Kupi Beungoh
Menimbang Frasa "Permalukan Aceh" dari Humam Hamid
PERNYATAAN Humam Hamid, mengenai anjurannya agar KPK tidak permalukan Aceh pada kasus korupsi Ayah Merin, membawa dua masalah sekaligus.
Sedangkan kompensasi adalah residu dari penghentian konflik bersenjata yang terjadi dalam lintasan antara dua entitas ini. Kompensasi itu adalah syarat agar perang diselesaikan.
Namun, kompensasi memiliki masalah laten ketika berakhir, seperti ketakutan akan hilangnya dana otsus akhir-akhir ini.
Baca juga: Pernyataan Prof Humam Terkait KPK, Ayah Merin dan Irwandi Yusuf Ditanggapi Pro-Kontra
Akibat dari narasi negoisasi dan kompensasi inilah integrasi Aceh ke Indonesia tidak berjalan dengan baik, berbeda dengan wilayah-wilayah lain yang pernah terjadi konflik bersenjata di masa lalu.
Penjelasan kedua dibalik frasa mempermalukan Aceh adalah adanya konsep maruah dalam diri orang Aceh. Maruah atau harga diri merupakan hal yang selalu jadi model bagaimana orang Aceh itu tumbuh dan hidup.
Sebagai sebuah konsep abstrak, maruah seringkali dipanggil datang ketika perkara konkret tidak dimenangkan.
Jadi, ketika pembangunan Aceh setelah perang gagal, lalu angka korupsi meningkat, ditambah menjadi provinsi dengan berbagai indeks terpuruk maka konsepsi maruah itu dihadirkan.
Konsep maruah bagi orang Aceh itu bertumbuh dari dua hal: agama dan sejarah.
Agama, dalam hal ini Islam, bagi orang Aceh tidak berhenti pada sekumpulan ritual atau norma sosial belaka, melainkan dikonstruksi sebagai ideologi dan basis pembangunan identitasnya.
Agak sulit bagi kita untuk mencari padanan yang sesuai di berbagai provinsi di Indonesia, seperti di Aceh, dalam menempatkan posisi agamanya. Karena agamalah, maruah menjadi sebuah konsep yang tidak bisa dipisahkan ketika hendak memahami alam berpikir orang Aceh.
Baca juga: Disebut Bela Irwandi Yusuf usai Kritik KPK, Humam Hamid Singgung soal Peunayah Pascadamai
Selain agama, maruah orang Aceh disusun karena ingatan sejarah patriotisme yang panjang. Sejarah patriotisme itu dikumandangkan dengan pekik tidak pernah kalah, apa pun perangnya.
Bahkan, aksi Aceh Pungo tidak dibaca sebagai rasa frustasi akibat kekalahan, melainkan sebagai pertunjukan dari tingginya maruah yang dimiliki oleh orang Aceh.
Dalam ingatan kolektif yang mengendap inilah, Humam Hamid menyatakan pendapatnya agar KPK tidak permalukan Aceh. Satu pernyataan yang sebenarnya telah mengalami distorsi makna maruah itu sendiri.
*) PENULIS adalah Muhammad Alkaf, akrab disapa Bung Alkaf, seorang Esais Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggungjawab penulis.
BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DISINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.