Kupi Beungoh
Puluhan Ribu Masyarakat Aceh Positif Narkoba, Siapa yang Bertanggung Jawab ?
Aceh menjadi salah satu provinsi penghasil ganja terbanyak di Indonesia, ada ribuan hektar lahan menghasilkan jutaan ton ganja.
Oleh: Syauqas Rahmatillah
Aceh, wilayah paling barat Indonesia yang subur, tidak hanya dikenal dengan kopi nya, namun juga banyaknya tanaman ganja tumbuh dengan subur.
Aceh menjadi salah satu provinsi penghasil ganja terbanyak di Indonesia, ada ribuan hektar lahan menghasilkan jutaan ton ganja.
Tahun 2021 Badan Narkotika Nasional (BNN) menemukan dan memusnahkan 2 hektar ladang ganja, dengan jumlah tanaman sebanyak kurang lebih 20.000 ribu pohon, dengan berat tanaman basah sebanyak 15 ton.
Satu hektar ladang ganja diketinggian 424 mdpl, dan satu hektar ladang ganja diketinggian 835 mdpl di kawasan Aceh Besar, Desa Pulo, Kecamatan Seulimeum.
Lebih lanjut pada tahun 2022, BNN kembali menemukan 3 hektar ladang ganja yang berada diketinggian 313 dan 380 mdpl di Kampong Teungoh, Kec. Trumon Tengah Kab. Aceh Selatan, Aceh.
Masuk kedalam kategori jenis Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya (Narkoba), ganja mudah ditemukan di Aceh (selain Sabu dan Obat-obatan lainnya).
Baca juga: 2023: Polikrisis dan Ancaman "Politik Normal Baru"
Ironisnya, wilayah dengan predikat Serambi Mekkah ini menjadi provinsi penghasil ganja terbesar di Indonesia.
Padahal, Aceh merupakan provinsi satu-satunya yang memiliki Peraturan Daerah khusus atau dikenal dengan Qanun.
Lebih rinci terkait narkoba diatur di dalam Qanun No. 8 tahun 2018 tentang Fasilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkotika.
Menurut Hasil Survey BNN & LIPI tahun 2019, provinsi Aceh berada diperingkat 6 Nasional dengan jumlah pengguna narkoba sebanyak 82.415 jiwa, atau sekitar 2,80 persen penduduk Indonesia. Berdasarkan hasil survey tersebut, dapat dilihat bahwa pemakaian narkoba di Aceh rata-rata berusia produktif, rentang usia pengguna narkoba di Aceh berusia 11 sampai 40 tahun.
Hal Ini menjadi permasalahan serius yang harus segera diatasi oleh seluruh elemen masyarakat di Aceh.
Melihat di tahun 2045, Indonesia diperkirakan akan hadir Generasi Emas, karena didominasi oleh penduduk usia produktif, maka dari itu cegah kerusakan dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat hingga Pemerintah
Baca juga: 2022 Tahun Yang Luar Biasa, 2023 Tahun Yang Challenging, Catatan IHSG Sepanjang Tahun 2022
Qanun Nomor 8 Tahun 2018
Dalam Qanun No. 8 tahun 2018 tentang Fasilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkotika, Pemerintah melakukan penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
Penulis melihat, lebih rinci dalam pasal 7 tentang antisipasi dini, pasal 8 tentang pencegahan, pasal 21 tentang upaya khusus, pasal 22 tentang penangan dan rehabilitasi dan pasal 35 tentang pembiayaan, pasal tersebut harus lebih diperhatikan dan menjadi fokus yang harus diupayakan, karena masih jauh dari penerapan yang seharusnya dilakukan.
Penyalahgunaan narkoba tentu bertentangan dengan maqhasid syari'ah yaitu memelihara akal.
Islam sangat menghargai akal manusia karena akal adalah anugerah dari Allah SWT.
Memelihara akal dapat dilakukan dengan tidak mengkonsumsi narkoba dan minuman keras. Penulis meminta kepada Pemerintah agar lebih memperhatikan serta membentuk Qanun khusus yang mengatur tentang anti narkoba.
Baca juga: Tokoh Tahun Ini: Zelensky, Anwar Ibrahim, dan Anies Baswedan
Dampak Bahaya Narkoba
Penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor kepribadian, faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor pendidikan, faktor masyarakat atau kelompok sosial serta faktor populasi yang Rentan.
Badan Narkotika Nasional menyebutkan bahwa narkoba adalah obat, bahan ataupun zat bukan makanan yang harus dikonsumsi.
Jika diminum, dihisap, dihirup, ditelan atau disuntik akan berpengaruh buruk pada tubuh, khususnya kerja otak, juga fungsi vital organ lain seperti jantung, peredaran darah, pernapasan, gangguan pada Kulit, gangguan pada paru-paru serta dapat terinfeksi virus HIV dan AIDS.
Lebih lanjut, dampak psikologis dari penggunaan narkoba dapat menyebabkan si pengguna tidak dapat berpikir secara normal, ketergantungan dan selalu berperasaan cemas.
Tidak hanya itu, narkoba juga berdampak bagi sosial dan ekonomi si pengguna.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Medan Area, Pembentukan TNI, dan Daerah Modal
Upaya Rehabilitasi Narkoba
Dalam observasi yang dilakukan, penulis datang dan mengunjungi salah satu pusat rehabilitasi swasta di Banda Aceh, yaitu Yayasan Rumoh Geutanyo Aceh.
Wanda (27 tahun) seorang Konselor Adiksi atau Konselor Rehabilitasi Narkoba di Yayasan Rumoh Geutanyoe Aceh, dalam penjelasannya mengatakan bahwa jumlah residen atau pasien penyalahgunaan Narkoba di Aceh mencapai 83.000 jiwa, hal ini adalah sebuah keprihatinan tersendiri bagi masyarakat Aceh yang merupakan provinsi dengan syariat islam di Indonesia.
Ganja menjadi jenis narkoba terbanyak yang disalahgunakan di Aceh, seperti kita ketahui bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi penghasil ganja terbesar di Indonesia.
Oleh karena itu, Yayasan Rumoh Geutanyoe memberikan solusi rehabilitasi kepada penyalahgunaan narkoba di wilayah Aceh.
Rehabilitasi memiliki beberapa proses, diantaranya harus melalui kesepakatan pihak yayasan, residen dan keluarga residen, biaya hingga waktu rehabilitasi yang mencapai 6 bulan lamanya.
Baca juga: Mengembalikan Bioskop di Aceh Pasca 18 Tahun Tsunami
Terlebih dahulu adanya screaning assessment rencana terapi sebelum melakukan rehabilitasi.
Residen di Yayasan Rumoh Geutanyo Aceh mencapai 20 orang lebih dengan rentan usia yang berbeda mulai dari usia 15-50 tahun.
Semuanya melakukan proses rehabilitasi untuk mendapatkan kepulihan produktif dan dapat berfungsi sosial serta bisa menjalani aktivitas seperti biasanya tanpa pengaruh narkoba.
Biaya yang dikeluarkan oleh residen dalam menjalani proses rehabilitasi tidaklah sedikit, di Yayasan Rumoh Geutanyo Aceh biaya rehabilitasi dapat mencapai jutaan tiap bulannya.
Biaya tersebut mencakupi semua hal yang dibutuhkan dalam pemulihan, termasuk obat-obatan, kebutuhan makan, tempat tinggal dan terapi hingga konseling.
Di Yayasan Rumoh Geutanyoe, rehabilitasi menggunakan metode 12 langkah, terapi dan konseling.
Yayasan Rumoh Geutanyo Aceh menyediakan rawat inap dan rawat jalan dalam proses rehabilitasi.
Rawat jalan diperuntukkan untuk residen yang sedang bekerja sedangkan untuk residen yang tidak bekerja disarankan untuk melakukan rawat inap.
Yayasan Rumoh Geutanyo Aceh memiliki kendala, diantaranya adalah anggaran.
Hal inilah yang membuat yayasan tidak bisa membantu residen lebih banyak atau yang tidak memiliki uang untuk melakukan rehabilitasi.
Keterbatasan anggaran menjadi kendala tersendiri yang dialami bagi pusat rehabilitasi narkoba di banyak tempat, juga bagi penyalahguna narkoba yang ingin melakukan rehabilitasi tetapi tidak memiliki uang.
Selain itu, masyarakat masih memiliki kekhawatiran dan rasa takut untuk melaporkan serta melakukan konsultasi kepada ahli atau pihak terkait, karena stigma negatif dari masyarakat yang menganggap bahwa anggota keluarga yang terkena narkoba sebagai aib atau keburukan dan itu akan memalukan bagi keluarga pelaku.
Perlunya peran pemerintah untuk memberikan perhatian khusus kepada residen dan kepada tempat rehabilitasi, serta masyarakat.
Hal ini agar menjadi upaya mencegah penyalahgunaan narkoba dan tersedianya tempat rehabilitasi untuk masyarakat.
Tidak hanya pemerintah, namun keluarga, tokoh adat, ulama dan seluruh elemen masyarakat Aceh turut ikut serta dalam penyelesaian penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
Sehingga stigma negatif Aceh sebagai produsen ganja terbesar di Indonesia tidak terdengar lagi di masa mendatang.
(Banda Aceh, 23 Desember 2022)
PENULIS adalah Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry, email: syaukassigli@gmail.com
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.