan, dan murah hati.

Bagaimana dengan praktik ekstrem di ujung lain dari perilaku AS dalam menjaga supremasinya?

AS tak segan memplot berbagai kudeta dan bahkan menggulingkan pemerintah sah di negara lain.

AS, yang juga kampiun demokrasi dan penganjur hak asası manusia cukup banyak mendukung, bahkan membela diktator dan penindas di berbagai negara, utamanya negara-berkembang mulai dari rezim Presiden Fulgencio Batista diktator Kuba (1958), rezim diktator Augusto Pinochet, di Chili pada tahun 70an, Park Chung He di Korea Selatan, Marcos di Filipina, dan cukup banyak yang lain untuk disebut satu per satu.

Saudi Arabia adalah contoh persyaratan HAM tak berlaku dari AS, karena kepentingan minyak.

Adakah contoh perlakuan barbar?

Serangan bom napalm dan berbagai jenis senjata kimia dalam perang Vietnam adalah contoh nyata sikap barbar AS dalam menjaga supremasinya, dan itu diakui oleh AS, dan bahkan dapat ditelusuri di berbagai “archive” perang Vietnam di AS hari ini.

Bagaimana dengan kasus perlakuan tawanan yang diduga berhubungan dengan Osama bin Laden dan dugaan jaringan teror islam radikal dalam perang Irak?

Kasus penyiksaan penjara di Guantanmo Bay, Kuba(2002) yang sampai hari ini masih menyisakan 39 tawanan adalah contoh praktek barbar dijalankan AS yang mendapat perhatian pejuang HAM internasional.

Apalagi perlakuan tawanan dengan berbagai jenis penyiksaan yang dilakukan di penjara Abu Gharib, sekitar 30 kilometer dari Baghdad.

Baca juga: China Manfaatkan Pandemi Virus Corona, Tantang AS Sebagai Adikuasa, Klaim Wilayah Terus Meluas

Baca juga: China Punya Misi Menjadi Negara Adikuasa Penakluk Luar Angkasa

Sifat Utama Negara Adi Kuasa

Beragam perilaku dari sopan, murah hati, baik budi, bersahabat , sampai dengan memerangi, brutal, sadis, dan bahkan barbar dalam sejarahnya adalah sifat utama negara adi kuasa, paling kurang dari contoh adikuasa Romawi pada abad awal Masehi, dan Inggris pada abad ke 18 dan 19.

Dalam menguasai Inggris misalnya Romawi menciptakan ketakutan publik dan kawasan lain dengan kelakuan kekejaman tak terhingga kepada kerajaan Celtic.

Sejarah mencatat, pada tahun 60 Masehi, ketika Romawi diperintah oleh Nero, pasukan Romawi memperkosa dua anak raja, dan mencambuk Ratu Baodica di Cholsester, di depan umum.

Kekejaman Pax Britanica-Inggris cukup banyak yang berurusan dengan perang, panangkapan, penyiksaan, dan bahkan pemerkosaan di berbagai tanah jajahannya.

Di samping keuntungan mengurangi perang, perlakuan sewenang-wenang kepada pribumi jajahan juga mengirim pesan kepada berbagai pribumi tanah jajahan lain terhadap apa yang dialami kalau ada pemberontakan.

Perlakuan terhadap perlawanan suku mau Mau di Kenya.

Kejadian yang terjadi pada tahun 1952 itu diceritakan dengan cukup baik oleh sejarawan India, Sunil Khanai (New Yorker 2022), penuh tidak hanya dengan pemerkosaan dan penyiksaan, akan tetapi juga dengan penghilangan paksa, oleh negara yang mengklaim dirinya sebagai pelaku demokrasi, bahkan pada saat itu sekalipun.

Apa yang ingin dicapai dengan berbagai tindakan yang sangat panjang daftarnya, namun sangat bertemali dengan kepentingan keamanan dan stabilitas, pengaruh, dan kepentingan ekonomi.

Frekwensi intervensi AS setelah menjadi adikuasa unipolar pasca hancurnya Uni Soviet yang terus bertambah secara sangat signifikan untuk menjaga hegemoninya.

Kepercayaan diri AS sangat tinggi terhadap kemampuan dirinya, karena semenjak abad ke 20 telah mengalahkan paling kurang 4 kekuatan terhebat dan terkuat di dunia.

Pertama, AS “memaksa” Inggris untuk melepas hegemoninya secara damai, karena hampir kalah dengan Jerman dalam Perang Dunia I, dan yang kedua adalah mengalahkan negara terkuat dan terhebat di Eropa, Jerman di bawah Maha Raja Wilhelm II pada perang Dunia I.

Setelah itu pada Perang Dunia I mengalahkan dan membuat Jepang bertekuk lutut.

Setelah memaksa Uni Soviet dengan berbagai “marathon” persenjataan dan pergumulan “wilayah pengaruh”, akhirnya AS mengalahkan Rusia dengan perang ekonomi yang membuat negara itu bubar, yang kemudian dilanjutkan dengan dominasi AS dalam panggung global sampai hari ini.

Hampir tidak ada tempat di dunia yang alpa dari campur tangan AS, baik karena persaingan kawasan, wilayah pengaruh, maupun kepentingan ekonomi.

Bermula dari doktrin Monroe-presiden AS ke lima, tahun 1823 yang mengusir semua kekuatan Eropa dari benua Amerika, AS kemudian mengintervensi hampir semua negara Amerika Latin untuk kepentingan ideologis dan ekonominya.

Perilaku mengurus Amerika Latin dalam perkembangannya juga diperluas oleh AS ke berbagai dunia lain, Eropa, Asia, Timur Tengah, sampai ke Ukraina hari ini. 

Sejarah Perang Amerika di Aceh

Statistik intervensi AS seperti yang dikutip oleh Monica Toft (2017) di berbagai tempat di dunia mulai dicatat semenjak awal abad ke 19.

Jumah terbanyak adalah antara tahun 2000-2017, yakni 126 kali, 111 kali antara tahun 1950-1999, 69 kali antara tahun 1900-1949, 47 kali antara tahun 1850-1899.

Jumlah angka intervensi terendah adalah antara tahun 1800-1899.

Uniknya pada periode ini, Aceh mendapat “kehormatan” menghadapi dua kali intervensi AS, terhadap dua kerajaan kecil di “kawasan Barsela”.

Kerajaan itu adalah Kuala Batee- kabupaten Abdya dan Meukek-kabupaten Aceh Selatan pada awal abad ke 19.

Pasalnya? Aceh dituduh curang dalam perdagangan lada, dan membunuh warga AS pada masa itu (Farish A.Noor 2014)

Kerajaan Kuala Batee yang dipimpin oleh Po Muhammad mendapat serangan  kapal perang Potomac AS pada  minggu pertama April 1832, dengan kekuatan 286 marinir berperang melawan sekitar 500 tentara Aceh.

Bombardemen Kuala Batee oleh tentara AS yang sangat terlatih, dan teknologi perang yang canggih pada masa itu menewaskan 150 orang tentara Kuala Batee dan 300 orang sipil.

Berikutnya, 3 perahu ditenggelamkan, pelabuhan dirusak, dan pemukiman dekat pesisir rata dengan tanah.

Dari pihak AS, dua orang marinir tewas.

Jika intervensi pertama yang dipimpin oleh Commodore-Laksamana Pertama, Jhohn Downes menggunakan kapal perang Potomac, maka intervensi kedua AS dipimpin oleh Commodore George C. Read pada tahun 1939, dengan marinir lebih dari 700 orang dan dua kapal, Columbia dan John Adam.

Penyerangan kali ini menuntut balas terhadap pembunuhan beberapa warga dan pelaut AS, di kapal dagang AS, Eclipse pada tahun 1938.

Intervensi ini sama dengan pengulangan kasus terbunuhnya pelaut AS dalam kasus kapal dagang AS, Friendship yang sedang membeli lada di Kuala Batee pada tahun 1831.

BACA: Mengenal USS Potomac, Kapal Perang Amerika yang Membombardir Kuala Batu di Aceh Barat Daya

BACA JUGA: Jejak Aceh di Segel Dagang Kota Salem, Amerika Serikat

Berita lainnya terkait intervensi AS di Kuala Batee baca di SINI 

Tenggelam di Ukraina?

Dengan gambaran petualangan AS seperti, mulai dari mengusir negara-negara Eropa- Spanyol, Perancis dan Inggris dari benua Amerika, menyerang negara besar dan kerajaan kerajaan kecil seperti Kuala Batee untuk kepentingan ekonominya - 50 tahun monopoli lada pantai barat Aceh dengan 197 kapal yang berjumlah jutaan kilogram lada, ke Kota Salem, Masssachuset, AS,  mengurus negara nakal dan jahat  seperti Jerman, Italia, dan Jepang dalam Perang Dunia II, membendung komunisme dan membuat sumber komunisme hancur lebur, memerangi Osama bin Laden, menduduki Afghanistan dan Irak, membiarkan dan bahkan kadang membantu Israel bertindak sesuka hati, akankah AS berkurang untuk kemudian tak lagi berperan dalam panggung global?

Kira-kira gambaran skenario bagimana keterlibatan tak langsung atau mungkin langsung dalam konflik Ukraina akan membuatnya tenggelam?

Putaran pertama konflik Ukraina, AS dan sekutunya berada di atas angin yang ditunjukan dengan kekompakan sekutunya NATO di Eropa, minus Turki.

Jangan-jangan Turki memang sengaja dibiarkan untuk menjadi jembatan diplomatik dengan Rusia.

Tidak ada yang tahu, karena selama ini Putin juga cukup banyak memperdayai AS.

Jika Ukraina jatuh ke tangan Rusia, maka babak selanjutnya akan sangat menentukan bagi keamanan Eropa yang merupakan salah satu pilar kekuatan AS yang sangat vital di belahan Samudera Atlantik.

Sementara itu di sebelah dunia lain, di Samudra Pasifik telah menunggu naga Raksasa Cina yang kekuatannya sangat jauh berbeda dengan Rusia.

AS kini mungkin menghadapi periode yang paling menentukan untuk keberlanjutan hegemoninya di masa depan.

Berbeda dengan hegemoni AS pada masa lalu yang menghadapi kekeuatan satu atau dua negara- Uni Soviet/Rusia, dan Cina, hari ini kekuatan itu telah tersebar ke beberapa negara yang kepentingan nasionalnya tidak selamanya paralel dengan AS.

Istilah Pax Americana sericngkali dikaitkan dengan Pax Romana, dan Pax Britanica. 

Istilah itu dikaitkan dengan periode dominasi Kerajaan Romawi selama 200 tahun pada awal Masehi, kehebatan Inggris pada awal abad ke 18 dan 19, dan munculnya dominasi global AS pada abad ke 20.

Istilah Pax yang secara harfiahnya adalah damai itu dialamatkan kepada supremasi Romawi, Inggris pada  masanya, dan juga AS untuk menciptakan suasana damai pada wilayah pengaruhnya, atau bahkan dunia secara umum, terutama untuk kepentingannya yang kadang kala sesuai atau berlawanan dengan kepentingan negara-negara lain.

Kata damai itu tidak berjalan sendiri, karena dengan damailah terjadi kemajuan dan pertumbuman ekonomi, karena memang kekuatan besar tidak berperang.

Romawi makmur dan maju selama 200 tahun yang meninggalkan “fosilnya” untuk menjadi benih renaisanse Eropa pada abad ke 18.

Pax Britanica memberikan kemakmuran kepada Inggris dan peninggalan tata pemerintahan, kelembagaan kepada negara jajahan, walaupun dengan cukup banyak darah dan kekejaman, dan Pax Americana yang “membebaskan” cukup banyak, sekaligus “mencengkeram”  tidak sedikit,  berbagai tempat di dunia.

Tidak ada bantahan bahwa keamanan dunia pasca Perang Dunia kedua  sampai hari tidak terlepas dari “payung keamanan global” yang membuat banyak negara, bahkan Cina sekalipun, terutama negara-negara kawasan Asia Pasifik menikmati pertiumbuhan ekonomi yang luar biasa.

Dan itu atas jasa Pax Americana.

Tidak dapat dibantah pula Pax Americana pula sebagai sumber masalah besar, mulai dari penindasan terhadap rakyat Palestina, obrak-abrik Irak, pelabelan Islam radikal dan teroris Islam internasional, dan pemberian definisi berbagai narasi “penting" dan “tidak” penting untuk keberlanjutan tatanan masyarakat global.

Kini Pax Americana berada dalam pertarungan baru di Ukraina.

Akankah kali ini ia tenggelam.

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved