Kupi Beungoh

Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh V - Egianus Kogeya, “Pileu Aceh,” dan Memori Kolektif

“Pileu” seringkali disebutkan sebagai kata pengingat untuk orang yang baru sembuh dari sakit, termasuk keluarganya atau orang yang merawat orang sakit

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Akankah mereka sangat sensitif ketika apa saja elemen nilai-nilai ethno nasionalis Aceh yang diperjuangkan oral tuanya, yang menyebabkan mereka menjadi yatim, diterima sebagai “takdir kedua” setelah yatim akibat konflik?

Akankah mereka mengulangi sejarah Ilham dan Iklil yang setelah tahun-tahun kematian ayahnya, mereka menjadi Egianus Kogeya?

Seorangpun tidak tahu, karena sejarah juga kadang terjadi secara sangat tiba-tiba.

Namun kejadian berulang, atau kambuhnya konflik setelah sebuah perdamaian tercapai bukanlah hal yang aneh, apalagi mustahil.

Itulah sebabnya upaya “rekayasa sosial” membangun daerah pascakonflik tidak boleh dianggap enteng.

Salah satu elemen penting dalam “rekayasa sosial” membangun daerah pasca konflik seperti Aceh adalah menghadirkan bukti-bukti konkrit “piece dividen”, buah perdamaian, yang seringkali dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Di samping itu apapun tindakan yang dilakukan, terutama langkah-langkah pemerintah seyogianya memperhatikan sensitivitas terhadap “memori kolektif” para pihak, atau apapun yang terkait dengannya, dan publik secara keseluruhan.

Ketidakmampuan menggunakan sensitivitas terhadap “memori kolektif”, terutama dari para pemangku utama kepentingan dalam perdamaian, kadang dapat berakibat fatal, dan bahkan dapat mengancam perdamaian.

Jangankan “peace dividen” yang dalam casusu sampai hari ini capainnya belum optimal, bahkan sangat rendah, kemakmuran dan kesejahteraan yang hebat sekalipun jika bertentangan dengan sensitivitas “memori kolektif” dapat menjadi ancaman perdamaian.

Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh I: Jhon Rumbiak dan Pasang Surut “Ethno Nationalism”

Episode Perang Saudara Jepang

Sejarah tentang manajemen “memori kolektif” yang sangat destruktif dan kejam- menurut ukuran hari ini, jelas terlihat dalam berbagai episode sejarah 120 tahun perang saudara Jepang.

Negeri matahari terbit modern yang kita kenal hari ini, bukanlah Jepang yang tiba-tiba saja maju, menjadi kapitalis, kaya, dan demokratis.

Jepang mengalami masa panjang kekerasan dan fragmentasi akut, tidak hanya pada level masyarakat, namun menukik dalam sampai ke tingkat komunitas.

Tak terhitung jumlah Daimyo- samurai yang berkuasa di suatu wilayah, di Pulau Honshu sebagai kawasan Jepang inti - Kyoto, Tokyo, dan Nagoya, yang saling berperang memperebutkan wilayah yang berlangsung selama lebih dari satu abad.

Daimyo yang menang membunuh semua keturunan lawannya atau pemberontak, bahkan seluruh rakyat yang kalah, mulai dari bayi, wanita, sampai dengan orang tua renta.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved