Kupi Beungoh

Aceh dan Kepemimpinan Militer (XV) - Daud Beureueh: Ulama, Mayor Jenderal, dan Gubernur Militer

Perlawanan PUSA menghadapi agresi Belanda ke Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh

Editor: Amirullah
SERAMBINEWS.COM/Handover
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

Kalaulah judul tulisan ini dibaca secara cepat tanpa tahu dan menghayati sejarah perjuangan kemerdekaan, asosiasi tiga kata, ulama, pangkat kemiliteran, dan gubernur militer, tidak hanya bernada janggal dan lucu, akan tetapi juga terkesan mengada-ngada dan provokatif.

Namun fakta sejarah resmi, dan juga catatan dan tulisan dari berbagai sumber menunjukkan itulah realitas yang berasosiasi dengan Tgk. Muhammad Daud Bereueh, seorang ulama sederhana yang berasal dari Pidie.

Apa yang membuat asosiasi itu terjadi sesungguhnya tidak lepas dari sejarah panjang Aceh yang tak pernah berhenti melawan Belanda.

Perang yang dimulai semenjak ekspedisi 1873 sampai dengan tahun-tahun terakhir Belanda, kemudian digantikan oleh kedatangan Jepang pada tahun 1942, adalah sebuah pergumulan yang tak pernah berhenti.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (I) - Dari  Klasik Hingga Kontemporer

Dalam periode itu, thesis penjajahan yang berhadapan dengan antithesisnya tak pernah berhenti dari satu generasi ke generasi berikutnya di Aceh.

Sebagian kecil masyarakat Aceh terbawa dalam arus thesis penjajahan Belanda, baik dengan menjadi kaki tangan Belanda, simpatisan, atau kelompok yang diuntungkan dengan penjajahan Belanda di Aceh.

Sebaliknya, bagian terbesar masyarakat Aceh berada pada posisi antithesis, dengan kadar yang beragam, dari yang sangat terbuka dan revolusioner, sampai kepada yang pasif, namun diam-diam mendukung perjuangan mengusir Belanda dari tanah Aceh.

Pendiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh

Apa yang membuat Beureueh, seorang ulama sederhana yang tak tahu, apalagi terlatih secara militer, dan tak tahu, apalagi mempunyai pengetahuan dan pengalaman pemerintahan, menjadi seorang Mayor Jenderal dan bahkan Gubernur Militer, adalah sesuatu yang membuat tanda tanya besar.

Jawaban yang ada hanya satu, karena ia berada di “titik inti” pusaran antithesis penjajahan Belanda dan Jepang di Aceh.

Keberadaannya cukup unik, terutama karena berbagai gagasan pembaharuan yang dilancarkannya melalui sebuah organisasi yang disegani, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang didirikan pada tahun 1939.

Di organisasi ini ia mempunyai jabatan sebagai pemimpin.

Lebih lanjut PUSA tidak hanya berurusan membawa pembaharuan, tetapi juga berwajah lebih luas yang mencakup agama, pendidikan dan sosial dengan sifat utamanya antipenjajahan.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (II) - Ali Mughayatsyah dan Efek Pygmalion

Para ulama yang bergabung ke dalam PUSA umumnya adalah ulama reformis yang melalui satu dua orang telah tersambung pandangan dan ide dengan gerakan pan Islam yang telah lahir dan menyebar di Mesir dan kawasan Timur Tengah.

Para elit PUSA semakin mampu melihat Islam sebuah sebuah kekuatan besar yang mesti bersatu.

Seperti yang dicatat oleh Umar dan Al-Chaidar (2006) PUSA kemudian bergabung dengan organisasi nasional Majlis Islam A’la Indonesia MIAI yang merupakan sebuah perkumpuln besar perjuangan ummat Islam untuk meraih cita-cita kemerdekaan.

Menjelang Perang Dunia II, disamping unsur-unsur lain yang ada di Aceh, PUSA juga sangat aktif berhubungan dengan Jepang, dan berada pada posisi paling depan dalam mengusir Belanda keluar dari Aceh.

Sejumlah peristiwa perlawanan dan pembunuhan terhadap sipil dan militer Belanda di Aceh ketika Jepang akan masuk, umumnya terkait, baik secara sistematis, maupun random dengan PUSA, atau anggota PUSA di seluruh Aceh.

Ketika Jepang menyerah, dan Perang Dunia II dimenangkan oleh Sekutu, keinginan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia mendapat respons yang cukup tegas dan keras dari masyarakat Aceh.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (III) - Ali Mughayatsyah dan Detente 235 tahun

Kawasan ini tidak hanya mengusir dan melawan Jepang, akan tetapi juga sangat siap untuk menghadapi Belanda.

Perlawanan PUSA menghadapi agresi Belanda ke Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh tidak hanya dicatat oleh banyak pelaku dan pemerhati sejarah Aceh, akan tetapi juga tertulis dengan baik dalam berbagai laporan Belanda yang tersimpan sampai hari ini di pusat informasi resmi dan perpustakaan, terutama di negeri Belanda, maupun di Indonesia.

Administrator dan ilmuwan Belanda A. J Piekar (1949) yang berada di Aceh pada masa-masa akhir Belanda di Aceh misalnya, mencatat dan mengambarkan tentang betapa besar pengaruh dan peran Beureueh dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia di Aceh.

Hampir semua dokumen yang ada menempatkan PUSA dan Daud Beureueh, sebagai salah satu lokomotif utama yang tidak hanya menolak berbagai ajakan untuk melepaskan diri dari Negara Republik Indonesia yang baru lahir, namun juga sangat siap untuk berperang, bahkan di luar daerah Aceh sekalipun.

Apa yang membuat Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo sebenarnya tidak telepas dari kondisi negara republik Indonesia yang baru lahir, yang sangat rentan dengan kembalinya penjajahan Belanda.

Ketika Sukarno dan Hatta ditangkap dan menjadi tawanan Belanda pada Desember 1948, para pemimpin itu telah mempersiapkan dua skenario lain untuk memastikan Indonesia tetap eksis dan berlanjut.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IV) - Alaiddin Riayat Syah, Sang Penakluk dan Armadanya

Skenario pertama adalah pemberian mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk PDRI-Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang berkedudukan di Buktitinggi-Halaban, Sumatera Barat.

Skenario kedua, jika Syafrudin gagal, maka Mr. Maramis yang sedang melakukan kunjungan diplomasi ke India untuk membentuk pemerintahan dalam pengasingan.

Syarufudin Prawiranegara yang praktis berfungsi menjadi Kepala pemerintahan, segera membentuk susunan Pemerintahan Darurat.

Tokoh Aceh, Mr. Teuku Mohammad Hassan diangkat menjadi Wakil Ketua PDRI, sekalagius merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri PPK, dan Menteri Agama.

Disamping mengangkat beberapa menteri lainnya, PDRI juga membentuk front perlawanan Sumatera untuk melengkapi perlawanan TNI di Jawa dalam menghadapi kembalinya tentara Belanda ke Indonesia.

PDRI membentuk lima wilayah pemerintahan militer di Sumatera yang mempunyai karakteristik yang sama, dimana gubernur militernya adalah sipil, sementara wakil gubernurnya adalah tentara profesional-TNI.

Apa yang membuat Aceh unik adalah, jika empat wilayah pemerintahan militer lainnya di Sumatera dipimpin oleh intelektual dengan latar belakang pendidikan tinggi, untuk Aceh yang diangkat adalah ulama biasa, Daud Beureueh.

Mereka yang diangkat adalah Dr. A.K, Gani, untuk Sumatera Selatan, Dr. Ferdinand Lumban Tobing untuk Sumatera Timur dan Bagian Selatan, dan St. Muhamad Rasyid untuk Sumatera Barat.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (V) - Alaiddin Riayat Syah, Sulaiman Agung, dan Laksamana Kortuglu

A.K Gani dan Lumban Tobing, disamping aktif dalam pergerakan kemerdekaan adalah dokter lulusan sekolah tinggi kedokteran STOVIA, Jakarta.

Rasyid adalah lulusan sekolah tinggi hukum -RHS di Betawi, yang kemudian melanjutkan karirnya sebagai guru dan pengacara.

Tidak ada keterangan rinci tentang RM Utoyo yang menjabat gubernur militer Riau.

Dibandingkan dengan ketiga, mungkin keempat pejabat yang ditunjuk itu, Beureueh adalah individu yang tidak mempunyai pendidikan formal, sekalipun ia bisa membaca dan menulis latin.

Ia belajar di Pesantren Tgk Muhammad Hamid di Titeu, Pidie, 2 tahun untuk kemudian dilanjutkan di Dayah Tgk Muhammad Harun di Pesantren Ie Leubeue selama empat setengah tahun.

Ia kemudian menjadi pembelajar otodidak, tidak hanya dalam ilmu agama, akan tetapi juga bidang umum, terutama ketika ia sudah menguasai huruf latin, baik bacaan, maupun tulisan.

Tidak ada keterangan lengkap tentang bagaimana proses penunjukan Buereueh sebagai gubernur militer, terutama apakah pengangkatan itu merupakan hasil dari komunikasi antara Syarifudin Prawiranegara dengan Sukarno?

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VI) - Sultan Al Mukammil, "Repertoar Raja Boneka”

Tidak juga ada keterangan, apakah keputusan itu sepenuhnya diambil sendiri oleh Syafruddin bersama dengan pimpinan PDRI lainnya-termasuk Mr. TM Hasan yang merupakan Wakil Ketua PDRI.

Beberapa penulis seperti Morris (1990), Umar dan Al-Chaidar (2006), dan Ricklefs (2007) mengklaim bahwa Beureueh diangkat dan dilantik oleh Wapres Hatta ketia ia mengunjungi Aceh pada tahun 1947.

Bersamaan dengan penunjukannya sebagai gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, ia juga “dipangkatkan” Jenderal Mayor, untuk membedakannya dari tentara profesional dengan gelar Mayor Jenderal.

Anugerah kepangkatan itu sesungguhnya lebih bernuansa kehormatan, yang lazim disebut dengan “tituler”, untuk membuat pemangkunya yang bergelar gubernur militer mempunyai wibawa tersendiri.

Walaupun Beureueh menjabat sebagai gubernur militer, secara administratif pemerintahan Aceh sesungguhnya tetap saja merupakan sebuah keresidenan dari Provinsi Sumatera Timur dengan ibu kota Medan.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VII) Al Mukammil: Hard Power dan Shock Therapy

Jabatan gubernur militer yang dikhususkan untuk Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, yang díjabat oleh Beureueh pada hakekatnya adalah formalisasi kawasan perlawanan yang bernuansa perang kemerdekaan rakyat semesta melawan Belanda.

Penambahan Langkat dan Tanah Karo juga menunjukkan kepiawaian petinggi PDRI untuk membuat kombatan Aceh tidak hanya menunggu di perbatasan Aceh, melainkan masuk menyusup ke kawasan Karo dan sebagaian besar Langkat dan Deli.

Kawasan itu yang sebelum Perang Dunia II, tidak hanya diduduki dan dikuasai, akan tetapi juga menjadi mesin pencetak uang kolonial yang cukup handal.

Spekulasi sejarah tentang penunjukan Beureueh sebagai gubernur militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, tak memberikan keterangan yang lebih rinci tentang mengapa ia ditunjuk.

Namun dari beberapa dokumen yang tersedia menunjukkan disamping komitmen kebangsaan Beureueh yang dinilai cukup tinggi, Ia juga dinilai mempunyai jaringan dan kedekatan dengan pimpinan berbagai kelompok perlawanan di seluruh Aceh yang sebagian besar mempunyai “hubungan instimewa” baik secara hirarkis PUSA, maupun hubungan emosional individu.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (VIII) - Al Mukammil: Soft Power dan Dansa Diplomasi

Embrio Kelompok Perlawanan

Seperti diketahui semenjak Belanda kalah dan pada masa pendudukan Jepang telah mulai tumbuh berbagai embrio kelompok perlawanan.

Ada yang resmi dan mendapat pelatihan sebagai angkatan perang Jepang-gyugun,dan heiho, ada juga kelompok independen yang lebih bernuansa agama.

Diantara tiga kelompok besar yang lebih berbentuk sebagai kelompok perlawanan bersenjata, terutama terhadap kedatangan Belanda, dua kelompok dominan yang berasosiasi dengan Beureueh adalah Hisbullah -Mujahidin dan pemuda PESINDO.

Sebagian lainnya yang lebih bernuansa profesional adalah para demuda Aceh yang merupakan bekas tentara Jepang-gyugun yang kemudian menjadi embrio API- Angkatan Pemuda Indonesia.

Kelak API menjadi elemen penting pembentukan TNI di Aceh.

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (IX) - Iskandar Muda: Angkatan Perang, “Mercineries”, dan “Raja Toke”

Berbeda dengan API yang lebih berwajah profesional tentara terlatih, gugus Hisbullah-Mujahidin dan demuda PESINDO adalah para relawan rakyat biasa.

Jika API jumlahnya terbatas dan cenderung terpusat di Banda Aceh, dua gugus besar yang berhubungan dengan Beureueh lebih berwajah “massa” rakyat, dan tersebar relatif merata di seluruh Aceh.

Agaknya pertimbangan pengaruh dan jaringan “relawan kombatan” yang dimiliki Beureueh merupakan salah satu alasan utama Pemerintah Pusat mengangkat Tgk.Muhammad Daud Beureueh menjadi gubernur militer.

Status gubernur militer yang disandang Beureueh hanya berjalan sekitar 2 tahun (1947-1949), akhirnya mengantarkan Beureueh menjadi Gubernur sipil Provinsi Aceh yang pertama.

Pada akhir tahun 1949, keresidenan Aceh dari Sumatera Utara dikeluarkan, dan Beureueh diangkat menjadi Gubernur.

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (X) - Iskandar Muda: “Imitatio Alexandri”

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos?

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XII) Benarkah Iskandar Muda Raja Liberal ?

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XIII) Van Heustz: Doktrin Perang dan “De Slager van Atjeh”

Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XIV) - Van Heustz: Transformasi Kapitalisme dan Oligarki Kolonial

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved