Opini
Mengkritisi Kurikulum Merdeka
Terutama bagi mereka yang kemarin mencermati berbagai masalah yang kita kritisi pasca pemberlakuan Kurikulum Prototipe, yang kita kenal sekarang

Kurikulum Merdeka Masih harus dibuktikan oleh waktu untuk menjawab banyak pertanyaan.
Terutama ketika kita kaitkan dengan kesalahan sistematis yang sudah kita lakukan sejauh ini.
Pemaksaan penjurusan IPA-IPS-pengabaian minat-bakat, Ujian Nasional sebagai pengukur kelulusanyang artinya basisnya nilai sebagai pengukur kualitas.
Dampaknya Mentalitas rendah dalam memasuki fase perguruan tinggi, kebingungan memilih jurusan, apa sebenarnya minatnya-atau lebih tepatnya, mereka berpikir pragmatis, memilih apa yang dibutuhkan dunia kerja agar paska kuliah tak menambah panjang deretan daftar pengangguran.
Sehingga mengabaikan kemampuan sebenarnya.
Mungkin sekedar contoh, meski tak dapat dijustifikasi sepenuhnya, keberadaan guru-guru di sekolah saat ini, meski dengan kemampuan pedagogik yang mumpuni, tapi kemampuan psikologi-nya, bukan di bentuk dari core-inti, sejak awal bahwa, “ia memang ditakdirkan” jadi guru.
Maka kekerasan verbalfisik, menjadi pemandangan jamak terjadi, dan dilakukan oleh para guru-padahal filosofi bijaknya bersandar pada; Ing Ngarsa Sing Tulada, Ing Madya Bangun Karsa, Tut Wuri Handayani.
Salah satunya, karena orientasi dorongan kebutuhan ekonomisyang dipikirkan pasca keluar dari sekolah menengah.
Ini yang dimaksudkan banyak orang sebagai kelemahanbelum matangnya mentalitas ketika memasuki dunia perguruan tinggi, plus bursa kerja nantinya.
Harapan kita dengan Kurikulum Merdeka, fleksibilitas murid memilih jurusan, skema pembelajaran dengan fase-fase akan lebih memungkinkan anakanak belajar lebih mendalam pada materi yang menjadi minatnya.
Bahkan penyediaan referensi bagi para guru yang user friendly dalam mengakses bahan, termasuk penyediaan materi dalam format flashdisk, adalah cara kita memudahkan kerja para guru.
Sekaligus merubah orientasi para guru dalam praktik mengajarnya.
Terutama jika mereka tak mau menjadi gagap teknolog (Gaptek) dan melahirkan murid yang Gugup Sosial (Gupsos).
Mau tidak mau, para guru juga pasti akan mengubah orientasi cara, sistem dan metode pembelajarannya menjadi lebih interaktif.
Mengubah metode konvensional, dengan metode Prolem Based Learning-pengajaran berbasis masalah.
Agar murid lebih kritis, aktif menunjukkan kemampuan bawah sadarnya yang selama ini tertidur pulas dan cenderung mem-bebek! Di era Romo Mangun Wijaya, anak-anak sejak di bangku sekolah dasar, di awal pembelajaran diminta menceritakan sekilas, apa saja aktivitas yang dilakukan di rumah.
Tujuannya sederhana, membiasakan anakanak mengemukakan gagasan.
Tak sungkan menunjuk tangan dan bertanya.
Dan menunjukkan bahwa interaksi guru-murid itu adalah wujud kepedulian.
Ini mata rantai yang telah lama putus dalam dunia sekolah kita.
Hasilnya, anak-anak penakut bertanya, pertanyaan sederhana dianggap bodoh, dan anak terlalu banyak bertanya dianggap tak serius memperhatikan pelajaran ketika diterangkan.
Jadi kita lihat, apakah pilihan-pilihan kita ber-Kurikulum Merdeka, sungguh-sungguh bisa “memerdekakan” pikiran dan mindset kita? Biarlah waktu yang akan membuktikan.
Baca juga: Unimal Terapkan Kurikulum Merdeka, Mahasiswa Bebas Belajar di Luar Kampus, Begini Proses Kuliahnya
Baca juga: Dosen STKIP Bina Bangsa Getsempena Bahas Kurikulum Merdeka