Kupi Beungoh
Korupsi, KPK, dan Perdamaian Aceh XVI - Kasus PT LMR, dan Prospek 500.000 Hektare Tambang Emas Aceh
sampai dengan pengumpulan data pada saaat itu, jumlah kawasan tambang emas yang telah mendapat izin dari pemerintah daerah sekitar 500.000 hektare.
Kini, East Asia Mneral telah menemukan partner tangguh, anak perusahaan Bakrie Group- Bumi Mineral Resource-, yang saat ini mempunya izin dan legalitas dari BKPM untuk usahanya di Abong, Linge.
Sumber daya alam Aceh, kini sedang diupayakan pengendaliannya di ruang 1021 West Hastings Street, lantai 9, Vancouver, Kanada, di ujung pulpen East Asia Mineral Corp.
Perusahaan itu telah berobah namanya menjadi Baru Gold Corporation, perusahaan manca negara yang berkedudukan di Vancouver Kanada.
Perusahaan ini mempunyai partner nasional yang hebat, Bumi Mineral Resources, sebuah perusahaan besar yang jangkauan pengaruhnya relatif kuat ke dalam pemerintahan, tak peduli dengan rezim manapun yang berkuasa.
Perobahan RTRW Aceh pada masa pemerintahan gubernur Zaini berikut dengan motor komisi D DPRA dapat disebut sebagai penetrasi jilid 1 “pengaturan” sumber daya alam Aceh oleh kekuatan korporasi manca negara.
Kini, dalam edisi jilid 2, yang dilakukan adalah pengakuan eksistensi PT. LMR oleh BKPM, dalam hal ini Bahlil Lahadia.
Kenapa berani kita menyebutkan sebagai “pengaturan” oleh Baru Gold Corporation?
Hal itu terbukti dari publikasi terbuka perusahaan itu kepada pemegang sahammnya, berikut dengan bursa saham Toronto -Vancouver tentang kemampuannya mempengaruhi pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
Dengan bangga perusahaan itu menyebutkan telah behasil membujuk pemerintah Aceh untuk melepaskan 1.2 juta hektare lahan hutan untuk dijadikan sebagai lahan tambang, lahan budi daya, berikut sebagian kawasan hutan untuk dijadikan kawasan HPH.
Kontroversi itu tidak diketahui publik, walaupun hampir semua pegiat LSM lingkungan Aceh dan nasional melancarkan protes besar-besaran.
Pengamat dan pegiat lingkungan internasional juga tak kalah serunya meminta pemerintah Aceh untuk membatalkan RTRW dimaksud pada tahun 2013.
Namun pemerintah daerah pada saat itu bergeming, tetap bertahan pada pendiriannya.
Tidak kurang Kementerian Kehutanan pada awalnya tidak menyetujui RTRW yang diajukan pemerintah, namun pada akhirnya menerima.
Penetrasi lanjutan korporasi itu dalam kebijakan pemerintah kini terlihat sangat nyata.
Ketua BKPM Bahlil Lahadia dengan enteng menyebutkan kewenangan pasal 159 IUP oleh Provinsi Aceh untuk pertambangan serta merta berpindah ke pemerintah pusat, karena UU Cipta Kerja dan dan UU penanaman penanaman modal asing.
Pada serial jilid dua “pengaturan” sumber daya alam,- pertambangan di Aceh, Baru Gold Corporation mempunyai mitra kuat nasional, PT Bumi Mineral Resources yang dimiliki oleh Bakrie Group.
Tidak hanya itu, kini datang lagi korporasi nasional yang bahkan lebih kuat yang bergabung dengan PT LMR, melalui pembelian saham yang bernilai triliunan PT Bumi Mineral Resources.
Perusahaan yang dimaksud adalah Group Salim yang dipimpin oleh Anthony Salim dengan penguasaan saham 28,32 persen.
Sekalipun Group Bakrie menguasai saham lebih dari Group Salim, spekulasi yang berkembang di luar menyebutkan group Salim sesungguhnya menguasai PT Bumi Mineral Resources dengan perpanjangan tangan lewat Agus Projosasmito yang mempunyai saham 8,83 persen.
Apa relevansi penulisan “intervensi kebijakan” perusahaan mancanegara sekelas Baru Gold Corp-sebelumnya East Asia Mineral, dan berbagai format penguasaan saham pada dua perusahaan raksasa nasional terhadap PT. LMR?
Apa pula keterkaitannya dengan gratifikasi tumpangan pesawat jet Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki, dari Banda Aceh ke Jakarta?
Kasus PT LMR adalah ujian berat UU no 11/2006 tentang konsistensi pemerintah pusat terhadap kelanjutan perdamaian Aceh.
Keberlanjutan skenario besar Baru Gold Corporation, kini tidak lagi pada posisi single fighter untuk eskploitasi emas Aceh.
Mereka kini telah menemukan dua mitra raksasa perusahaan nasional-multinasional yang berpeluang “mendikte” kebijakan pemeritah pusat untuk memaksakan Aceh menerima kehadiran PT LMR, sekaligus membuka jalan untuk banyak lagi eksploitasi pertambangan emas dan mineral lainnya, terutama yang dimiliki oleh Baru Gold Corporation- sisa 3 kawasan di Aceh Tengah, dan 4 di kawasan Miwah, Pidie.
Suka atau tidak, keberlanjutan PT LMR, sangat tergantung kepada Aceh, utamanya pemerintah daerah, baik eksekutif maupun legislatif.
Apa yang terjadi hari ini adalah eksistensi konsesi PT LMR versi BKPM, sama sekali tak mendapat perhatian penting dari DPRA, apalagi dari Gubernur Aceh.
Apalagi, kini, seperti ditengarai oleh banyak pihak, DPRA, terutama para elitnya cenderung “bergabung” dengan gubernur dalam berbagai kebijakan yang dinisiasi oleh gubernur sendiri.
Bila hal ini terus berlanjut, kondisi “status quo” PT LMR, pada akhirnya akan menjadi kenyataan sebagai entitas yang sah dan dianggap sejalan dengan perintah UU 11/ 2006.
Jika hal ini benar benar terjadi, prahara sumber daya mineral Aceh akan bertransformasi menjadi “status kiamat” dari dimensi ekonomi, hukum, politik, dan lingkungan.
Dalam konteks inilah gratifikasi tumpangan pesawat jet gubernur Marzuki Banda Aceh-Jakarta menjadi sangat penting untuk ditelusuri.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.