Kupi Beungoh

Menimbang Frasa "Permalukan Aceh" dari Humam Hamid

PERNYATAAN Humam Hamid, mengenai anjurannya agar KPK tidak permalukan Aceh pada kasus korupsi Ayah Merin, membawa dua masalah sekaligus.

Editor: Amirullah
For Serambinews.com
Muhammad Alkaf 

Oleh Bung Alkaf *)

PERNYATAAN Humam Hamid, mengenai anjurannya agar KPK tidak permalukan Aceh pada kasus korupsi Ayah Merin, membawa dua masalah sekaligus. Pertama, masalah etik. Kedua, masalah politis.

Secara etik, tidak patut seorang guru besar di sebuah perguruan tinggi “pasang badan” untuk kasus korupsi, atas alasan apa pun, termasuk apa yang disebutnya sebagai "masa transisi."

Apalagi Humam menganjurkan sebuah pendekatan, yang tidak kita temukan relevansinya dalam kasus korupsi yang melibatkan Ayah Merin tersebut, yaitu pendekatan sosiologis.

Sebuah pendekatan yang disebutnya lebih tepat daripada melulu pendekatan hukum dalam melihat kasus korupsi tersebut karena terjadi, sebagaimana sebutnya, di masa transisi.

Baca juga: KPK Jangan Permalukan Aceh

Secara politis, pernyataan Humam Hamid tersebut dapat dibaca sebagai bayangan dari perubahan sirkulasi elit di Aceh akibat dari penangkapan Ayah Merin tersebut.

Frasa perubahan sirkulasi elite itu dapat dilihat dari rumor tersanderanya tokoh-tokoh politik penting di Aceh menjelang Pemilu 2024.

Persepsi demikian susah dibantah karena politik di mana pun selalu saja diawali dari rumor dan gosip. Celakanya, dalam kasus Ayah Merin ini, Humam Hamid ikut terlibat dalam meramaikan rumor itu.

Namun, ada persoalan yang lebih pelik daripada meributkan pernyataan itu karena ada pesan lain yang secara simbolik terlihat dari pernyataan Humam Hamid itu ketika dia memilih frasa "permalukan Aceh."

Pemilihan frasa itu tidaklah perkara teknis belaka, bahkan juga melibatkan bangunan kesadaran tentang politik identitas, yang barangkali secara umum, menjadi cara berpikir orang Aceh yang terendap sejak lama.

Frasa mempermalukan orang Aceh itu mengisyaratkan dua hal. Pertama, relasi Aceh-Indonesia yang belum seutuhnya terintegrasi, terutama secara sosiologis dan psikologis. Kedua, masih kuatnya politik maruah dalam alam berpikir orang Aceh.

Baca juga: Berani Kritik KPK dan Presiden Jokowi Terkait Kasus Ayah Merin dan Irwandi Yusuf, Siapa Humam Hamid?

Penjelasan pertama mengenai relasi Aceh dan Indonesia yang belum selesai dapat diperhatikan dari cara kedua entitas dibangun.

Sejak awal, perjumpaan Aceh dan Indonesia didasari pada dua hal: negosiasi dan kompensasi. Dua hal ini yang membuat integrasi Aceh ke Indonesia mengalami pasang surut sepanjang sejarah.

Negosiasi yang dimaksud tentu saja dari pesan simbolik dialog Daud Beureu 'eh dengan Sukarno di masa genting Revolusi Nasional.

Satu dialog yang merasuk ke dalam relung batin orang Aceh ketika dukungan dari wilayah ini, melalui Daud Beureu 'eh, hanya akan diberikan melalui negoisasi alot agar Indonesia kelak, apabila hidup di zaman kemerdekaan, memberi wewenang Aceh mengurus dirinya, salah satu diantaranya hak otonom menerapkan hukum Islam.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved