Breaking News

Citizen Reporter

Hati Tergetar di Tuol Sleng Genocide Museum Kamboja

Setiap negara memiliki sejarahnya sendiri dan di antara kisah-kisah gemilang, terdapat juga cerita kelam dan memilukan, seperti halnya di Kamboja.

Editor: mufti
IST
FAISAL, S.T., Kepala SMKN 1 Julok, Ketua IGI Aceh Timur, dan Tim Pengembang IT GTK Disdik Aceh, melaporkan dari Phnom Penh, Kamboja 

Foto-foto ini menggambarkan penderitaan mendalam, dari anak-anak hingga lansia.

Tidak ada yang luput dari kekejaman ini. Siapa saja yang dianggap mencurigakan bisa ditangkap dan disiksa.

Dari 12.000 orang yang ditahan di S-21, hanya 15 yang berhasil selamat. Dua di antara mereka, Chum Mey dan Bou Meng, masih hidup hingga sekarang.

Keduanya telah berbagi pengalaman traumatis mereka melalui memoar yang dijual seharga USD 10 atau sekitar Rp140.000 per buku.

Chum Mey bekerja sebagai mekanik untuk Khmer Rouge dan pada 28 Oktober 1978, ia tiba-tiba diculik dan dibawa ke S-21 tanpa alasan yang jelas.

Di dalam sana, ia mengalami siksaan berat secara fisik dan mental. Ia bahkan tidak tahu mengapa dirinya ditahan. Dia akhirnya mengakui hal-hal yang tidak benar karena tidak tahan disiksa.

Hal serupa dialami oleh Bou Meng yang dibiarkan hidup berkat keahliannya dalam melukis. Dia juga mengaku sebagai bagian dari CIA untuk menghentikan penyiksaan yang dialaminya. Meskipun berhasil selamat, kenangan kelam masa lalu masih menghantuinya.

Pelajaran dari masa lalu

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membantu Kamboja dalam membentuk pengadilan khusus yang dikenal sebagai The Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC).

Meskipun pengadilan ini menghadapi kritik, baik dari dalam maupun luar negeri, karena tidak semua pelaku diadili, ECCC tetap dianggap sebagai langkah menuju keadilan.

Sayangnya, pemimpin Khmer Rouge, Pol Pot, keburu meninggal sebelum diadili. Meskipun demikian, upaya ini mengingatkan kita akan perlunya memastikan bahwa kejahatan kemanusiaan tidak luput dari hukuman.

Selain itu, masyarakat Kamboja dan dunia berusaha membantu pemulihan korban dan keluarganya.

Langkah-langkah seperti pendokumentasian, layanan psikologis, dan pemulihan kebudayaan dilakukan untuk membantu mereka yang masih merasakan dampak traumatis peristiwa di S-21.

Tuol Sleng Genocide Museum bukan sekadar tempat sejarah, tetapi juga pengingat akan bahaya dan konsekuensi dari kekuasaan yang otoriter dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sungguh, nurani saya bergetar hebat saat berada di museum ini.

Melalui peringatan ini, kita diingatkan untuk menghormati nilai-nilai kemanusiaan, menjaga perdamaian, dan mencegah terulangnya tragedi serupa di masa depan.

Museum ini berdiri sebagai saksi bisu yang menuntun kita untuk memastikan bahwa sejarah kelam seperti ini tidak akan terulang kembali di Kamboja lain.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved