Opini

Kurikulum Merdeka: Idealitas dan Realitas

Mungkin karena berangkat dari pengalaman para guru di lapangan saat ini, betapa banyak honorer yang sudah bekerja bertahun-tahun tidak menentu masa de

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Prof Dr Jarjani Usman MSc MS, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Ar Raniry. 

Bila tidak, mereka berisiko tidak memperoleh tunjangan sertifikasi. Bila tidak memperoleh tunjangan sertifikasi, mereka hanya memperoleh gaji pokok yang hanya 3 juta atau 4 juta. Itu pun banyak sudah dipotong bank karena sudah berutang untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti membangun rumah, membeli kendaraan, dan menyekolahkan anak-anak. Ada dosen yang sudah habis gajinya dipotong bank, bagaimana bisa fokus mengajar dan meningkatkan profesionalismenya?

Dalam keadaan kuet pade reudok (istilah Aceh untuk keadaan serba tumpang tindih dan mepet) seperti itu, bagaimana mungkin para dosen bisa fokus membantu mahasiswa calon guru agar menjadi guru-guru yang hebat. Harusnya, dosen diberikan kesejahteraan yang cukup agar bisa tenang dan fokus dalam melaksanakan tugasnya. Kalau tidak, dosen bukan hanya berpeluang melakukan kecurangan akademik dengan menyuruh orang lain untuk menulis, tetapi juga tidak bisa maksimal atau fokus dalam mengajar.

Ada dosen yang bahkan membayar orang lain untuk mengajar mata kuliahnya, mungkin karena tidak sempat mengajar atau tidak profesional dalam mengajar mata kuliah tersebut. Padahal setiap dosen diberikan kewajiban untuk mengajar secara mandiri sejumlah SKS (Satuan Kredit Semester) mata kuliah, tidak boleh diwakilkan kepada asistennya.

Belum lagi ada dosen yang sebenarnya tidak layak menjadi dosen karena tidak memiliki kompetensi sebagai dosen dan sulit untuk dikembangkan kompetensinya menjadi dosen. Dosen-dosen seperti ini biasanya diangkat melalui ‘jalur belakang’. Ada yang dipindahkan dari kantor tertentu atau dipindahkan dari tenaga administrasi, tanpa melalui proses seleksi kompetensi yang ketat karena kedekatan atau hubungan keluarga dengan penguasa kampus.

Seharusnya ketika dialihkan status mereka, diuji dulu kompetensi mereka. Dosen-dosen bermasalah seperti ini sering dikomplain oleh kebanyakan mahasiswa, tetapi kadang kala tidak ada follow up dari kampus. Akibatnya, mahasiswa harus menerima kenyataan, suka atau tidak suka, karena mereka lebih memilih memperoleh nilai yang baik. Dalam realitas seperti ini, apakah mahasiswa bisa belajar secara merdeka?

Itulah sekelumit realitas dari implementasi Kurikulum Merdeka Belajar, yang jauh dari fase idealnya. Seharusnya, dalam melaksanakan Kurikulum Merdeka Belajar, berbagai elemen yang mempengaruhi pelaksanaan kurikulum tersebut dipertimbangkan dengan baik. Kalau tidak, ibarat kata pepatah, arang habis besi binasa. Guru-guru dan dosen-dosen habis energi dan usia untuk belajar kurikulum-kurikulum baru, tetapi inti dari pelaksanaan kurikulum tersebut tidak tercapai.

VIDEO Jokowi Plot Rp 800 Miliar untuk Perbaiki 15 Ruas Jalan di Lampung

Golkar Pidie Klaim Rapat Banmus Baru 1 Kali Bukan 2 Kali, Terkait Mengagendakan PAW Pimpinan DPRK

AHY: Demokrat dan PKB Sepakat Jaga Pemilu 2024 Jangan Ada Intervensi, Intimidasi, dan Kecurangan

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved