Kupi Beungoh
Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari Klasik Hingga Kontemporer
Di Aceh dan Papua, penunjukan aparat keamanan menjadi pejabat pemerintahan seringkali disoroti dengan menggunakan perspektif “kawasan konflik”
Van Heustz juga tercatat dalam sejarah militer Belanda sebagai jenderal pertama yang mendesign dan menggunakan satuan operasi khusus- pasukan elit, “marchouse,” yang mencari dan mengejar petempur Aceh ke pelosok hutan belantara dan pergunungan terpencil.
Baca juga: Haji Uma Tinjau Tanah Bersurat Era Kolonial Belanda yang Disengketakan Orang Lain
Praktis pada masa Van Heutsz, Aceh lebih dapat “diperintah”, terutama dengan dilancarkannya politik pasifikasi yang lebih ditujukan baik untuk peningkatan pendapatan Belanda maupun untuk kemakmuran pribumi.
Terbukti sejumlah infrastruktur penting dan inisiatif penanaman modal asing dimulai ketika Van Heustz berkuasa.
Abu Beureueh, Syamaun Gaharu, Hingga Hasan Saleh
Tidak banyak yang terjadi dengan kepemimpinan militer pada ujung penjajahan Belanda dan perang dunia ke II, berikut dengan kemerdekaan Republik Indonesia.
Aceh kembali mendapat pemimpin militer, ketika pemimpin pejuang Aceh melawan Belanda, Tgk. Muhammad Daud Beureueh “ditentarakan” oleh pemerintah pusat menjadi gubernur militer dengan cakupan wilayah, Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.
Menjabat sekitar satu setengah tahun, Beureueh yang kecewa dengan pemerintah pusat, karena membubarkan provinsi Aceh menjadi bagian dari provinsi Sumatera Utara, ia memimpin pemberotakan DI/TII pada tahun 1953.
Tak lama setelah pemberontakan DI/TII, Sukarno “mengakui” kesalahannya dengan mengembalikan status provinsi untuk Aceh dengan gubernur Ali Hasymi.
Pemberontakan DI/TII berada pada sebuah status yang tidak menentu antara tetap melanjutkan pemberontakan atau mencari solusi yang lebih kreatif untuk mendapakan sebuah “end game”- yang bermartabat untuk kedua belah pihak.
Baca juga: Ulama Aceh Jaya Ajak Masyarakat Dukung dan Beri Masukan Pj Gubernur Aceh
Di samping kepemimpinan sipil Ali Hasymi yang mengurus pemerintahan adalah dua manusia Aceh yang berseberangan, namun mereka adalah dua tentara yang sangat berjasa dalam mencari solusi itu.
Kedua mereka adalah Syamaun Gaharu, penguasa militer dari pihak pemerintah pusat, dan yang kedua adalah Hasan Saleh, panglima perang DI/TII yang juga berstatus Tentara Nasional Indonesia desersi.
Gaharu yang mendapat mandat penuh dari pemerintah pusat untuk mencari solusi kreatif dengan tetap menjaga Aceh tetap dalam pangkuan NKRI, bertemu dengan Hasan Saleh dengan tim “Dewan Revolusi” nya yang makar terhadap kepemimpinan DI/TII.
Namun keunikan Hasan Saleh, ia tetap konsisten dengan martabat Aceh, dan juga teguh dengan NKRI.
Kristalisasi dari dua arus yang mereka wakili akhirnya melahirkan pemberian status Provinsi Daerah Istimewa Aceh oleh pemerintah pusat, terutama dalam hal agama, pendidikan, dan adat istiadat.
Pemberontakan Aceh akhirnya berhenti dengan kepiawaian Jenderal M. Yasin “mengalah” dan membujuk Tgk. Muhammmad Daud Beureueh untuk turun gunung.
Upaya itu berhasil, dan sekalipun Jenderal Yassin, bukan gubernur penguasa daerah, dengan status daerah perang pada saat ia menjabat panglima, ia sangat layak dimasukkan dalam sebagai mata rantai penting dalam kepemimpinan militer di Aceh.
Era Nyak Adam Kamil Hingga Muzakir Walad
Tidak banyak yang terjadi dalam tahun-tahun berikutnya, kecuali penunjukan dua orang pejabat gubernur yang berlatar belakang militer, Nyak Adam Kamil, dan Hasbi Wahidi.
Kepemimpinan mereka kemudian dianjutkan oleh overstee- Letkol A. Muzakir Walad yang menjadi gubernur definitif dan menjabat selama 2 periode.
Walaupun Muzakir hanya berpangkat Letkol CPM, tetapi ia adalah seorang gubernur yang sangat mampu membawa Aceh keluar dari kemelut.
Pekerja sekaligus pembelajar keras, Walad, walaupun awalnya dianggap “tidak pandai”.
Baca juga: VIDEO - Wawancara Ekslusif dengan Sofyan Dawood Usai Semobil Dengan PJ Gubernur Aceh
Dalam perjalanan karirnya kemudian, ia “sangat pandai” memilih “orang pandai” dan setia bekerja untuknya dalam membangun Aceh.
Sekalipun ketika ia menjabat pangkatnya hanya Letnan Kolonel, ketika ia menjalankan tugasnya, termasuk mengakhirinya, banyak petinggi dan pengamat luar negeri menganggap Walad adalah seorang Jenderal yang sukses.
Nihil di Orde Baru, Hingga Achmad Marzuki yang Dapat Dukungan Politis
Pasca-Muzakir Walad, terutama dalam era Ore Baru Suharto tidak ada gubernur atau pejabat gubernur yang berlatar belakang militer.
Hal itu berubah pada tahun 2015, ketika Mendagri Cahyo Kumulo menunjuk Jendral Sudarmo menjadi pejabat gubernur selama enam bulan, sampai dengan gubernur Irwandi Yusuf dilantik.
Ada sejumlah Panglima Kodam I yang berprestasi yang walaupun bukan Aceh “by blood”, namun telah menjadi orang Aceh “by heart” yang berkeinginan untuk menjadi gubernur.
Keinginan itu oleh pak Harto- gubernur pada masa Orde Baru di seluruh Indonesia, walaupun dipilih oleh DPRD, tetap saja indidvidu yang disetujui Suharto,- tidak pernah menyetujuinya.
Dari beberapa Pangdam, yang beraspirasi menjadi gubernur Aceh, dua orang yang sangat terkenal adalah Jendral Aang Kuneifi dan Rivai Harahap, yang bahkan kedua mereka tetap saja merasa dan dianggap sebagai orang Aceh sampai akhir hayat.
Baca juga: Silaturahmi Danrindam IM ke Serambi Indonesia, Kodam IM Ingin Remaja Aceh Banyak yang Lulus TNI
Kunaifi bahkan kemudian dipilih oleh pak Harto menjadi gubernur Jawa Barat yang sangat berhasil, dan tercatat dalam sejarah provinsi itu.
Apa yang membuat Jendral Marzuki berbeda, yang kali ini menjadi Pejabat Gubernur Aceh adalah, sekalipun ia berstatus penjabat, namun mengingat masa tugasnya yang lebih dari seribu hari, maka de facto ia adalah Gubernur Aceh.
Hal lain yang juga membuat Marzuki berbeda adalah dukungan politis dari daerah.
Salah satu alasan kuat pengangkatannya oleh Presiden Jokowi adalah dukungan dan rekomendasi yang diberikan oleh DPRA.
Jenderal Marzuki dengan demikian, merupakan mantan Pangdam Iskandar Muda pertama yang berstatus sebagai pemimpin pemerintahan tertinggi di Aceh.
Secara hukum, Pejabat Gubenur Marzuki memperoleh legitimasi, dan bahkan kuat secara politik.
Legitimasi selanjutnya sangat tergantung kepada kemampuannya menavigasi pemerintahan dan pembangunan Aceh yang mempunyai tantangan khusus dan tersendiri pula.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI