Kupi Beungoh
Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh V - Egianus Kogeya, “Pileu Aceh,” dan Memori Kolektif
“Pileu” seringkali disebutkan sebagai kata pengingat untuk orang yang baru sembuh dari sakit, termasuk keluarganya atau orang yang merawat orang sakit
Pertanyaan ini menjadi sangat serius, karena kehidupan mereka setelah perjanjian damai MoU Helsinki nyaris tak terakomodir dalam sebuah paket pascaperdamaian yang fokus, terstruktur, dan terukur.
Bukankah ketika mereka kecil, mereka menjalani hidupnya kebanyakan dengan penderitaan sosial ekonomi yang seringkali di bawah rata-rata masyarakat lainnya.
Bukankah seringkali ibunya yang menjadi orang tua tunggal yang menanggung semua beban hidup mereka?
Bukankah pula ibu mereka yang menguraikan cerita “pergantar tidur” tentang ayahnya yang mati tertembak, diculik, atau dikhianati oleh tetangganya.
Adalah Rafli Kande, kini anggota DPR-RI fraksi PKS yang mampu membuat fakta dan kata yang tak terhingga jumlahnya yang dengan “jenius” menuangkan fenomena dalam lagu “Aneuk Yatim”.
Lagu itu mencapai puncak hit di Aceh pada tahun 2008-2009.
Ketika Rafli menyanyikan lagu itu pada konser yang ramai dikunjungi, mayoritas penonton menangis terisak-isak.
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh IV - Mungkinkah 5000 Yatim Konflik Menjadi “Egianus Kogeya”?
Baca juga: Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh III: Sejarah Panjang Kekerasan Aceh, dan Buramnya “Peace Dividen"
Balada Perang Hvorostovsky
Lagu dan penghayatan Rafli ketika menyanyi yang membuat penonton hanyut dalam kesedihan membuat ia seolah menjadi Dmitri Hvorostovsky Aceh pada masa itu.
Hvorostovsky adalah penyanyi opera terkenal Rusia yang ketika ia menyanyi mampu membuat penonton, bahkan Presiden Putin menangis terisak-isak, terutama ketika ia menyanyikan lagu-lagu balada perang.
Lagu Yatim Rafli adalah “pantulan zaman” tentang nestapa konflik yang dialami oleh keluarga yang tak beruntung pada masa itu.
Lagu itu menjadi semacam pemantik memori bagi mereka yang sempat melihat Aceh berdarah selama hidupnya.
Dengan sangat arif pula Rafli menutup lagu itu dengan sebuah bait rekonsiliasi dengan meggunakan ucapan ibu kepada anaknya, untuk menerima realitas yatim itu dengan lapang dada dan penderitaan itu sebagai takdir dari yang Maha Kuasa.
Pertanyaannya hari ini adalah mungkinkah ada sebagian dari mereka yang hari ini sedang tumbuh, berpotensi untuk menjadi Egianus Kogeya yang akan membawa “pileu” untuk Aceh di tahun-tahun yang akan datang.
Mungkinkah mereka akan mengikuti petuah Rafli untuk menerima takdir dengan lapang dada, sementara melihat kejadian yang 180 derjat terbalik dari impian orang tua mereka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.