Jurnalisme Warga

Pak Kalam Daud dalam Kenangan

Pak Kalam tidak langsung fokus menuju tujuan, melainkan singgah dulu ke situs- situs sejarah sepanjang perjalanan yang belum diziarahinya

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Pak Kalam Daud dalam Kenangan
FOR SERAMBINEWS.COM
T.A. SAKTI,  Penerima Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI tahun 2003, melaporkan dari Dusun Lamnyong, Gampong Rukoh

OLEH T.A. SAKTI,  Penerima Bintang Budaya Parama Dharma dari Pemerintah RI tahun 2003, melaporkan dari Dusun Lamnyong, Gampong Rukoh

PAK Kalam Daud, salah satu Dosen UIN Ar-Raniry yang terkenal dan meninggal Desember 2022, termasuk salah seorang penjelajah situs sejarah Aceh di masa hidupnya.

Saya pernah diajak beliau ke makam Sultan Mahmud Syah di Samahani, Aceh Besar.

Sultan ini merupakan raja Aceh yang langsung menghadapi agresi Belanda pada tahun 1289 H/1873 M.

Sultan Mahmud Syah meninggal dalam pengungsian terkena penyakit kolera.

Menyaksikan kondisi kuburnya, termasuk baik.

Namun, terlalu dekat dengan bengkel dan tempat cucian mobil dan sepeda motor.

Padahal, beliau Sultan Aceh yang hebat, berani melawan intervensi asing dan menolak menyerah kepada Belanda.

Banyak makam leluhur Aceh yang diziarahi Pak Kalam.

Di antara kunjungan yang pernah dikabarkan kepada saya adalah ziarah ke makam Laksamana Keumala Hayati di Krueng Raya, Aceh Besar, makam Teungku Chiek Di Tiro di Mureue, Indrapuri, Aceh Besar, dan makam Teuku Umar di Meugo, pedalaman Aceh Barat.

Ketiga pahlawan Aceh itu adalah Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Setiap libur kuliah, Pak Kalam sering ambil kesempatan ziarah ke situs sejarah Aceh.

Baca juga: Warga Diajak Selamatkan Situs Sejarah

Baca juga: Banyak Situs Sejarah Terbengkalai, Kadisbudpar Aceh Ajak Masyarakat Ikut Meuseuraya Penyelematan

Beliau berkunjung bersama keluarga.

Begitu pula bila mudik ke kampung, baik ke Blangpidie, tempat istrinya, maupun ke Cot Paleue Mesjid, Pidie, kampung asal beliau.

Dalam perjalanan pulang itu, Pak Kalam tidak langsung fokus menuju tujuan, melainkan singgah dulu ke situs- situs sejarah sepanjang perjalanan yang belum diziarahinya.

Walaupun demikian, ada pula makam yang belum sempat dikunjungi, yakni kubur kakek buyut beliau (endatu) sendiri, yakni makam Teungku Muhammad Kalam.

Nama dirinya, Mohd Kalam, diambil bersempena (mengambil manfaat) dari nama Teungku Muhammad Kalam ini.

Beberapa kali “keresahan” ini pernah disampaikan kepada saya bahwa ia belum sempat ziarah ke kubur nenek moyangnya Teungku Muhammad Kalam yang berada di Gampong Lingkok dekat Kotabakti (Lam Meulo), Kecamatan Sakti, Pidie.

Seorang teman saya, Pak Muhammad Saleh, pensiunan Guru SMA Kotabakti yang pernah saya telepon baru-baru ini, menyatakan belum pernah mendengar nama almarhum Teungku Muhammad Kalam.

Padahal, teman saya ini berasal dari Gampong Lingkok, Kotabakti.

Sahabat saya lainnya, M Jafar Siddiq, pensiunan dosen Politeknik Negeri Lhokseumawe yang saya hubungi, juga tak pernah mendengar nama ulama itu di Lingkok.

Padahal, beliau berketurunan ulama kampung itu, seperti Tgk Husen yang semasa saya kecil punya dayah seumeubeuet (balai pengajian) di Lingkok.

Kegiatan lain yang diminati Pak Kalam adalah menanam tanaman berkhasiat obat/ herbal.

Di halaman rumahnya penuh sarat tanaman “apotek hidup”.

Baca juga: Pekan Tari Gunongan Berlangsung Meriah, Kawula Muda hingga Keluarga Padati Situs Sejarah Gunongan

Sampai-sampai beberapa tahun lalu terpilih sebagai Juara 3 pada Lomba Tanaman Obat Sekota Banda Aceh.

Kalau beliau pergi ke suatu tempat, waktu pulang selalu ada oleh-oleh tanaman herbal.

Saya pernah melihat beberapa tanaman yang dibawa pulang dari Sibolga (Sumut) dan Bireuen.

Bagi orang yang kurang “bersenyawa” dengan tanaman herbal tentu hobi Pak Kalam ini amat merepotkan.

Betapa tidak, sebagian tanaman obat yang dibawa pulang itu masih kecil-kecil, bahkan berupa bijinya.

Hal ini tentu membutuhkan masa pemeliharaan yang lama, seperti menyiram, merawat, dan menghalau kambing yang merapat.

Namun, semua beban ini diemban Pak Kalam dengan senang hati.

Sebuah sumur kecil berada di muka rumah, saya rasa inilah sumber air buat menyuburkan tanaman.

Saya biasa datang ke rumah Pak Kalam sekitar pukul 10 pagi atau bakda asar sore hari.

Sejauh ini saya belum pernah menyaksikan Pak Kalam sedang menyiram tanaman kesayangannya.

Hanya saja, saya jarang berlama- lama singgah di teras Pak Kalam.

Bahkan sering pula hanya sebatas di pinto rot (pintu pagar), selesai berurusan; lantas saya pulang dengan ojek (RBT).

Baca juga: Situs Sejarah Peradaban Singkil Lamo Jadi Daya Tarik Wisatawan

Luas halaman Pak Kalam sekitar 10 x 10 meter.

Kirikanan jalur menuju rumah, penuh sesak dengan beragam jenis tanaman.

Sebagian sudah tinggi menjulang sejajar bubung rumah, ada yang tiga meter, dua meter, setinggi badan, pinggang dan lutut saya....dan ada setinggi satu centimeter ditaruh berjajar dalam polibag.

Saking gemarnya keluarga ini pada tanaman obat herbal, sampai Ulfi, putrinya, memilih topik skripsi mengenai tanaman obat herbal.

Demi mencukupi sampel tanaman itu, Pak Kalam bersama keluarga pergi ke Kecamatan Panga, Aceh Jaya.

Beberapa gampong (kampung) di kecamatan itu telah didatangi guna mengumpulkan data tanaman obat herbal, yaitu Gampong Gle Putoh, Batee Meutudong, Gunong Buloh, Tuwi Kareueng Panga, Tuwi Kayee, Kuta Tuha, dan Gampong Gunong Meulinteueng.

Di sana terdapat kebun tanaman obat di halaman rumah beberapa orang tua yang mempraktikkan semua bahan obat itu.

Hal ini diceritakan Pak Kalam saat bersilaturahmi sekeluarga ke tempat saya untuk tujuan yang sama.

Memang di Bale Tambeh, tempat kediaman saya, selain tanaman bunga yang “membahana”, juga ada beberapa tanaman herbal seperti on peugaga (pegagan), rheue (serai), on murong (daun kelor), bak limeng (belimbing buluh), bak limeng sagoe (belimbing buah bersegi) bak rambot (rambutan), on ranub (daun sirih), on seuke (daun pandan), on geurundong (daun kedondong), onte Cepang(daun teh Jepang), on drang linggang (daun berlenggang), bak reudeuep ( batang dadap), on geulima Makkah (daun delima Mekah), bak geulima breueh (batang delima beras), dan on siyueng-yueng ( daun anggrek).

Beragam bunga di halaman saya juga bisa jadi obat, kata orang.

Misalnya, bungong jarom (bunga asoka) yang paling banyak di halaman saya bisa sebagai obat sakit vertigo (kepala bergoyang/berasik).

Baca juga: Disbudpar Gelar Fun Bike Keliling Situs Sejarah di Banda Aceh, Pendaftaraan Gratis

Kesenangan lain Pak Kalam, yang jarang digemari lelaki lain adalah menyapu halaman.

Setiap pagi cukup banyak sampah berseleweran di halaman dan jalan depan rumah Pak Kalam.

Sampah ini berupa dedaunan yang gugur dari berbagai pohon.

Di samping jalan tumbuh dua batang pohon besar, yaitu kedondong besar (bak geurundong raya) dan batang tembusi.

Daunnya cukup lebat dan berguguran sepanjang malam.

Selesai shalat subuh (baik di Mushalla Al- Muhajirin atau di rumah), Pak Kalam segera bergegas menyapu semua sampah itu.

Sering saya telepon di kala pagi, Pak Kalam tak mengangkat.

Ketika sang isteri membawa HP ke halaman, barulah ketahuan yang Pak Kalam barusan selesai menyapu sampah dedaunan atau barusan menebas semak-semak kecil di samping rumah.

Ketekunan lain keluarga ini berupa meracik obat tradisional.

Banyak jenis ramuan obat baik rebusan maupun gilingan yang dikonsumsi Pak Kalam dan Bu Mardhiati di waktu pagi sepanjang tahun.

Di antara bahan obat yang pernah saya dengar, yaitu rebusan on murong (daun kelor), rebusan on ranub (daun sirih), rheue (serai), on tungkat Ali (daun tongkat Ali), on siratal mustakim (daun sambiloto), dan lain-lain.

Biasanya beberapa jenis daun obat serentak direbus dalam periuk tanah. (t.abdullahsakti@ gmail.com)

Baca juga: Situs Sejarah Benteng Trumon & Destinasi Wisata Pulau Dua Aceh Selatan Masuk Nominasi API Award 2022

Baca juga: Situs Sejarah Ceruk Mendale Takengon Ditutup, Ini Kata Pemerhati Sejarah

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved