Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu

Di Istana Topkapi ada surat Sultan Aceh Alaiddin Riayat Syah, yang tersimpan dengan baik, kepada penguasa Ottoman pada masanya, Sultan Sulaiman Agung

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/Handover
Ahmad Human Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Alaiddin dengan cepat melakukan “kapitalisasi” kejatuhan Melaka untuk kemajuan Aceh, sebagai pusat perdagangan kawasan.

Ia tidak saja berperang melawan Portugis sampai tiga, bahkan empat kali, tetapi juga memainkan “truf aliansi” dengan kerajaan Islam kawasan yang juga tidak senang dan terganggu dengan kedatangan Portugis di Asia.

Alaiddin sangat pandai memainkan semangat solidaritas kerajaan Islam dalam memerangi Portugis.

Vince Arthur Smith (1978), akademisi, sejarawan, dan orientalist Universitas Oxford tahun dua puluhan mencatat langkah spektakuler Alaiddin dalam menghadapi Portugis terjadi ketika ia mengempur Malaka pada tahun 1570.

Ia membujuk 4 kerajaan Islam India Selatan yang saling bermusuhan; Bijapur, Golconda, Bidar, dan Ahmadnagar untuk menyerang Portugis di India pada saat yang sama.

Alidin mampu membujuk keempat kerajaan itu untuk mengenyampingkan perbedaan mereka.

Sejarah mencatat Portugis mengalami tekanan terdasyhat dari kekuatan Islam di Samudra Hindia dalam sejarah.

Alaidin mendemonstrasikan bahwa Aceh tahu siapa dirinya, dan juga tahu dengan baik siapa lawannya.

Sejarah mencatat pula kehebatan Alaidin ketika ia mengambil inisiatif bersekutu, bahkan ingin menjadikan Aceh sebagai bagian dari persemakmuran Ottoman, Turki.

Hubungan Aceh dengan Turki di bawah Alaiddin berkelanjutan, dan bahkan dalam beberapa waktu tetentu sangat krusial, seperti ketika perang dengan kerajaan Batak, Aru, dan bahkan dengan Portugis sekalipun.

Puncak aliansi itu terjadi pada tahun 1566, Alaidin mengirim utusan Aceh ke Turki, membawa surat kepada raja Sulaiman Agung yang saat itu sedang berperang di Szgetvar, Hunggaria.

Surat itu berjudul “Surat dari Sultan Aceh kepada Sultan Sulaiman.”

Sulaiman yang wafat pada tahun itu digantikan oleh anaknya Selim II yang memberi perhatian cukup besar untuk Aceh.

Permintaan Alaidin untuk kuda, ahli meriam, dan ahli pembuat istana direspons dengan baik oleh Selim II.

Raja itu bahkan mengirim 15 kapal perangnya, dengan tambahan 2 kapal besar ke Aceh.

Tentara, senjata, berikut dengan pakar senjata dikirim ke Aceh di bawah pimpinan Laksamana Kortuglu Herzeir Reis (Goksoy 2007).

Sayangnya ketika perisapan keberangkatan itu sedang dilakukan, terjadi pemberontakan di kawasan kekuasaan Ottoman, tepatnya di Yaman dan di Cyprus, yang membuat pasukan Laksamana Korduglu dialihkan ke Yaman.

Perang di Yaman yang berlangsung beberapa tahun, menyebabkan pengirman itu terganggu.

Perhatian Turki untuk Aceh tetap saja diberikan oleh Selim II kepada Aceh, walaupun tidak lagi melalui Laksamana Korduglu.

Baca juga: Nova Ceritakan Relasi Aceh-Turki di Masa Lalu, Diharapkan Jadi Penguat Kerja Sama Masa Kini

Fondasi besar yang diberikan oleh Mughayatsyah kepada Aceh, di bawah kepemimpinan putranya, Alaidin Riayatsyah semakin diperkokoh dan digdaya.

Sekalipun ia tidak berhasil mengusir Portugis dari Melaka, namun sepak terjangnya telah membuat Aceh menjadi kerajaan yang diperhitungkan di jagad Nusantara, bahkan melebar sampai ke India, Timur Tengah, sampai ke Ottoman Turki.

Banda Aceh, yang di dalam banyak catatan pedagang dan pengunjung pada masa itu ditulis dengan kata “Bandar Aceh” benar-benar menjadi sebuah kota kosmopolit yang dikunjungi berbagai bangsa yang umumnya adalah pedagang.

Alaidin bahkan mampu membangun jalur alternatif perdagangan lada melalui kepulauan Maldive ke pelabuhan Laut Merah untuk diteruskan ke pasar Eropa.

Aceh memasuki periode awal negara kota-city state yang lebih konkrit yang ditandai dengan keamanan, ketertiban, dan toleransi.

Suasana itu sangat terasa, karena durasi tinggalnya berbagai pedagang asing pada masa itu berlangsung lama.

Kapal yang sepenuhnya menggunakan tenaga angin, harus menunggu pergantian angin musim di Samudera Hindia.

Seperti diketahui angin Monsoon bertiup dari timur ke barat dan sebaliknya terjadi setiap enam bulan sekali.

Kegiatan pusat perdagangan Bandar Aceh ke Eropa, bahkan ke Cina, kemudian mulai menggantikan pelabuhan Daya, Pidie, dan Pasai.

Kedigdayaan ekonomi Aceh yang dicapai oleh Alaidin terbukti lagi dengan instrumen moneter kerajaan dalam bentuk uang emas dirham (Lombard 1991).

Uniknya, jika moneter internasional abad ke 20 dikaitkan dengan kekuatan bank sentral AS- Federal Reserve, dengan mata uang dolar, Alaidin punya cara sendiri untuk uang dirham emas Aceh itu.

Pada sisi uang emas dirham Aceh itu dituliskan nama Alaidin Riayatsyah berdampingan dengan nama Sultan Sulaiman Agung dari Ottoman Turki.

Uang itu mempunyai nilai dan juga memberitahu siapa Aceh kepada penggunanya.

Baca juga: Melihat Jejak Turki di Serambi Mekkah,  Ketika Ratusan Tentara Ottoman Menikahi Gadis Aceh

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel Kupi Beungoh Lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved